طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ #menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim# اطْلُبُوْا الْعِلْمَ وَلَوْ بِالصِّيْنِ #tuntutlah ilmu walau hingga ke negeri Cina#

Sabtu, 27 September 2014

Pemeriksaan Investigatif (Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu/PDTT)

                  

Selain melakukan pemeriksaan terhadap keuangan dan kinerja pemerintah pusat/daerah, lembaga negara termasuk BUMN dan lembaga negara lainnya, BPK juga memiliki wewenang untuk melakukan pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT). Hal ini telah diamanatkan melalui UU Nomor 15 Tahun 2004 pasal 4 ayat (1). Pada UU tersebut dinyatakan bahwa PDTT adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan tujuan khusus, di luar pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja. Termasuk dalam pemeriksaan tujuan tertentu ini adalah pemeriksaan atas hal-hal yang berkaitan dengan keuangan dan pemeriksaan investigatif. Berdasarkan SPKN, PDTT bertujuan untuk memberikan simpulan atas suatu hal yang diperiksa. PDTT bisa bersifat eksaminasi (pengujian), reviu atau prosedur yang disepakati (agreed upon procedure). Adapun eksaminasi ialah pengujian yang memadai untuk menyatakan simpulan dengan tingkat keyakinan positif bahwa suatu pokok masalah telah sesuai atau telah disajikan secara wajar dalam semua hal yang material sesuai dengan kriteria. Sedangkan reviu yang dimaksud sebelumnya, ialah pengujian yang memadai untuk menyatakan simpulan dengan tingkat keyakinan negatif bahwa tidak ada informasi yang diperoleh pemeriksa dari pekerjaan yang dilaksanakan, menunjukkan bahwa pokok masalah tidak sesuai dengan kriteria dalam semua hal yang material. Dan prosedur adalah pengujian yang memadai untuk menyatakan simpulan atas hasil pelaksanaan prosedur tertentu yang disepakati dengan pemberi tugas terhadap pokok masalah.

Menentukan sifat PDTT dalam pemeriksaan dapat dilakukan melalui pertimbangan prosedur yang akan dijalankan dan tingkat keyakinan yang diinginkan oleh pengguna. Jika prosedur pemeriksaan yang akan dijalankan telah disepakati dengan pemakai tertentu, pemeriksa harus melakukan PDTT yang bersifat agreed upon procedures. Jika tidak, maka pemeriksa dapat melakukan pemeriksaan PDTT yang bersifat eksaminasi atau permeriksaan yang bersifat reviu. Sebagian besar pemeriksaan yang dijalankan BPK adalah PDTT yang bersifat reviu.[1]

Berasarkan dengan tujuan pemeriksaannya, hasil pemeriksaan disajikan dalam dua kategori yaitu SPI dan kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan. Kelompok temuan pemeriksaan sistem pengendalian intern (SPI) atas PDTT, meliputi:
1.      Kelemahan sistem pengendalian akuntansi dan pelaporan, yaitu kelemahan sistem pengendalian yang terkait kegiatan pencatatan akuntansi dan pelaporan keuangan.
2.        Kelemahan sistem pengendalian  pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja, yaitu kelemahan pengendalian yang terkait dengan pemungutan dan penyetoran penerimaan negara/daerah/perusahaan milik negara/daerah serta pelaksanaan program /kegiatan pada entitas yang diperiksa.
3.           Kelemahan struktur pengendalian intern, yaitu kelemahan yang terkait dengan ada/tidak adanya struktur pengendalian intern atau efektivitas struktur pengendalian intern yang ada dalam entitas yang diperiksa.

Sedangkan kelompok temuan ketidakpatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan dibagi berdasarkan akibat yang ditimbulkan, yaitu: ketidakpatuhan pada perundang-undangan yang mengakibatkan kerugian negara/daerah atau kerugian negara atau daerah yang terjadi pada perusahaan milik negara, ketidakpatuhan pada perundang-undangan yang menyebabkan timbulnya potensi kerugian negara/daerah atau potensi kerugian negara/daerah yang terjadi pada perusahaan milik negara, kekurangan penerimaan, penyimpangan administrasi, ketidakhematan, ketidakefisienan, dan ketidakefektifan.   


[1] Ikhtisar Hasil Pemerinkasaan Semester I 2013 Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Buku III PDTT. hal 1. Tersedia dalam www.bpk.o.id diakses pada 3/03/2014
readmore »»  

Pemeriksaan Keuangan pada BUMN


         Salah satu amanat Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 mengenai Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara bahwa Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) antara lain melakukan pemeriksaan keuangan. Pemeriksaan keuangan adalah pemeriksaan atas laporan keuangan (LK) yang bertujuan memberikan keyakinan yang memadai (reasonable assurance) bahwa LK telah disajikan secara wajar dalam semua hal yang material, sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia atau basis akuntansi komprehensif selain prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia. Pemeriksaan keuangan yang dilakukan oleh BPK adalah pemeriksaan atas LK pemerintah pusat dan pemerintah daerah, serta badan lainnya termasuk BUMN[1].
              Tujuan dilaksanakan pemeriksaan keuangan adalah untuk memberikan opini/pendapat atas kewajaran informasi keuangan yang disajikan dalam laporan keuangan. Terdapat 4 (empat) jenis opini yang dapat diberikan oleh pemeriksa, merujuk pada Buletin Teknis (Bultek) 01 tentang pelaporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah paragraf 13 tentang jenis opini, yakni meliputi: (1) Wajar Tanpa Pengecualian (WTP); memuat suatu pernyataan bahwa lapaoran keuangan menyajikan secara wajar, dalam semua hal yang material sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintah (SAP). Berdasarkan Standar Professional Akuntan Publik (SPAP) yang diberlakukan dalam SPKN, BPK dapat memberikan opini Wajar Tanpa Pengecualian Dengan Paragraf Penjelas (WTP-DP) disebabkan keadaan tertentu sehingga mengaharuskan pemeriksa menambahkan suatu paragraf penjelasan dalam LHP sebagai modifikasi dari opini WTP. (2) Wajar Dengan Pengecualian (WDP); memuat suatu pernyataan bahwa laporan keuangan menyajikan secara wajar, dalam semua hal yang material sesuai dengan SAP, kecuali untuk dampak hal-hal yang berhubungan dengan yang dikecualikan. (3) Tidak Wajar (TW); memuat suatu pernyataan bahwa laporan keuangan tidak menyajikan secara wajar dalam semua hal yang material sesuai dengan SAP. (4) Pernyataan Menolak Memberikan Opini atau Tidak Memberikan Pendapat (TMP); menyatakan bahwa pemeriksa tidak menyatakan opini atas laporan keuangan[2].
              UU Pemeriksaan Keuangan Negara telah menetapkan kriteria pemberian opini atau pendapat atas laporan keuangan yang diperiksa. Sehingga keempat jenis opini yang telah disebutkan dalam paragaf sebelumnya juga diberikan oleh pemeriksa atas suatu laporan keuangan yang diperiksanya dengan berpedoman pada kriteria ini. Adapun kriteria tersebut dijelaskan dalam pasal 16 ayat (1), yaitu; opini merupakan pernyataan professional pemeriksa mengenai kewajaran informasi keuangan yang disajikan dalam laporan keuangan yang didasarkan pada kriteria; (1) kesesuaian dengan standar akuntansi pemerintah, (2) kecukupan pengungkapan (adequate disclosure), (3) kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, dan (4) efektivitas sistem pengendalian intern (SPI).
              Salah satu kriteria pemberian opini atas pemeriksaan laporan keuangan adalah evaluasi atas efektivitas SPI. SPI dikatakan efektif apabila mampu memberi keyakinan memadai atas tercapainya efektivitas dan efisiensi pencapaian tujuan entitas, keandalan pelaporan keuangan, keamanan aset negara, dan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengendalian intern pada pemerintah pusat dan daerah dirancang dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP). Kriteria lain untuk memberikan opini atas pemeriksaan laporan keuangan oleh BPK adalah kepatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan. Salah satu hasil pemeriksaan atas laporan keuangan berupa laporan kepatuhan mengungkapkan ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengakibatkan kerugian negara/daerah, potensi kerugian keuangan negara/daerah, kekurangan penerimaan, administrasi, ketidakekonomisan, ketidakefisienan, dan ketidakefektifan.
              Selain berpedoman pada kedua kriteria yang telah dijelaskan, yakni SPI dan kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, BPK juga melakukan penilaian terhadap kecukupan pengungkapan informasi dalam laporan keuangan dan kesesuaian laporan keuangan dengan standar yang berlaku sebagai dasar pemberian opini atas laporan keuangan yang diperiksanya. Hanya saja, minimnya jumlah auditor BPK untuk menjangkau pemeriksaan laporan keuangan di pusat, provinsi/daerah, lembaga negara dan lembaga lainnya termasuk BUMN di seluruh Indonesia, maka khusus untuk pemeriksaan keuangan terhadap BUMN, fokus penekanan pemeriksaan BPK tidak secara menyeluruh. Hal ini didasari pada pemikiran bahwa pada dasarnya pemeriksaan keuangan terhadap BUMN lebih banyak dilakukan oleh  Kantor Akuntan Publik (KAP)[3]. Sehingga BPK lebih menekankan pada dua pemeriksaan lainnya, yaitu pemeriksaan kinerja dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu.




[1] Ikhtisar Hasil Pemerinkasaan Semester I 2013 Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Buku II Pemeriksaan Laporan Keuangan. hal 7. Tersedia dalam www.bpk.o.id diakses pada 27/02/2014
[2] Ibid.
[3] Djazuli, Achmad. Op.cit.
readmore »»  

Ranah Pemeriksaan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan)

        


        Berdasarkan UU Nomor 15 Tahun 2004 Pasal 4 ayat (1) mengenai Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara dinyatakan bahwa pemeriksaan oleh BPK terdiri atas pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Adapun pada poin pertama dalam hal pemeriksaan keuangan, objek pemeriksaan BPK untuk pemerintah pusat ialah meliputi; laporan realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), neraca, laporan arus kas (LAK), catatan atas laporan keuangan (CaLK), serta laporan keuangan perusahaan negara. Sedangkan objek pemeriksaan BPK untuk pemerintah daerah meliputi; laporan realisasi APBD, neraca, LAK dan CaLK, yang dilampiri dengan laporan keuangan perusahaan daerah. Dalam penjelasan pasal 30 ayat (1) UU Keuangan Negara, dinyatakan bahwa pemeriksaan laporan keuangan oleh BPK diselesaikan selambat-lambatnya 2 (dua) bulan setelah BPK menerima laporan keuangan dari pemerintah pusat/daerah. 

            Sedangkan menurut UU Nomor 1 Tahun 2004  tentang Perbendaharaan Negara Pasal 55 menyatakan bahwa presiden menyampaikan laporan keuangan pemerintah pusat kepada BPK paling lambat 3 (tiga) bulan setelah tahun anggaran berakhir, dan pasal 56 UU tersebut menyatakan bahwa gubernur/bupati/walikota menyampaikan laporan keuangannya kepada BPK paling lambat 3 (tiga) bulan setelah tahun anggaran berakhir. Kemudian dalam UU Keuangan Negara juga dijelaskan bahwa Presiden menyampaikan rancangan UU tentang Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBN kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berupa laporan keuangan yang telah diperiksa oleh BPK, selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah tahun anggaran berakhir. Demikian halnya dengan presiden, maka gubernur/bupati/walikota juga menyampaikan rancangan peraturan daerah tentang pertanggungjawaban pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) berupa laporan yang telah diperiksa oleh BPK, selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah tahun anggaran berakhir.

            Sedangkan ranah pemeriksaan lainnya yang menjadi wewenang BPK adalah pemeriksaan kinerja. Dalam hal pemeriksaan kinerja, objek penelitian BPK meliputi kinerja pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, badan/lembaga negara serta lembaga negara lainnya termasuk BUMN. Fokus pemeriksaan kinerja lebih luas, BPK tidak hanya memeriksa sistem pengendalian intern pemerintah ataupun lembaga negara serta kepatuhan dalam menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan oleh lembaga-lembaga tersebut, tetapi juga menilai dan memeriksa aspek ekonomi, efisiensi dan efektivitas suatu program/kegiatan yang dijalankan pemerintah dan lembaga negara. Untuk menuju Indonesia yang lebih baik, perlu dilakukan banyak pembenahan terutama dalam hal perbaikan kinerja pemerintah. Pemeriksaan kinerja merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kinerja pemerintah terutama dalam memperbaiki kualitas pelayanan publik yang menjadi tuntutan masyarakat. Selain pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja, BPK juga memiliki wewenang atas pemeriksaan dengan tujuan tertentu yang mana objek pemeriksaan BPK meliputi pemeriksaan khusus pada pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, pemeriksaan di lingkungan BUMN/D, dan badan/lembaga negara lainnya.

          Hasil pemeriksaan BPK atas ketiga pemeriksaan tersebut dapat berupa temua, kesimpulan dan rekomendasi. Setiap temuan dapat berisi satu atau lebih permasalahan yang meliputi kelemahan SPI, dan ketidakpatuhan akan peraturan perundang-undangan yang dapat menyebabkan kerugian negara/daerah atau kerugian negara/daerah pada perusahaan milik negara, potensi kerugian negara/daerah, kekurangan penerimaan, penyimpangan administrasi, ketidakhematan, ketidakefisienan, dan ketidakefektifan[1].


[1] Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I 2013. Buku I,II,III Pemeriksaan Keuangan, Pemeriksaan Kinerja dan Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu. Tersedia dalam www.bpk.go.id. Diakses pada 27/2/2014
readmore »»  

Jumat, 26 September 2014

Initial Public Offering (IPO) PT. Semen Baturaja (Persero) Tbk


IPO adalah sinyal awal sebelum suatu perusahaan go public. PT. SemenBaturaja (Persero) Tbk pada bulan Juni 2013 kemarin telah melakukan penawaran atas saham perdana perusahaan dengan harga Rp560 per lembar saham. Dengan melepas sekitar 23,76% sahamnya kepada publik, maka dana yang masuk kepada PT. Semen Baturaja (Persero) Tbk melalui penawaran tersebut adalah sebesar Rp1,3 Triliun. IPO pada bulan Juni tersebut telah resmi mengganti status perusahaan ini sebagai salah satu BUMN yang go public di Indonesia.
Manfaat yang akan diperoleh perusahaan-perusahaan yang go public ataupun listed di pasar bursa sebagaimana PT. Semen Baturaja, yaitu:
  1. Go public adalah salah satu langkah yang ditempuh beberapa perusahaan guna memperoleh dana segar untuk pengembangan usaha dan memperkuat struktur permodalan perusahaan. Dana masyarakat yang terhimpun melalui penjualan saham publik akan membantu perusahaan-perusahaan go public dalam perkembangan perusahaan, sebagaimana PT. Semen Baturaja (Persero) Tbk yang menunggunakan dana saham publik sebesar Rp1,3 Triliun untuk pembangunan pabrik semen dengan rincian sekitar 25% untuk pengadaan dan pengembangan lahan, sekitar 70% untuk pembelian mesin dan peralatan utama. Sisanya sekitar 5% untuk peralatan elektronik dan otomasi serta engineering dan desain.


  1. Membuka akses kepada sumber pendanaan pasar modal domestik maupun internasional. Jika selama ini, dana yang diperoleh PT. Semen Baturaja (Persero) Tbk adalah dana yang berasal daripada pemegang tunggal saham yaitu pemerintah, namun setelah IPO diharapkan beban pemerintah akan semakin ringan dengan kontrol kebijakan yang akan tetap dominan. Pemegang saham diluar pemerintah akan meningkatkan kualitas kinerja dan produksi perusahaan go public karena pertanggungjawaban akan kepercayaan stokeholder yang heterogen.

  1. Meningkatkan transparansi, good corporate governance (GCG) dan akuntabilitas publik. Transparansi ini telah ditanamkan di PT. Semen Baturaja (Persero) Tbk melalui website semen Baturaja yang dapat diakses baik oleh masyarakat umum maupun supplier dan distributor yang dapat bergabung dalam sistem e-procurement PT. Semen Baturaja (Persero) Tbk. Melalui website inipula interested user dapat mengakses informasi mengenai perusahaan dan laporan keuangan yang diterbitkan PT. Semen Baturaja (Persero) Tbk.

  1. Meningkatkan profesionalisme kerja manajeman dan karyawan. Karyawan dan karyawati PT. Semen Baturaja selain bertindak sebagai internal parties yang menyokong kinerja dan kualitas produksi semen Baturaja serta administrasi perusahaan, mereka pula dapat berperan sebagai pemilik saham PT. Semen Baturaja dengan ketentuan maksimum 10% dari jumlah saham IPO. Adapun komposisi pemegang saham setelah IPO, employee stock allocation (ESA), dan management and employee stock options plan (MESOP) adalah pemerintah RI 74,9%, ESA 0,14%, MESOP 1,62%, dan publik 23,2%. Hal ini berarti karyawan yang bekerja dengan profesionalisme tinggi selain memberikan dampak positif dalam membangun perusahaan juga memberikan keuntungan bagi kepentingan para pemegang saham perusahaan termasuk para ESA dan MESOP.


  1. Meningkatkan kinerja dan efisiensi perusahaan. Pengukuran efisiensi dan kinerja perusahaan dapat ditinjau salah satunya melalui laporan keuangan yang memuat laporan akan kuantitas dan kualitas produksi, volume penjualan, laba usaha dan laba (rugi) bersih perusahaan. Selain itu pula dapat diamati melalui bahan baku produksi, kuantitas karyawan PT Semen Baturaja (Persero) Tbk, biaya produksi dan biaya-biaya di luar produksi serta kontribusi perusahaan kepada lingkungan. Jika komponen tersebut menunjukan  tren positif maka dapat menjadi salah satu indicator kinerja perusahaan yang baik.
readmore »»  

Perkembangan Perusahaan (PTSB Sumsel)


-          Optimalisasi I (OPT I)
Pada tahun 1993, PT. Semen Baturaja (Persero) melaksanakan proyek OPT I yang merupakan penyempurnaan peralatan yang sudah ada dalam rangka pencapaian kapasitas terpasang yaitu sebesar 500.000 ton semen per tahun. Proyek ini selesai pada tahun 1994 dengan kapasitas meningkat 550.000 ton semen per tahun.
-          Optimalisasi II (OPT II)
Pada tahun 1996 PT. Semen Baturaja (Persero) melanjutkan pengembangan perusahaan melalui proyek optimalisasi II untuk meningkatkan kapasitas menjadi sebesar 1.200.000 ton semen per tahun. Proyek OPT II ini selesai pada tahun 2001, mulai memproduksi semen sebanyak 663.399 ton pada tahun 2002 dan terus meningkat hingga tahun 2011 dapat memproduksi 1.250.015 ton  semen.
-          Proyek Cement Mill dan Packer
Pada tahun 2012 PT. Semen Baturaja (Persero) melakukan pembangunan cement mill dan packer di Pabrik Baturaja dengan kapasitas 750.000 ton per tahun sehingga kapasitas meningkat menjadi 2.000.000 ton per tahun. Dengan perkiraan proyek cement mill dan packer akan mulai beroperasi April 2013.
-          Penerbitan Obligasi Perusahaan dan Initial Public Offering (IPO)
Pada tanggal 20 Juni 2004, PT. Semen Baturaja (Persero) menerbitkan  obligasi I sebesar Rp200 milyar. Emisi obligai  ini merupakan program lanjutan restrukturisasi  keuangan dalam rangka meningkatkan profitabilitas sekaligus likuiditas perusahaan. Tak hanya itu, pada bulan Juni 2013, PT Semen Baturaja (Persero) melepas 2.337 miliar saham perdananya  atau setara 23,76% saham untuk diperdagangkan ke publik. Sebanyak 0,82% atau setara 19,168 juta lembar dari keseluruhan saham yang ditawarkan ke publik digunakan untuk program employee stock allocation (ESA) dan 162.321.500 saham atau 1,65% untuk program management and employee stock option plan (MESOP).
Seluruh dana IPO dengan total Rp1,3 Triliun dengan harga perdana sebesar Rp560 per lembar saham akan digunakan untuk pembangunan pabrik semen dengan rincian sekitar 25% untuk pengadaan dan pengembangan lahan, sekitar 70% untuk pembelian mesin dan peralatan utama. Sisanya sekitar 5% untuk peralatan elektronik dan otomasi serta engineering dan desain[1]. Sejak melantai di bursa bulan Juni tahun 2013 ini, perusahaan ini dikenal dengan nama PT. Semen Baturaja (Persero) Tbk.
Demi memelihara kepercayaan publik, pemerintah dan investor, PT. Semen Baturaja (Persero) Tbk terus mengembangkan dan meningkatkan nilai perusahaan dengan berbagai langkah, diantaranya melalui pengembangan kualitas sumber daya manusia (SDM), kualitas produksi, pelaporan keuangan, serta teknologi.



[1] Republika, 2013, tersedia dalam www.republika.com/ipoptsemenbaturajajuni2013/ diakses pada 19 Agustus 2013

readmore »»  

Sejarah Berdirinya PT Semen Baturaja (Persero) Tbk di Sumatera Selatan


Pada tahun 1910 industri semen di Indonesia dipelopori dengan mulai beroperasinya NV Nederlands Indische Portland Cement Maatscapij (NIPCM), yang saat ini berganti nama menjadi PT. Semen Padang (Persero) yang berlokasi di Kota Padang, Sumatera Barat[1]. Pada saat itu NIPCM adalah satu-satunya produsen semen di Indonesia. Dalam rangka pengembangan industri semen di Indonesia, maka Direktorat Geologi bekerja sama dengan Biro Industrialisasi, pada tahun 1964 mengadakan survei bahan baku untuk pembuatan semen di sekitar Baturaja Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) dengan hasil yang menunjukan bahwa (Farisi, 2012):

  1. Terdapat cadangan batu kapur (±38.250.000 ton) dan tanah liat (±22.650.000 ton) yang kedua macam bahan baku tersebut cukup untuk beroperasinya pabrik semen.
  2. Lokasinya menguntungkan karena berjarak ±90 km dari tambang batubara Bukit Asam.
  3. Untuk memenuhi kebutuhan semen di daerah Sumatera Selatan.
  4. Penghematan devisa negara dan membuka lapangan kerja untuk 500 orang di Sumatera Selatan.
Hal tersebut menjadi salah satu latar belakang didirikannya PT SemenBaturaja (Persero) pada 14 November 1974 dengan akte Notaris Nomor: 34 oleh JFBT. Sinjal, S.H. di Jakarta dan kemudian dengan perubahan akta Nomor: 49 tanggal 21 November 1974, dan terakhir Nomor: 28 tanggal 19 April 1984 oleh Notaris Hadi Moentoro, S.H. di Jakarta.

            Pendirian PT. Semen Baturaja(Persero) diumumkan dalam tambahan Berita Negara RI No. 2 tanggal 7 Januari 1975 dengan pemegang saham pertama yaitu:
-          PT. Semen Padang (Persero)   : 55%
-          PT. Semen Gresik (Persero)    : 45%


Pada tahun 1975, Ishikawajima Harima Heavy Industries Co. Ltd dari Jepang berhasil memenangkan tender sebagai General Kontraktor atau kontraktor utama dengan ruang lingkup tanggung jawab untuk menyelesaikan seluruh manajemen proyek, perencanaan, penyediaan, pembelian, konstruksi, training, operasi dan pekerjaan lainnya yang diperlukan untuk beroperasinya sebuah pabrik semen berkapasitas 500.000 ton per tahun.

Tahun 1978 baru dilaksanakan pembangunan fisik oleh general kontraktor Ishikawajima Harima Heavy Industries Co. Ltd dari Jepang dengan mutu sesuai standar SII-0013/81, yang terdiri dari pabrik pembuatan terak/klinker di Baturaja (Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan) dan pabrik penggilingan dan pengantongan semen di Palembang dan Panjang-Bandar Lampung. Serta segala sarana yang diperlukan untuk beroperasinya pabrik semen tersebut.

Tanggal 30 Mei 1981 pembangunan pabrik dinyatakan selesai, barulah pada tanggal 1 Juni 1981 PT. Semen Baturaja memulai operasi secara komersil ditandai dengan peresmian operasi komersil oleh Presiden RI. Awalnya, PT. Semen Baturaja (Persero) hanya memproduksi semen Portland Type I (SNI-15-2049-94) pada bulan Juni dengan beban total produksi terpasang 450.000 ton per tahun. Tanggal 17 Desember 1997, PT. Semen Baturaja(Persero) berhasil meraih Sertifikat Sistem Mutu Internasional ISO-9002.

Untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapi dalam menyelesaikan proyek semen Baturaja, maka Negara RI dengan PP  No. 10 tahun 1978 memutuskan untuk melakukan penyertaan modal di PT Semen Baturaja (Persero) dengan komposisi modal:

-          Pemerintah RI                         : 90%
-          PT. Semen Padang (Persero)   : 5%
-          PT. Semen Gresik (Persero)    : 5%

            Pada tahun 1991 berdasarkan peraturan pemerintah No. 3 Tahun 1991 tentang pembahasan penyertaan saham modal Negara Republik Indonesia ke dalam modal saham perseroan, maka 100% pemegang saham perseroan adalah Negara Republik Indonesia dengan mengambil alih saham-saham yang semula dimiliki oleh PT. Semen Gresik (Persero) dan PT. Semen Padang (Persero).



[1] Semen Baturaja, 2013, tersedia dalam www.semenbaturaja.co.id diakses pada 19 Agustus 2013
readmore »»  

Kamis, 25 September 2014

Magang di BUMN: Kenapa PTSB?


Peran Akuntansi sebagai bahasa bisnis perusahaan dalam menyajikan informasi berupa laporan keuangan, serta mengkomunikasikan informasi tersebut kepada para pengambil keputusan dan interested users lainnya telah memberi pengaruh besar dalam perkembangan dunia usaha (Abdulrahim, 2010:2). Namun tak dipungkiri bahwa akuntansi konvensional yang kini terus berkembang masih kering akan nilai (Ahmed, 2012). Melalui akuntansi, berbagai pihak yang berkepentingan bisa saja melakukan berbagai cara untuk meningkatkan nilai perusahaan yang dikelolanya (Karnawati, 2012), termasuk melakukan praktik konservatisme yang sebenarnya bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Faktor ini yang kemudian membawa penulis untuk mempelajari Akuntansi Islam, yang penulis yakini mampu menjadi solusi terhadap praktik akuntansi konvensional yang masih kering akan nilai tersebut. 
     
Akuntansi Islam yang selama ini dipelajari penulis di bangku perkuliahan hanya berwujud teori-teori yang tentu akan sangat berbeda dengan praktiknya di dunia nyata. Implementasi Akuntansi Islam pula akan semakin sporadis, jika diaplikasikan tak hanya pada lembaga keuangan syariah. Untuk itulah, penulis berkeinginan menggali seberapa jauh praktik Akuntansi Islam dikenal oleh perusahaan-perusahaan dengan latar belakang non syariah, terutama pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang merupakan pengelola asset-asset strategis negara, disamping penulis ingin melihat lebih dekat dan mempelajari atmosfir dunia kerja yang sesungguhnya. Latar belakang inilah yang kemudian mendorong penulis untuk melaksanakan kegiatan magang di salah satu BUMN yang merupakan produsen semen terbesar di Kota Palembang, Provinsi Sumatera Selatan, yaitu PT. Semen Baturaja (Persero)Tbk (PTSB). BUMN dengan status perusahaan yang baru saja melaksanakan IPO (Initial Public Offering) atau penawaran saham perdananya kepada publik ini dianggap sebagai salah satu perusahaan dengan profitabilitas dan kinerja yang begitu baik di masa datang[1].





[1] Republika, 2013, tersedia dalam www.republika.com/ipoptsemenbaturajajuni2013/ diakses pada 19 Agustus 2013
readmore »»  

Mengapa Kita Perlu Peduli pada Aset Negara (BUMN)?


Di akhir tahun 2013, pemerintah menghadapi persoalan adanya permohonan uji materi Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang kemudian disebut UU Keuangan Negara, dan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang kemudian disebut UU BPK, oleh Forum Hukum Badan Usaha Milik Negara (BUMN) (Warta BPK, 2013). Dalam uji materi tersebut, pemohon menyatakan bahwa penyertaan modal negara (PMN) pada BUMN bukan merupakan bagian dari keuangan negara. Implikasi daripada uji materi ini ialah BPK tidak memiliki wewenang dalam hal pemeriksaan BUMN di Indonesia sebab telah menjadi ranah hukum privat, dan BUMN tunduk pada Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 mengenai Perseroan Terbatas (UU PT) (Bisri dalam risalah sidang, 2013). Hal ini kemudian menjadi fokus utama BPK dan masyarakat, mengingat nominal PMN dan kepemilikan negara pada BUMN yang tidak sedikit, sebagaimana diungkapkan dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 yang selanjutnya disebut UU BUMN bahwa modal utama BUMN, baik Perum maupun Persero berasal dari penyertaan modal negara secara keseluruhan maupun sebagian besar, yaitu pada BUMN Persero sekurang-kurangnya 51% saham terhadap keseluruhan saham Persero dikuasai oleh negara. 

              BUMN adalah wujud perlindungan negara akan keberlangsungan perekonomian yang diperuntukkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (Bisri dalam risalah sidang, 2013). BUMN berperan penting dalam mengelola aset-aset strategis negara. Peran BUMN juga begitu besar dalam pelayanan publik yakni memproduksi kebutuhan masyarakat di samping mengejar keuntungan. Jasa dan produk BUMN yang meliputi telekomunikasi, listrik, transportasi, pangan dan kebutuhan primer menjadi hal pokok yang mengusai hajat hidup orang banyak di dalam perekonomian dan kenegaraan. BUMN pula mengemban tugas penting pembangunan yang kemudian dikenal sebagai agent of development. Dalam hal ini BUMN berperan menyerap tenaga kerja agar mampu menghasilkan produk dan jasa yang berdaya saing. Maka dari itu, negara menjadikan BUMN sebagai salah satu alat penggerak ekonomi yang utama. Negara menjadi penyokong modal BUMN yang diwujudkan dalam bentuk penyertaan modal negara (PMN). Selain itu, negara juga memberikan suntikan bantuan kepada BUMN yang tidak direfleksikan dalam neraca pada laporan keuangan yang dikenal dengan Bantuan Pemerintah yang Belum Ditetapkan Statusnya (BPYDS). Seluruh dana penyertaan tersebut bersumber dari keuangan negara yang dikenal dengan kekayaan negara yang dipisahkan (Djazuli, 2014), sebagaimana yang diamanatkan UUD ‘45 Pasal 23 ayat (1) serta UU Keuangan Negara Pasal 2 huruf g dan huruf i yang menjadi objek permohonan uji materi oleh Forum Hukum BUMN kepada Mahkamah Konstitusi (MK).

Oleh sebab itu, permohonan uji materi UU Keuangan Negara dan UU BPK tersebut akan begitu membahayakan keuangan negara terkait penyimpangan pada BUMN yang jika nantinya berhasil ditemukan dan diungkap melalui proses audit atau pemeriksaan, temuan atau kasus penyimpangan tersebut tidak dapat dijerat dengan UU antikorupsi, namun hanya sebagai tindak pidana umum (Bisri, risalah sidang 2013), sebab BUMN telah menjadi bagian dari perusahaan umum biasa dan bukan termasuk dalam objek keuangan negara yang menjadi wewenang pemeriksaan BPK. Padahal sebagaimana yang diungkapkan dalam Undang-undang Dasar 1945 (UUD ‘45) pasal 33 ayat (2) dan (3) bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak, serta bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Penyimpangan tersebut bahkan terjadi pada BUMN yang masuk kategori perusahaan besar berdasarkan total aset perusahaan. Lemahnya kontrol atau pemeriksaan pada tubuh BUMN menjadi salah satu penyebab utama sehingga menimbulkan indikasi kerugian keuangan negara. Sebagaimana yang diungkap Mahfoedz (1994) bahwa ada anggapan jika perusahaan dengan aset besar telah menunjukkan arus kas yang baik sehingga memiliki performa yang baik dalam jangka waktu lama. Namun hal ini bukanlah jaminan, mengingat kecurangan yang pernah terjadi pada PT Indo Farma, PT KAI dan PT Kimia Farma pada periode antara 2000-2005 yang ketiganya merupakan BUMN beraset besar sehingga menimbulkan adanya indikasi kerugian keuangan negara. BUMN beraset besar tetap membutuhkan adanya pemeriksaan dan kontrol yang tinggi terhadap penyimpangan dan kecurangan yang mungkin terjadi di masa datang. Tidak hanya dilihat dari sisi aset, kecurangan pada tubuh BUMN juga ditemukan dalam transaksi yang dilakukan antar induk dan anak perusahaan. Kompleksitas pelaporan dan transaksi yang terjadi antar induk dan anak perusahaan membuka kemungkinan terjadinya kecurangan atau penyimpangan di tubuh BUMN yang memungkinkan adanya indikasi kerugian keuangan negara. Oleh karena itu, kontrol keuangan negara yang ada pada BUMN oleh lembaga independen baik internal maupun eksternal semisal BPK sangat dibutuhkan guna mencegah penyelewengan dan penyimpangan dalam keuangan negara yang ada pada BUMN sebagaimana yang diamanatkan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2006 (UU BPK).

Jika kemudian BUMN dinyatakan terpisah daripada keuangan negara, hal ini akan menyulitkan BPK untuk melakukan pengawasan dan kontrol keuangan negara yang ada pada BUMN dan aset negara lainnya yang telah diatur dalam UU Keuangan Negara dan UU BPK. Penyimpangan dan penyelewengan yang terjadi pada tubuh BUMN yang tidak dikontrol dan diawasi dengan standar yang telah ditentukan negara, sebagaimana yang diamanatkan oleh UU Keuangan Negara akan membawa dampak kerugian keuangan negara. Meskipun secara penuh, Kantor Akuntan Publik (KAP) akan menggantikan pemeriksaan atau audit yang dilakukan BPK sebagaimana yang diamanatkan UU PT jika kelak uji materi UU Keuangan Negara dan UU BPK dikabulkan MK. Namun ranah audit KAP hanya terbatas pada pemeriksaan keuangan, sedangkan BPK memiliki wewenang pemeriksaan yang juga meliputi pemeriksaan kinerja dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT) yang memungkinkan pemeriksaan yang lebih luas dan mendalam (Mulyadi dalam Rima, 2010). Begitupun standar yang digunakan oleh keduanya juga berbeda. Jika KAP tunduk pada Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) yang dikeluarkan oleh Dewan Standar Professional Akuntan Publik Institut Akuntan Publik Indonesia (DSPAP IAPI), maka BPK memiliki standar sendiri, yaitu berupa Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) yang digunakan untuk menjaga kredibilitas serta profesionalitas dalam pelaksanaan maupun pelaporan pemeriksaan, baik pemeriksaan keuangan, kinerja, serta pemeriksaan dengan tujuan tertentu (www.scholar.google.com).

Oleh karena itu, menjadi sangat penting untuk peduli pada keselamatan aset negara kita (re: BUMN)
Tapi guys, kita wajib bersyukur karena pada 24/9/2014 kemarin MK telah menolak uji materi UU No 17/2003 :D
readmore »»  

Statement on Auditing Standard (SAS Nomor 99) & Kecurangan (Fraud)


Pada bulan Desember 2002 Statement on Auditing Standard (SAS) No. 99-Consideration of Fraud in a Financial Statement Audit diterbitkan dan menggantikan SAS No. 82. Setelah diungkapkannya Sarbanas-Oxley, SAS No. 99 menjadi Pernyataan Standar Audit signifikan yang pertama kali diterbitkan. Pernyataan ini menegaskan kembali tanggung jawab auditor yang telah dinyatakan dalam SAS No. 1–Codification of Auditing Standards and Procedures dan SAS No. 82, yaitu:
            “The Auditor has a responsibility to plan and perform the audit to obtain reasonable assurance about whether the financial statements are free of material misstatement, whether cause by error or fraud
            SAS No. 99 ini efektif bagi audit keuangan untuk periode yang dimulai pada atau setelah 15 Desember 2002. Perincian detail dari SAS No. 99 ini bisa didapatkan di www.aicpa.org. Secara umum komponen dari SAS No. 99 adalah:
1.      Deskripsi dan karakteristik dari fraud
2.      Kecurigaan secara professional
3.      Diskusi di antara tim audit yang ditugaskan
4.      Mendapatkan informasi dan bukti audit
5.      Mengidentifikasi risiko-risiko
6.      Penilaian risiko-risiko yang telah diidentifikasi
7.      Tanggapan terhadap penilaian risiko
8.      Mengevaluasi bukti dan informasi audit
9.      Mengkomunikasikan fraud yang mungkin terjadi
10.  Mendokumentasikan hal-hal yang berkaitan dengan fraud
Sebagaimana SAS No. 99, the American Institute of Certified Public Accountants (AICPA) telah membentuk fraud Task Force of the AICPA’s Auditing Standards Board yang bertugas untuk melakukan studi tentang pencegahan dan pendeteksian fraud yang didukung oleh Association of Certified Fraud Eximiners (ACFE) dan beberapa organiasasi lain, seperti IMA, IIA, dan FEI. akhirnya pada Bulan November 2002 dihasilkan Management Antifraud Programs and Control – Guidence to Help Prevent and Deter Fraud. Inti pesan dari dokumen ini adalah setiap organisasi harus segera mengambil langkah positif untuk mencegah dan menanggulangi terjadinya fraud demi integritas keuangan, reputasi dan masa depan organisasi.

            Berdasarkan pengalaman Amerika Serikat di atas, apalagi mengingat keterpurukan perekonomian Indonesia salah satunya disebabkan oleh buruknya corporate governance dan semakin banyaknya perusahaan Indonesia yang go public di dalam maupun di luar negeri, seyogyanya pihak-pihak yang berkompeten seperti DPR, Departemen Keuangan (Bapepam), dan Ikatan Akuntan Indonesia segera membuat undang-undang dan peraturan yang serupa dengan Sarbanax-Oxley Act dan SAS No. 99 (Santoso, tt).
readmore »»  

Islam Memandang Kinerja Usaha dan Kerugian (Negara)


Allah SWT telah menjelaskan dalam Al-Quran mengenai performa (kinerja) dalam melakukan segala sesuatu termasuk ketika bekerja. Hal tersebut dijelaskan Allah SWT dalam Q.S. At-Taubah 105
È@è%ur (#qè=yJôã$# uŽz|¡sù ª!$# ö/ä3n=uHxå ¼ã&è!qßuur tbqãZÏB÷sßJø9$#ur ( šcrŠuŽäIyur 4n<Î) ÉOÎ=»tã É=øtóø9$# Íoy»pk¤9$#ur /ä3ã¥Îm7t^ãsù $yJÎ/ ÷LäêZä. tbqè=yJ÷ès? ÇÊÉÎÈ  

105. dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, Maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.
Berdasarkan ayat tersebut, peneliti mengungkapkan uraian tafsir dan pendapat para munfasir yang membahas mengenai ayat ini, yaitu:
1.       Imam Abi Al-Fida’ Isma’il Ibnu Katsir menjelaskan dalam Tafsir Ibnu Katsir (774 H) jilid 2 hlm. 28 bahwa umat manusia diwajibkan untuk selalu berbuat yang terbaik dalam melakukan sebuah pekerjaan, karena pekerjaan itu akan disaksikan oleh Allah, Rasul-Nya dan orang-orang mukmin. Serta amal tersebut akan dikembalikan besok di hari kiamat. Kemudian mereka akan mendapatkan balasan dari Allah sesuai amal mereka tersebut.
2.       Ahmad Mustafa Al-Maraghi menjelaskan dalam Tafsir Al-Maraghi (terjemah 1993) juz II hlm. 35 bahwa Allah memerintahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW supaya menyampaikan kepada orang-orang yang bertaubat agar mereka bekerja untuk meraih kebahagian dunia dan kebahagian akhirat, serta bekerja untuk kebaikan dirinya dan bangsanya, karena kerja merupakan kunci kebahagian, bukan sekadar alasan yang dikemukakan ketika tidak mengerjakan sesuatu, atau hanya sekadar mengaku giat dan bekerja keras. Serta Allah akan melihat pekerjaan yang dilakukan umat manusia, baik pekerjaan buruk maupun pekerjaan baik. Dan Allah mengetahui tentang tujuan dari pekerjaan manusia serta niat-niat manusia, walaupun tidak diucapkan.
Selaras dengan ayat tersebut, etos kerja dan profesionalisme dalam menjalankan pekerjaan juga diajarkan oleh Rasulullah SAW, sebagaimana di dalam Sabda beliau yang menjelaskan mengenai kedua hal tersebut, yaitu melalui hadist di bawah ini (Al-imam Abi Bakar Ahmad Ibn Husein Al-Baihaqi, Syu’bul Iman, juz 2 hlm. 88).

عَنْ عَاصِمْ بْنِ عُبَيْدِ الله عَنْ سَالِمْ عَنْ أَبِيْهِ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ للهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُؤْمِنَ الْمُحْتَرِفَ (أخرجه البيهقى)
Dari ‘Ashim Ibn ‘Ubaidillah dari Salim dari ayahnya, Ia berkata bahwa Rasulullah Saw. Bersabda: “Sesungguhnya Allah menyukai orang mukmin yang berkarya. H. R. Al-Baihaqi (Muhammad Faiz Al-Math, 1100 Hadits Terpilih, hlm. 182).

Berdasarkan hadits di atas dapat disebutkan bahwa berwirausaha merupakan kemampuan dalam hal menciptakan kegiatan usaha dengan etos kerja dan profesionalitas. Selain itu kemampuan menciptakan memerlukan adanya kreativitas dan inovasi. Kreativitas adalah mampu menangkap dan menciptakan peluang-peluang bisnis yang bisa dikembangkan. Di tengah persaingan bisnis yang ketat sekalipun seorang wirausaha tetap mampu menangkap dan menciptakan peluang baru untuk berbisnis, sehingga ia tidak pernah khawatir kehabisan lahan. Sedangkan inovasi adalah mampu melakukan pembaruan-pembaruan dalam menangani bisnis yang digelutinya, sehingga bisnis yang dilakukannya tidak pernah usang dan selalu dapat mengikuti perkembangan zaman. Sifat inovatif ini akan mendorong bangkitnya kembali kegairahan untuk meraih kemajuan dalam berbisnis (Abdullaah, 2011).

Kaidah Ushul Fiqh

Di dalam kaidah ushul fiqh dijelaskan bahwa menolak segala kerugian atau kerusakan diutamakan, sebagaimana bunyi kaidah fiqh darul mafasid muqaddam ‘ala jalbil mashalih (mencegah kerusakan/kerugian diupayakan lebih dulu sebelum upaya mendapatkan manfaat/mashlahah). Menolak kerugian negara yang diakibatkan oleh berbagai macam bentuk kecurangan atau penyimpangan pada perusahaan negara melalui pengawasan, kontrol atau pemeriksaan adalah langkah utama dalam mencegah terjadinya kerugian negara dan dampak yang lebih jauh lagi di masa depan.
readmore »»