Total aset yang
dikelola BUMN mencapai 2 (dua) kali APBN Indonesia yang belanjanya mencapai
Rp1.435 Triliun. 147 BUMN yang ada di Indonesia sejak 2010 mengelola aset
sebesar Rp2.513,1 Triliun, pada tahun 2011 meningkat menjadi Rp2.969,1 Triliun
kemudian di posisi per 31 Desember 2012 aset yang dikelola BUMN bernilai
Rp3.550,5 Triliun. Selain aset yang diungkapkan pada neraca, BUMN juga
mengelola aset yang belum dinyatakan dalam laporan keuangan, yaitu berupa
Bantuan Pemerintah yang Belum Ditetapkan Statusnya (BPYDS). Pada tahun 2010,
BPYDS pada BUMN bernilai Rp47,5 Triliun yang kemudian pada tahun 2011 turun menjadi Rp42,6 Triliun dan kemudian turun kembali
menjadi senilai Rp36,5 Triliun (Djazuli, 2014).
Pada tahun 2010, 2011,
dan 2012 secara umum BUMN berhasil membukukan keuntungan. Pada tahun 2010 dari
145 BUMN yang dimiliki negara, sebanyak 126 BUMN atau sekitar 86,9% berhasil
membukukan laba. Nilai laba yang diperoleh oleh 126 BUMN tersebut yaitu
mencapai Rp100,8 Triliun sedangkan nilai kerugian yang diderita oleh 19 BUMN
lainnya mencapai Rp1,9 Triliun sehingga
laba bersih yang dibukukan oleh BUMN pada tahun 2010 yaitu sebesar Rp98,1
Triliun. Nilai laba yang diperoleh tersebut, jika dibandingkan degan total aset
yang dimilikinya maka diperoleh Return on
Investment (ROI) secara agregat sebesar 3,93%. Kinerja keuangan BUMN
cenderung menurun pada tahun 2011 jika dibandingkan dengan kinerja keuangannya
pada tahun 2010. Hanya 119 BUMN yang membukukan laba dari sekitar 144 BUMN yang
ada atau hanya sebesar 82,6% BUMN yang membukukan keuntungan dari keseluruhan
total BUMN pada tahun 2011. Nilai moneter keuntungan yang diperoleh oleh 119
BUMN tersebut hanya mencapai Rp116,1 Triliun, sedangkan 25 BUMN lainnya
membukukan kerugian dengan nilai mencapai Rp3,7 Triliun. Sehingga keuntungan
bersih yang diperoleh oleh 144 BUMN secara keseluruhan pada tahun 2011 hanya
mencapai Rp112,4 Triliun atau nilai ROI yang dicapai adalah setara dengan 3,79%
(Djazuli, 2014).
Kinerja keuangan BUMN
meningkat pada tahun 2012. Dari 143 BUMN yang ada pada tahun itu, tercatat 124
BUMN berhasil membukukan laba dengan persentase sebesar 86,7%. Nilai moneter
keuntungan yang berhasil dicapai BUMN tersebut adalah sebesar Rp143,1 Triliun.
Kerugian yang dialami oleh 19 BUMN lainnya pada tahun yang sama adalah sebesar
Rp2,2 Triliun sehingga keuntungan bersih yang dikumpulkan oleh BUMN secara
keseluruhan yaitu mencapai Rp140,8 Triliun atau setara dengan ROI sebesar 3,97%
dan meningkat jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya (Djazuli, 2014).
Selama tahun 2010
hingga 2012, BUMN telah memberikan masukan bagi negara berupa dividen sebesar
Rp28,3 Triliun pada tahun 2010. Namun, di tahun 2011 dividen yang dibagikan
BUMN pada negara mengalami penurunan menjadi sebesar Rp26,2 Triliun. Kemudian
di tahun 2012 dividen yang diserahkan BUMN pada negara kembali meningkat
menjadi senilai Rp30,3 Triliun. Porsi sumber dividen terbesar disumbangkan oleh
PT Pertamina yang kontribusinya mencapai 33,57% pada periode 2010, 21,43% pada
tahun 2011 dan 23,92% di tahun 2012 (IHPS BPK, 2013).
Beberapa BUMN di
Indonesia memiliki anak perusahaan. Adanya anak perusahaan pada BUMN
menyebabkan transaksi yang dijalankan BUMN akan semakin rumit sebab memerlukan
laporan konsolidasi bersama induk perusahaannya. Transaksi yang semakin
kompleks pada perusahaan dengan sistem induk-anak ini memungkinkan terjadinya
penyimpangan dan kecurangan, sehingga kontrol atau pengawasan diperlukan dalam
mencegah kecurangan yang berpotensi menimbulkan indikasi kerugian keuangan
negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar