BUMN
Persero selain tunduk pada UU BUMN juga tunduk pada ketentuan dan prinsip UU
PT, disebabkan bentuk badan tersebut ialah Perseroan Terbatas (UU BUMN Ps 1
(2)). Berkenaan dengan penelitian ini, dijelaskan di dalam UU PT Nomor 40 Tahun
2007 pasal 66 ayat (4) dan pasal 68 ayat (3) bahwa BUMN Persero juga dapat
diaudit oleh Kantor Akuntan Publik (KAP). Adapun yang dimaksud dengan KAP yaitu
telah dijelaskan melalui Undang-undang Nomor 5 Tahun 2011 mengenai Kantor
Akuntan Publik yang selanjutnya disebut UU KAP; pada pasal 1 angka 5 bahwa
Kantor Akuntan Publik (KAP) adalah badan usaha yang didirikan berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan dan mendapatkan izin usaha berdasarkan
undang-undang ini.
Audit
BUMN yang dilakukan oleh KAP dapat membantu BPK dalam menjalankan pemeriksaan
kepada BUMN yang ada di Indonesia (UU No.15/2004 Ps 9 (1),(2),(3)), sehingga
KAP yang mengaudit BUMN sebenarnya merupakan perpanjangan tangan BPK dalam
menjalankan tugas dan wewenang pemeriksaan, mengingat jumlah BUMN yang tidak
sedikit, yaitu mencapai 142 BUMN (Djazuli, 2013). Namun, ranah pemeriksaan yang
dapat dijangkau KAP pada BUMN yang menjadi kliennya hanya kepada pemeriksaan
akan kewajaran penyajian sebuah laporan kuangan, yang pada umumnya adalah audit
atas laporan keuangan atau audit keuangan BUMN (Mulyadi, 2002). Di sisi lain,
BPK memiliki ranah audit yang lebih luas, mencakup audit atas keuangan, audit
atas kinerja, hingga pemeriksaan dengan tujuan tertentu (UU BPK Ps 6 (3)),
sebagaimana tugas dan wewenang yang telah diberikan negara melalui UUD maupun
UU kepada badan pemeriksaan keuangan negara yang independen tersebut. Dasar
yang menjadi pedoman audit kedua badan pemeriksa tersebut berbeda. KAP tunduk
pada Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP). Sebagaimana dijelaskan dalam UU
KAP pasal 1 angka 11 bahwa SPAP adalah acuan yang ditetapkan menjadi ukuran
mutu yang wajib dipatuhi oleh Akuntan Publik dalam pemberian jasanya. Sedangkan
BPK tunduk pada Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN). Adapun yang
dimaksud dengan SPKN dijelaskan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2007 tentang
standar pemeriksaan keuangan negara, yaitu patokan untuk melakukan pemeriksaan
pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. KAP yang akan melakukan
pemeriksaan atau audit atas BUMN harus memahami standar pemeriksaan sebagaimana
yang diatur dalam standar pemeriksaan keuangan negara terkait pengelolaan
keuangan negara oleh suatu BUMN. BPK berwenang menilai dan menetapkan kode etik
dan standar tertentu bagi pihak luar termasuk KAP yang akan melakukan
pemeriksaan atas nama BPK (UU BPK Ps 9 (1) f). Laporan hasil pemeriksaan
akuntan publik tersebut wajib diserahkan kepada BPK untuk dievaluasi ulang
serta wajib dipublikasikan (UU BPK Ps 9 (4)).
Hasil
pemeriksaan KAP atas audit BUMN ini ialah berupa temuan. Adapun temuan atas pemeriksaan laporan
keuangan pada BUMN dikategorikan pada 2 (dua) jenis temuan, yaitu temuan akan
kelamahan SPI maupun ketidakpatuhan terhadap UU yang berakibat di antaranya
pada kerugian negara dan potensi kerugian keuangan negara yang terjadi pada
BUMN. Temuan yang masuk ke dalam kategori ketidakpatuhan BUMN akan peraturan
perundang-undangan yang menyebabkan kerugian negara, meliputi: a) kekurangan
volume pekerjaan dan/atau barang, b) kelebihan pembayaran selain kekurangan
volume pekerjaan dan/atau barang, c) belanja tidak sesuai atau melebihi
kebutuhan, d) biaya perjalanan dinas ganda dan atau melebihi ketentuan, e)
belanja perjalanan dinas fiktif, f) pembayaran honorarium ganda dan atau
melebihi standar yang ditetapkan, g) penggunaan uang/barang untuk kepentingan
pribadi, h) belanja atau pengadaan fiktif lainnya, i) spesifikasi barang/jasa
yang diterima tidak sesuai dengan kontrak, j) kerugian lainnya. Sedangkan
temuan audit yang masuk ke dalam kategori ketidakpatuhan BUMN terhadap UU yang
menyebabkan timbulnya potensi kerugian negara, ialah: 1) aset dikuasai pihak
lain, 2) aset tetap tidak diketahui keberadaannya, 3) ketidaksesuaian pekerjaan
dengan kontrak tetapi pembayaran pekerjaan belum dilakukan sebagian atau
seluruhnya, 4) piutang/pinjaman atau dana bergulir yang berpotensi tidak
tertagih, 5) rekanan belum melaksanakan kewajiban pemeliharaan barang hasil
pengadaan yang telah rusak selama masa pemeliharaan, 6) pemberian jaminan
pelaksanaan dalam pelaksanaan pekerjaan, pemanfaatan barang dan pemberian
fasilitas tidak sesuai ketentuan, 7) pembelian aset yang berstatus sangketa, 8)
penghapusan piutang tidak sesuai ketentuan, 9) potensi kerugian negara/daerah
lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar