طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ #menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim# اطْلُبُوْا الْعِلْمَ وَلَوْ بِالصِّيْنِ #tuntutlah ilmu walau hingga ke negeri Cina#

Minggu, 21 Oktober 2012

republika dan BNISyariah





IB Hasanah BNI Syariah: Menggapai Masyarakat Kecil Mandiri Melalui Kerjasama Linkage Program
(Meski dengan Warteg, “Mereka” Tetap Mandiri)
Oleh: Rysky Marlinda 
sumber gambar: id.wikipedia.org

Usaha warung tegal (warteg) memang bukanlah bisnis besar dengan omset yang selangit. Namun bagi sebagian besar masyarakat, terutama masyarakat kalangan menengah ke bawah, warteg cukup menjanjikan guna menopang perekonomian keluarga agar tetap mandiri.
Masyarakat dengan kategori ini sebenarnya begitu potensial untuk diberdayakan dan diangkat tingkat kesejahteraannya. Namun, dengan tema bisnis keluarga kecil-kecilan inilah, yang membuat mereka sering kali patah arang melanjutkan langkah ke depan dengan modal usaha yang dirasakan mulai defisit.
 Kenapa kemudian membicarakan warteg ini begitu menarik bagi saya? Hal ini dikarenakan kisah nyata saya pribadi yang akan saya ulas dalam tulisan ini.
Sebagai seorang mahasiswi ekonomi yang belum memiliki pendapatan tetap karena masih mengandalkan kiriman orang tua, harusnya menjadikan saya bijak memilih jika dihadapkan antara dua pilihan; 1. Makan terus-terusan di kedai-kedai fast food atau café dengan harga yang lumayan mahal bagi kantong mahasiswa jika dilakukan setiap hari, serta kurang baik menurut medis; dibandingkan dengan pilihan 2. Makan di warteg dengan porsi yang sedikit lebih, menu rumah-an, pilihan banyak, dan pastinya murah. Tentu tanpa berfikir 3,4 kali, pilihan kedua akan menjadi jawaban saya.
Warteg di seputaran kosan hanya ada satu, dan menariknya warteg ini sudah berkali-kali jatuh bangun. Usaha bisnis keluarga Bu Ramdan ini membuat saya begitu penasaran mencari tau pahit-getir pengelolaannya. Sembari makan, kadang pemilik warteg ini sering ngobrol pada pelanggannya termasuk saya. Kesempatan inilah yang selalu saya gunakan untuk belajar pengalaman berharga dari jatuh-bangun-nya bisnis warteg ini.
Bu Ramdan bercerita bahwa pada awalnya tak ada yang keluarga mereka dapat lakukan, kecuali pasrah saja pada takdir hidup yang tampaknya semakin pro pada kondisi warteg mereka yang akan gulung tikar. Mereka terus gencar pinjam ke tetangga atau keluarga terdekat untuk menambah modal agar menyuntik kekuatan keuangan warteg yang menjadi satu-satunya harapan sumber penghasilan keluarga ini. Bu Ramdan sangat menaruh harapan bahkan keyakinan warteg-nya di suatu hari nanti akan tumbuh dan berkembang. Beliau akan lakukan berbagai cara agar sumber pendapatan keluarganya ini tak sekejap gulung tikar. Berbagai pertimbangan ini beliau lakukan karena beragam alasan, misalnya: pertama, warteg ini adalah warisan almarhum suaminya sejak beliau meninggal empat tahun yang lalu. Kedua, warteg ini adalah harapan satu-satunya agar sumber perekonomian keluarganya terus tercukupi dengan kondisi dua anak Bu Ramdan semuanya bersekolah. Ketiga, Bu Ramdan yakin betul dengan potensi tumbuh kembangnya warteg tersebut.
Mendengar penuturan pemilik warteg ini, saya kemudian tertegun dan mengiyakan teori yang sering diungkap oleh beberapa dosen saya, di antaranya Bapak Dr. Muhammad Syafii Antonio, M.Ec. Beliau selalu beropini bahwa sebenarnya kemiskinan terjadi bukan karena masyarakat miskin itu malas ataupun bodoh; tentu tidak, pikir saya. Buktinya Bu Ramdan, beliau gigih memperjuangkan wartegnya untuk terus bangkit, dan beliau bukanlah wanita yang bodoh. Beliau memiliki perhitungan yang tepat jikalau suatu saat nanti bisnis ini begitu menjanjikan, jika tidak, untuk apa beliau perjuangkan mati-matian. Lalu Pak Syafii meneruskan bahwa sebenarnya masyarakat miskin terus terjebak dalam kemiskinan dikarenakan  ada dua hal pokok. Pertama mereka kekurangan modal, kedua mereka memiliki akses yang terbatas akan lembaga keuangan. Sehingga menurut teori Pak Syafii, harus ada segolongan orang yang peduli pada pergerakan masyarakat jenis ini, agar tersentuh oleh lembaga keuangan. Alhamdulillah, Pak Syafii Antonio tidak hanya berteori saja. Beliau kemudian membentuk Baitut Tamkin Tazkia Madani (BTTM) yang bertujuan memberi pinjaman, pelatihan serta pemberdayaan masyarakat miskin yang berdomisili di sekitar kampus. Nantinya program inilah  yang mampu menghubungkan Bu Ramdan dan BNI Syariah secara tidak langsung dengan kerjasama linkage program untuk solusi bangkitnya warteg beliau.
Kembali kepada cerita Bu Ramdan tentang upaya kerasnya mencari pinjaman dana. Beliau pun menjelaskan dengan gamblang bahwa hampir saja beliau mati langkah dan kemudian lari kepada para rentenir. Untung saja, Tuhan tak memperkenankan hal buruk itu menjerat Bu Ramdan dan keluarga. Mungkin dengan pertimbangan usaha mati-matian beliau dan kerja kerasnya, Tuhan memberi jalan berupa lahirnya BTTM yang kemudian mengajak Bu Ramdan untuk masuk ke dalam kelompok pemberdayaan.
BTTM sebagai lembaga keuangan mikro syariah atau tak jarang dikenal dengan istilah Islamic Microfinance tentunya tak mampu berdiri sendiri dan membutuhkan uluran tangan lembaga keuangan yang lebih sigap dalam kekuatan financial. Hal ini yang kemudian melahirkan sebuah solusi cerdas dan produk unggulan berupa linkage program. Program yang melahirkan sinergisitas antar lembaga keuangan dengan tujuan saling menopang dan menguatkan. Linkage program dengan branding IB Hasanah BNI syariah misalnya. Produk BNI Syariah inilah yang kemudian menjadi salah satu penopang bangkitnya ekonomi kecil dan bisnis keluarga warteg Bu Ramdan. Mungkin tanpa disadari secara langsung oleh BNI Syariah yang kala itu turut secara partisipatif mendanai BTTM yang membina serta memberdayakan masyarakat kecil dengan bisnis kecil-kecilan pula, salah satunya Bu Ramdan, mampu bebas dari masalah ekonomi yang tentu memberatkan keluarganya kala itu. Melalui kerjasama ini, sudah berapa puluh atau ratus ibu Ramdan-ibu Ramdan lainnya di luar sana yang juga menikmati fasilitas pembiayaan estafet BNI Syariah ini. Mengapa estafet? Dikarenakan ada kerjasama mutualisme di antara BTTM dan BNI Syariah dengan produk IB Hasanah-nya. BTTM memperoleh dana melalui BNI Syariah guna memberdayakan keluarga kecil hingga menengah menuju kemandirian usaha atau bisnis keluarga dengan level mikro. Di sisi lain, BNI Syariah menjadi begitu partisipatif dalam pembangunan dan pergerakan ekonomi kerakyatan yang tentunya membangun sektor riil negara secara bertahap. Sehingga fungsi perbankan syariah sebagai salah satu solusi bagi masyarakat kecil dalam mencapai maslahah pun terjawab.
Dampak akan produk pembiayaan kerjasama Linkage Program IB Hasanah BNI Syariah pun sebenarnya begitu domino, dan perhitungan Bu Ramdan akan bisnis warteg-nya di masa depan dapat begitu dirasakan belakangan ini. Dengan terus mandirinya usaha warteg beliau, karena posisinya telah lebih strategis dan berada di sekitar kampus, yang menjadi salah satu tempat dolan favorit mahasiswa (hal ini adalah hasil pembinaan dan saran dari BTTM kepada Bu Ramdan untuk mempelajari sasaran market atau strategi penempatan lokasi bisnis). Bisnis inipun menularkan keberhasilannya untuk kemudian lahir pengusaha-pengusaha bisnis mikro lainnya. Di sekitar warteg, kini hadir toko alat tulis kantor (ATK), tak berjauhan hadir pula warung bahan pokok dan jajanan, serta sedikit menyebrang muncul pula warung-warung isi ulang pulsa dan beberapa kedai bakso. Inilah yang disebut pembangunan ekonomi rakyat. Sinergisitas dan produk yang begitu solutif dari berbagai lembaga keuangan salah satunya BNI Syariah dengan branding Pembiayaan kerjasama Linkage Program IB Hasanah, diharapkan untuk terus meningkatkan pelebaran jangkauannya dan terus memperjuangkan eksistensi produk tersebut demi ke-maslaha-tan umat.
Melalui pemaparan cerita tersebut, saya benar-benar mendukung produk BNI Syariah ini demi pembangunan ekonomi Indonesia yang lebih baik. Insya Allah.

readmore »»