Di Indonesia terdapat 3
(tiga) kekuasaan tertinggi yang mengatur jalannya kehidupan bernegara. Tiga kekuasaan
tertinggi ini kemudian dikenal dengan istilah trias politica yang dijadikan paham mendasar dalam ketatanegaraan
Republik Indonesia. Adapun kekuasaan itu, meliputi (Djazuli, 2014):
1. Kekuasaan
legislatif yang dipegang oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan
Perwakilan Daerah (DPD). Hal ini berdasarkan amanat UUD ‘45 Pasal 20 ayat (1).
Kekuasaan legislatif di Indonesia merupakan kekuasaan dalam membuat
Undang-undang.
2. Kekuasaan
eksekutif yang dipegang oleh Presiden. Hal ini diamanatkan melalui UUD ‘45
Pasal 4 ayat (1). Kekuasaan eksekutif di Indonesia merupakan kekuasaan yang
memegang pemerintahan negara.
3. Kekuasaan
yudikatif yang dipegang oleh Komisi Yudisial (KY), Mahkamah Konstitusi (MK) dan
Mahkamah Agung (MA). Hal ini juga telah diatur dalam UUD ‘45 Pasal 24 ayat (1).
Kekuasaan Yudikatif memegang kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan.
Sedangkan Badan Pengawas Keuangan (BPK)
secara struktural menempati posisi khusus yang memegang kekuasaan auditif
dengan tujuan untuk mendorong terwujudnya akuntabilitas dan transparasi
pemerintah, department, badan/lembaga negara termasuk BUMN dengan objek
pemeriksaan adalah keuangan negara (Djazuli, 2014). BPK melaksanakan
pemeriksaan yang hasilnya akan dilaporkan kepada DPR yang secara khusus telah
membentuk Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN).
Melalui pemeriksaan
yang dilakukan oleh BPK maka diharapkan BUMN yang secara nyata melaksanakan dan
memegang jalannya perekonomi Indonesia mampu mewujudkan akuntabilitas dan
transaparansi. Sebab akuntabilitas dan transaparansi merupakan pilar utama dari
good governance. Konsep akuntabilitas
diterjemahkan sebagai setiap individu, penguasa atau pejabat harus menyadari
bahwa segala tindakannya berdampak kepada orang lain/masyarakat/publik,
sehingga harus mempertanggungjawabkan segala tindakannya kepada publik yang
menjadi konsumen pelayanannya (Deklarasi Tokyo). Terdapat 2 (dua) jenis
akuntabilitas, yaitu (Djazuli, 2014):
1. Akuntabilitas
Keuangan, menekankan pada pertanggungjawaban integritas keuangan dan ketaatan
terhadap peraturan perundang-undangan, sehingga praktik-praktik penyimpangan,
kecurangan dan Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) dalam keuangan dapat
dihindari.
2. Akuntabilitas
Kinerja, menekankan pada pertanggungjawaban atas penggunaan sumber daya publik
secara efisien, ekonomis dan efektif (3E) dalam memberikan yang berkualitas
sesuai harapan publik.
Sedangkan konsep transparansi
diterjemahkan sebagai setiap program dan kegiatan pemerintahan terbuka untuk
umum dan secara mudah dapat diakses oleh berbagai unsur yang memiliki
perhatian, sehingga meningkatkan partisipasi mereka untuk turut mengontrol (check and balance) dalam mewujudkan tata
kelola pemerintahan yang baik.
BPK melaksanakan 3
(tiga) jenis pemeriksaan yang berkenaan dengan keuangan negara, yaitu
pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja dan pemeriksaan dengan tujuan
tertentu (PDTT). Pemeriksaan tersebut dilakukan BPK guna melaksanakan perannya
dalam meningkatkan kesejahteraan sosial sebagaimana yang diamanatkan UUD ‘45
pasal 33 E. Kerangka pemeriksaan BUMN oleh BPK dimulai dengan mengidentifikasi
urusan bisnis (profit motif) BUMN, dilanjutkan dengan pelaksana yang merupakan
penguasa atau regulator BUMN yang diawasi oleh Kementrian BUMN hingga akhirnya
kepada BUMN yang bersangkutan. Khusus untuk BUMN, sebagaimana yang telah
dijelaskan sebelumnya bahwa BPK lebih menekankan pada pemeriksaan dengan tujuan
tertentu (PDTT). Hal ini disebabkan adanya pemikiran bahwa pada dasarnya
pemeriksaan keuangan terhadap BUMN lebih banyak dilakukan oleh Kantor Akuntan
Publik (KAP).
Hasil pemeriksaan BPK
dituangkan dalam laporan hasil pemeriksaan (LHP) yang memuat temuan,
kesimpulan, dan rekomendasi. Setiap temuan dari hasil pemeriksaan PDTT BUMN
yang dilakukan oleh BPK dapat terdiri dari satu atau lebih permasalahan seperti
kelemahan sistem pengendalian intern (SPI), ketidakpatuhan terhadap ketentuan
perundang-undangan yang mengakibatkan kerugian negara, kekurangan penerimaan,
penyimpangan administrasi, ketidakhematan, ketidakefisienan, dan
ketidakefektifan. Adapun bentuk-bentuk temuan ketidakpatuhan terhadap ketentuan
perundang-undangan yang mengakibatkan kerugian negara pada perusahaan milik
negara termasuk BUMN, ialah: (a) kekurangan volume pekerjaan dan/barang, (b)
kelebihan pembayaran selain kekurangan volume pekerjaan dan/barang, (c)
pemahalan harga (mark up), (d)
belanja tidak sesuai atau melebihi ketentuan, (e) spesifikasi barang/jasa yang
diterima tidak sesuai dengan kontrak, dan (f) kerugian lainnya. Sedangkan
bentuk-bentuk temuan ketidakpatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan yang
mengakibatkan muncul/terjadinya potensi kerugian negara pada perusahaan negara
termasuk BUMN, yaitu: a) piutang/pinjaman atau dana bergulir yang berpotensi
tidak tertagih, b) ketidaksesuaian pekerjaan dengan kontrak tetapi pembayaran
pekerjaan belum dilakukan sebagian atau seluruhnya, c) rekanan belum
melaksanakan kewajiban pemeliharaan barang hasil pengadaan yang telah rusak
selama masa pemeliharaan, d) aset dikuasai pihak lain, e) potensi kerugian
lainnya (IHPS BPK, 2013). Kedua jenis temuan ini yang kemudian dijabarkan ke
dalam beberapa turunan atas dua temuan sebelumnya, masuk sebagai kategori
pengukuran kerugian keuangan negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar