Allah
SWT telah menjelaskan dalam Al-Quran mengenai performa (kinerja) dalam
melakukan segala sesuatu termasuk ketika bekerja. Hal tersebut dijelaskan Allah
SWT dalam Q.S. At-Taubah 105
È@è%ur (#qè=yJôã$# uz|¡sù ª!$# ö/ä3n=uHxå ¼ã&è!qßuur tbqãZÏB÷sßJø9$#ur ( cruäIyur 4n<Î) ÉOÎ=»tã É=øtóø9$# Íoy»pk¤¶9$#ur /ä3ã¥Îm7t^ãsù $yJÎ/ ÷LäêZä. tbqè=yJ÷ès? ÇÊÉÎÈ
105. dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, Maka Allah dan
Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan
dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata,
lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.
Berdasarkan ayat
tersebut, peneliti mengungkapkan uraian tafsir dan pendapat para munfasir yang membahas mengenai ayat
ini, yaitu:
1. Imam
Abi Al-Fida’ Isma’il Ibnu Katsir menjelaskan dalam Tafsir Ibnu Katsir (774 H) jilid 2 hlm. 28 bahwa umat manusia
diwajibkan untuk selalu berbuat yang terbaik dalam melakukan sebuah pekerjaan,
karena pekerjaan itu akan disaksikan oleh Allah, Rasul-Nya dan orang-orang mukmin.
Serta amal tersebut akan dikembalikan besok di hari kiamat. Kemudian mereka
akan mendapatkan balasan dari Allah sesuai amal mereka tersebut.
2. Ahmad
Mustafa Al-Maraghi menjelaskan dalam Tafsir Al-Maraghi (terjemah 1993)
juz II hlm. 35 bahwa Allah memerintahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW supaya
menyampaikan kepada orang-orang yang bertaubat agar mereka bekerja untuk meraih
kebahagian dunia dan kebahagian akhirat, serta bekerja untuk kebaikan dirinya
dan bangsanya, karena kerja merupakan kunci kebahagian, bukan sekadar alasan
yang dikemukakan ketika tidak mengerjakan sesuatu, atau hanya sekadar mengaku
giat dan bekerja keras. Serta Allah akan melihat pekerjaan yang dilakukan umat
manusia, baik pekerjaan buruk maupun pekerjaan baik. Dan Allah mengetahui
tentang tujuan dari pekerjaan manusia serta niat-niat manusia, walaupun tidak
diucapkan.
Selaras
dengan ayat tersebut, etos kerja dan profesionalisme dalam menjalankan
pekerjaan juga diajarkan oleh Rasulullah SAW, sebagaimana di dalam Sabda beliau
yang menjelaskan mengenai kedua hal tersebut, yaitu melalui hadist di bawah ini
(Al-imam Abi Bakar Ahmad Ibn Husein Al-Baihaqi, Syu’bul Iman, juz 2 hlm. 88).
عَنْ عَاصِمْ بْنِ عُبَيْدِ الله عَنْ
سَالِمْ عَنْ أَبِيْهِ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ للهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُؤْمِنَ الْمُحْتَرِفَ (أخرجه البيهقى)
Dari ‘Ashim Ibn
‘Ubaidillah dari Salim dari ayahnya, Ia berkata bahwa Rasulullah Saw. Bersabda: “Sesungguhnya
Allah menyukai orang mukmin yang berkarya. H. R. Al-Baihaqi (Muhammad Faiz
Al-Math, 1100 Hadits Terpilih, hlm. 182).
Berdasarkan hadits di
atas dapat disebutkan bahwa berwirausaha merupakan kemampuan dalam hal
menciptakan kegiatan usaha dengan etos kerja dan profesionalitas. Selain itu kemampuan
menciptakan memerlukan adanya kreativitas dan inovasi. Kreativitas adalah mampu
menangkap dan menciptakan peluang-peluang bisnis yang bisa dikembangkan. Di
tengah persaingan bisnis yang ketat sekalipun seorang wirausaha tetap mampu
menangkap dan menciptakan peluang baru untuk berbisnis, sehingga ia tidak
pernah khawatir kehabisan lahan. Sedangkan inovasi adalah mampu melakukan
pembaruan-pembaruan dalam menangani bisnis yang digelutinya, sehingga bisnis
yang dilakukannya tidak pernah usang dan selalu dapat mengikuti perkembangan
zaman. Sifat inovatif ini akan mendorong bangkitnya kembali kegairahan untuk
meraih kemajuan dalam berbisnis (Abdullaah, 2011).
Kaidah
Ushul Fiqh
Di dalam kaidah ushul fiqh dijelaskan
bahwa menolak segala kerugian atau kerusakan diutamakan, sebagaimana bunyi
kaidah fiqh darul mafasid muqaddam ‘ala
jalbil mashalih (mencegah kerusakan/kerugian diupayakan lebih dulu
sebelum upaya mendapatkan manfaat/mashlahah).
Menolak kerugian negara yang diakibatkan oleh berbagai macam bentuk kecurangan
atau penyimpangan pada perusahaan negara melalui pengawasan, kontrol atau
pemeriksaan adalah langkah utama dalam mencegah terjadinya kerugian negara dan
dampak yang lebih jauh lagi di masa depan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar