Di
akhir tahun 2013, pemerintah menghadapi persoalan adanya permohonan uji materi
Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang kemudian disebut
UU Keuangan Negara, dan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) yang kemudian disebut UU BPK, oleh Forum Hukum Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) (Warta BPK, 2013). Dalam uji materi tersebut, pemohon menyatakan
bahwa penyertaan modal negara (PMN) pada BUMN bukan merupakan bagian dari
keuangan negara. Implikasi daripada uji materi ini ialah BPK tidak memiliki
wewenang dalam hal pemeriksaan BUMN di Indonesia sebab telah menjadi ranah
hukum privat, dan BUMN tunduk pada Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 mengenai
Perseroan Terbatas (UU PT) (Bisri dalam risalah sidang, 2013). Hal ini kemudian
menjadi fokus utama BPK dan masyarakat, mengingat nominal PMN dan kepemilikan
negara pada BUMN yang tidak sedikit, sebagaimana diungkapkan dalam Undang-undang
Nomor 19 Tahun 2003 yang selanjutnya disebut UU BUMN bahwa modal utama BUMN,
baik Perum maupun Persero berasal dari penyertaan modal negara secara
keseluruhan maupun sebagian besar, yaitu pada BUMN Persero sekurang-kurangnya
51% saham terhadap keseluruhan saham Persero dikuasai oleh negara.
BUMN adalah wujud perlindungan
negara akan keberlangsungan perekonomian yang diperuntukkan sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat (Bisri dalam risalah sidang, 2013). BUMN berperan penting
dalam mengelola aset-aset strategis negara. Peran BUMN juga begitu besar dalam
pelayanan publik yakni memproduksi kebutuhan masyarakat di samping mengejar
keuntungan. Jasa dan produk BUMN yang meliputi telekomunikasi, listrik,
transportasi, pangan dan kebutuhan primer menjadi hal pokok yang mengusai hajat
hidup orang banyak di dalam perekonomian dan kenegaraan. BUMN pula mengemban
tugas penting pembangunan yang kemudian dikenal sebagai agent of development. Dalam hal ini BUMN berperan menyerap tenaga
kerja agar mampu menghasilkan produk dan jasa yang berdaya saing. Maka dari
itu, negara menjadikan BUMN sebagai salah satu alat penggerak ekonomi yang
utama. Negara menjadi penyokong modal BUMN yang diwujudkan dalam bentuk
penyertaan modal negara (PMN). Selain itu, negara juga memberikan suntikan
bantuan kepada BUMN yang tidak direfleksikan dalam neraca pada laporan keuangan
yang dikenal dengan Bantuan Pemerintah yang Belum Ditetapkan Statusnya (BPYDS).
Seluruh dana penyertaan tersebut bersumber dari keuangan negara yang dikenal
dengan kekayaan negara yang dipisahkan (Djazuli, 2014), sebagaimana yang
diamanatkan UUD ‘45 Pasal 23 ayat (1) serta UU Keuangan Negara Pasal 2 huruf g
dan huruf i yang menjadi objek permohonan uji materi oleh Forum Hukum BUMN
kepada Mahkamah Konstitusi (MK).
Oleh
sebab itu, permohonan uji materi UU Keuangan Negara dan UU BPK tersebut akan begitu
membahayakan keuangan negara terkait penyimpangan pada BUMN yang jika nantinya berhasil
ditemukan dan diungkap melalui proses audit atau pemeriksaan, temuan atau kasus
penyimpangan tersebut tidak dapat dijerat dengan UU antikorupsi, namun hanya
sebagai tindak pidana umum (Bisri, risalah sidang 2013), sebab BUMN telah
menjadi bagian dari perusahaan umum biasa dan bukan termasuk dalam objek
keuangan negara yang menjadi wewenang pemeriksaan BPK. Padahal sebagaimana yang
diungkapkan dalam Undang-undang Dasar 1945 (UUD ‘45) pasal 33 ayat (2) dan (3)
bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat
hidup orang banyak, serta bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Penyimpangan tersebut bahkan terjadi pada BUMN yang masuk
kategori perusahaan besar berdasarkan total aset perusahaan. Lemahnya kontrol
atau pemeriksaan pada tubuh BUMN menjadi salah satu penyebab utama sehingga
menimbulkan indikasi kerugian keuangan negara. Sebagaimana yang diungkap Mahfoedz
(1994) bahwa ada anggapan jika perusahaan dengan aset besar telah menunjukkan
arus kas yang baik sehingga memiliki performa yang baik dalam jangka waktu
lama. Namun hal ini bukanlah jaminan, mengingat kecurangan yang pernah terjadi
pada PT Indo Farma, PT KAI dan PT Kimia Farma pada periode antara 2000-2005 yang
ketiganya merupakan BUMN beraset besar sehingga menimbulkan adanya indikasi
kerugian keuangan negara. BUMN beraset besar tetap membutuhkan adanya
pemeriksaan dan kontrol yang tinggi terhadap penyimpangan dan kecurangan yang
mungkin terjadi di masa datang. Tidak hanya dilihat dari sisi aset, kecurangan
pada tubuh BUMN juga ditemukan dalam transaksi yang dilakukan antar induk dan
anak perusahaan. Kompleksitas pelaporan dan transaksi yang terjadi antar induk
dan anak perusahaan membuka kemungkinan terjadinya kecurangan atau penyimpangan
di tubuh BUMN yang memungkinkan adanya indikasi kerugian keuangan negara. Oleh
karena itu, kontrol keuangan negara yang ada pada BUMN oleh lembaga independen
baik internal maupun eksternal semisal BPK sangat dibutuhkan guna mencegah
penyelewengan dan penyimpangan dalam keuangan negara yang ada pada BUMN
sebagaimana yang diamanatkan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2006 (UU BPK).
Jika
kemudian BUMN dinyatakan terpisah daripada keuangan negara, hal ini akan menyulitkan
BPK untuk melakukan pengawasan dan kontrol keuangan negara yang ada pada BUMN dan
aset negara lainnya yang telah diatur dalam UU Keuangan Negara dan UU BPK. Penyimpangan
dan penyelewengan yang terjadi pada tubuh BUMN yang tidak dikontrol dan diawasi
dengan standar yang telah ditentukan negara, sebagaimana yang diamanatkan oleh
UU Keuangan Negara akan membawa dampak kerugian keuangan negara. Meskipun secara
penuh, Kantor Akuntan Publik (KAP) akan menggantikan pemeriksaan atau audit
yang dilakukan BPK sebagaimana yang diamanatkan UU PT jika kelak uji materi UU
Keuangan Negara dan UU BPK dikabulkan MK. Namun ranah audit KAP hanya terbatas
pada pemeriksaan keuangan, sedangkan BPK memiliki wewenang pemeriksaan yang
juga meliputi pemeriksaan kinerja dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT)
yang memungkinkan pemeriksaan yang lebih luas dan mendalam (Mulyadi dalam Rima,
2010). Begitupun standar yang digunakan oleh keduanya juga berbeda. Jika KAP tunduk
pada Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) yang dikeluarkan oleh Dewan
Standar Professional Akuntan Publik Institut Akuntan Publik Indonesia (DSPAP
IAPI), maka BPK memiliki standar sendiri, yaitu berupa Standar Pemeriksaan
Keuangan Negara (SPKN) yang digunakan untuk menjaga kredibilitas serta profesionalitas
dalam pelaksanaan maupun pelaporan pemeriksaan, baik pemeriksaan keuangan,
kinerja, serta pemeriksaan dengan tujuan tertentu (www.scholar.google.com).
Oleh karena itu, menjadi sangat penting untuk peduli pada keselamatan aset negara kita (re: BUMN)
Tapi guys, kita wajib bersyukur karena pada 24/9/2014 kemarin MK telah menolak uji materi UU No 17/2003 :D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar