طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ #menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim# اطْلُبُوْا الْعِلْمَ وَلَوْ بِالصِّيْنِ #tuntutlah ilmu walau hingga ke negeri Cina#

Kamis, 24 Oktober 2013

COST PRINCIPLE IN ISLAMIC VIEW

COST PRINCIPLE IN ISLAMIC VIEW: PENERAPAN FAIR VALUE VS HISTORICAL COST DALAM LAPORAN KEUANGAN ISLAM
Rysky Marlinda[1]

            Cost principle yang digunakan dalam penyusunan laporan keuangan di Indonesia dan telah dipelajar penulis; meliputi dua prinsip, yaitu historical cost principle dan fair value (setelah adanya International Financial Reporting Standard yang kemudian disebut IFRS). Historical cost secara menyeluruh digunakan sebelum adanya standar yang konvergensi terhadap IFRS (Puspitaningtyas, 2012). Prinsip historical cost mengakui asset sesuai dengan nilai perolehan ketika pertama kali diakuisisi. Sebagaimana yang dijelaskan dalam PSAK No. 19 (revisi 2009) historical cost mengakui kas atau setara kas yang dibayarkan atau nilai wajar lain yang diserahkan atau memperoleh asset pada saat perolehan atau konstruksi, atau jika dapat diterapkan jumlah yang dapat didistribusikan langsung ke asset pada saat pertama kali diakui sesuai dengan persyaratan tertentu. Prinsip historical cost digunakan dengan alasan memenuhi karakteristik kualitatif primer laporan keuangan, yaitu reliable (Financial Accounting Standard Board selanjutnya disebut FASB, 1980). Karakteristik ini membuat informasi keuangan yang dihasilkan dinilai lebih objektif dan dapat dibuktikan. Sebagaimana yang dijelaskan (Soetjipto:2004:4 dalam Kodrat, tanpa tahun) beberapa alasan penerapan prinsip ini dalam sebuah laporan keuangan adalah pertama, berguna bagi menejer dalam menentukan keputusan karena membutuhkan informasi dari pencatatan masa lalu. Kedua, dapat dipertanggungjawabkan dan lebih objektif sehingga mudah untuk diaudit dan sulit untuk dimanipulasi karena pencatatan disesuaikan dengan transaksi ketika perolehan (akuisisi). Ketiga, nilai historis lebih mudah untuk dibandingkan antar industri maupun antar waktu untuk suatu industri. Namun di sisi lain, prinsip historical cost memiliki banyak kelemahan, salah satunya ialah dengan prinsip ini laporan keuangan disusun menggunakan harga-harga yang timbul dari transaksi (nilai historis) sedangkan sebagai alat ukur di dalam perekonomian digunakan satuan unit moneter. Adanya inflasi menyebabkan satuan unit moneter tidak stabil, sehingga dengan menggunakan prinsip nilai historis, penyusunan laporan keuangan tidak mencerminkan kondisi yang sebenarnya jika terjadi perubahan daya beli (Suwardjono 2005:359). Kelemahan prinsip historical cost lainnya dijelaskan (Muljono, 1995: 48-49), antara lain: 1) Pembebanan biaya yang terlalu kecil dikarenakan biaya dibebankan pada waktu tertentu dengan nilai uang yang telah ditetapkan beberapa periode yang lalu pada saat pencatatan terjadinya biaya tersebut. 2) Nilai aktiva yang dicatat dalam neraca akan lebih rendah apabila dibandingkan dengan perkembangan harga daya beli uang terakhir. 3) Biaya depresiasi dan amortisasi dibebankan terlalu kecil sehingga perhitungan laba menjadi terlalu besar 4) Perusahaan cenderung tidak mempertahankan real capital dan terjadinya kanibalisme terhadap modal sehubungan dengan pembayaran pajak dan pembagian laba yang terlalu besar 5) Menyulitkan manajemen jika harus mendasarkan penyusunan laporan keuangan menggunakan asumsi kestabilan unit moneter. Inilah yang menyebabkan penyusunan laporan keuangan dengan prinsip historical cost tidak menggambarkan kondisi keuangan perusahaan yang sebenarnya. Untuk itulah para ahli tidak henti mencari model yang tepat agar ada perhitungan dan pengukuran yang dapat mencerminkan kondisi keuangan perusahaan yang sebenarnya meski terjadi perubahan harga masa kini dan nanti.
Akuntansi nilai wajar (fair value) dianggap sebagai solusi bagi perhitungan dan penyajian laporan keuangan dengan prinsip historical cost. Hal ini dikarenakan penyajian laporan keuangan dengan prinsip fair value lebih menggambarkan kondisi perusahaan yang sebenarnya dan tidak didasarkan pada harga tetap maupun harga perolehan di masa lalu, sehingga memberi informasi yang lebih bermafaat bagi para pengguna laporan keuangan tersebut (Puspitaningtyas, 2012). Adapun yang dimaksud dengan fair value adalah suatu jumlah yang dapat digunakan sebagai dasar pertukaran asset atau penyelesaian kewajiban antara pihak yang paham (knowledgeable) dan berkeinginan untuk melakukan transaksi wajar. (Ikatan Akuntan Indonesia selanjutnya disebut IAI, 2009 dalam Puspitaningtyas, 2012). Prinsip ini akan membantu perusahaan untuk menyajikan kondisi keuangan perusahaan terutama properti investasi, beberapa asset tidak berwujud, asset keuangan dan asset biologis pada keadaan yang sebenarnya meski nilai harga berubah-ubah sebagaimana dijelaskan dalam International Accounting Standards (IAS) 41. Oleh sebab itu, laporan keuangan yang disajikan dengan prinsip fair value sebenarnya telah memenuhi salah satu karakteristik kualitatif primer laporan keuangan, yaitu relevan (Puspitaningtyas, 2012). Informasi keuangan dianggap relevan jika ia disajikan tepat waktu dan memiliki kapasitas untuk mempengaruhi keputusan para decision makers ketika menentukan keputusan-keputusan ekonomi. Prinsip fair value yang diadopsi dalam sebuah laporan keuangan akan memberi informasi yang dapat digunakan masa kini, memprediksi return di masa datang, dan mengevaluasi akan kesalahan-kesalahan masa lalu sehingga relevan dan lebih bermanfaat bagi para penggunanya. Keuntungan lainnya adalah pos-pos asset dan liabilitas yang disajikan dalam laporan keuangan lebih mewakili keadaan sebenarnya sesuai dengan tanggal laporan keuangan (Cahyati, 2011).
Meskipun istilah fair value telah lama dikenalkan oleh Accounting and Auditing Organization for Islamic Finance Institution (AAOIFI) sejak organisasi tersebut didirikan pada tahun 1990, di Indonesia sendiri masih ada perusahaan-perusahaan yang menggunakan historical cost. Hal tersebut dikarenakan sebagian pengguna menganggap prinsip fair value kurang reliable (andal) karena dapat menimbulkan volatilitas dalam laporan keuangan. Volatilitas dalam laporan keuangan mampu mengurangi prediksi akan laba yang dihasilkan perusahaan. Kecuali jika volatilitas di dalam laporan keuangan menggambarkan kondisi perusahaan yang sebenarnya dan kondisi ekonomi yang sedang terjadi, maka hal tersebut akan mengurangi kemungkinan manajeman laba dalam laporan keuangan (Siregar, 2010, dalam Lestari, tanpa tahun). Standar yang telah konvergensi terhadap IFRS lebih condong menggunakan prinsip nilai wajar yang memang menyajikan informasi lebih fair (Lestari, tanpa tahun). Hal ini yang kemudian diupayakan untuk diberlakukan secara umum kepada perusahaan-perusahaan lainnya.
Penjelasan mengenai kedua prinsip penyajian laporan keuangan di atas, memberikan informasi bahwa baik prinsip historical cost maupun prinsip fair value, keduanya memiliki kelebihan serta kelemahan dalam penyajian laporan keuangan. Bagaimana kemudian Islam memandang kedua prinsip tersebut? Hal ini terkait erat dengan aspek keadilan yang menjadi fokus dalam Islam. Secara ekonomi dan akuntansi, keadilan dalam Islam tercermin salah satunya melalui laporan keuangan. Laporan keuangan konvensional dan laporan keuangan Islam memiliki perbedaan yang urgen, yaitu adanya pengakuan atau laporan akan nilai zakat yang dikeluarkan bagi setiap muslim maupun institusi (perusahaan) tertentu yang hukumnya wajib (Kusumaningrum, 2009). Sehingga laporan keuangan menjadi penting untuk tidak hanya memberi informasi mengenai prospek return di masa datang dan kinerja keuangan perusahaan saja bagi setiap penggunanya, namun juga laporan keuangan dapat menjadi sumber informasi terkait nilai zakat yang dikeluarkan atas objek zakat tertentu. Hal ini selaras dengan pernyataan (Gambling dan Karim 1986, dalam Kusumaningrum, 2009) bahwa motivasi pelaporan keuangan bagi setiap komunitas Islam adalah sebagai penyedia informasi yang relevan dalam perhitungan zakat, di samping faktor-faktor pendorong lainnya, yaitu:
1.      Adanya pengaruh Al-Quran dan As-Sunnah terkait penyusunan dan penggunaan laporan keuangan. Poin ini tercermin dalam Q.S. Al Baqarah ayat 282, sebagaimana potongan ayatnya: “Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bermualah tidak secara tunai untuk  waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya secara benar…”. Serta teladan yang diberikan Rasulullah SAW, yaitu ketika beliau sukses menjalankan perdagangan. Kesuksesan tersebut mustahil terealisasi tanpa pencatatan usaha yang jujur dan benar.
2.      Adanya pelarangan riba dalam Islam ketika bermuamalah (Al-Baqarah ayat 275-281; Al-Imran ayat 130; Ar-Rum 39)
3.      Menggantikan tarnsaksi konvensional yang melibatkan riba
4.      Kepentingan cendekiawan dan ahli hukum Islam
Menentukan objek zakat pada perusahaan yang menerbitkan laporan keuangan tidak hanya dilihat berdasarkan laba yang dihasilkan ataupun besaran kerugian yang diterima perusahaan tersebut, namun zakat dibayarkan hanya atas gorwing capital, yaitu pertumbuhan atas asset tetap dan asset lancar baik yang telah terealisasi maupun yang belum terealisasi. Aset kemudian diklasifikasikan atas capital asset (fixed asset) seperti peralatan dan mesin yang digunakan dalam operasi bisnis utama perusahaan. Serta asset lainnya berupa stock of inventories, yaitu current asset yang dipersiapkan untuk dijual kembali. Zakat dibayarkan atas kas, persediaan, piutang, dan sekuritas dikurangi semua utang terkait item-item tersebut. Semua keuntungan baik yang telah maupun belum terealisasi, wajib dikenai zakat. Namun demikian, untuk kepentingan distribusi, hanya keuntungan atas asset tetap dan asset lancar yang telah direalisasikan yang dapat didistribusikan sebagi deviden (El-Badawai dan Al-Sultan, 1992, dalam Kusumaningrum, 2009).
Dalam menghitung zakat perusahaan, beberapa ahli mendukung penggunaan prisip historical cost ketika menilai aset yang menjadi objek zakat untuk dikeluarkan dan dilaporkan dalam laporan keuangan. Hal ini disebabkan para ahli tersebut berpendapat bahwa, prinsip historical cost yang digunakan dalam menilai aset perusahaan lebih reliable dan verifiable (Kusumaningrum, 2009). Hanya saja, prinsip historical cost yang juga dijastifikasi oleh prinsip kehati-hatian (konservatisme) dinilai oleh banyak ahli tidak relevan untuk tujuan pelaporan akuntansi Islam, terutama zakat. Dikarenakan perhitungan aset dengan prinsip historical cost tidak menggambarkan kondisi sebenarnya aset yang akan menjadi dasar perhitungan zakat yang dikeluarkan oleh perusahaan tersebut pada masa dibayarkannya zakat (Gambling dan Karim, 1986, dalam Kusumaningrum, 2009). Sehingga banyak ahli berpendapat bahwa nilai pasar saat ini (fair value) berdasarkan harga jualnya, tepat digunakan dalam penilaian aset untuk menghitung zakat. Sebab prinsip ini sejalur dengan konsep growing capital, baik yang riil maupun estimasi (El-Badawai dan Al-Sultan, 1992, dalam Kusumaningrum, 2009). Sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “value at current falue (fair value) and then pay zakah (on it)”. Serta dinyatakan pula oleh AAOIFI dalam pernyataan konsep bahwa “zakat dihitung berdasarkan nilai aset yang dimiliki” sehingga nilai aset harus sesuai dengan kondisi yang sebenarnya (fair value). Oleh karena itu, prinsip fair value diyakini lebih mendukung aspek keadialan sosial dalam Islam dibandingkan dengan prinsip historical cost ketika menghitung zakat. Sebab kekayaan dinyatakan secara relevan dan nilai zakat yang dihitung sesuai dengan nilai aset ketika zakat dibayarkan. Berbeda kondisinya jika menggunakan historical cost, nilai aset akan lebih rendah sehingga zakat yang dikeluarkan akan lebih kecil bagi mustahiq (Kusumaningrum, 2009). Namun demikian, beberapa ahli akuntansi Islam juga berpendapat bahwa prinsip fair value menyebabkan terjadinya pendistribusian laba sebelum  adanya pengembalian modal, yang melanggar konsep tandeed principle. Menurut konsep ini, harusnya tidak ada distribusi laba dari transaksi komersial hingga pengembalian modal yang diinvestasikan dalam transaksi. Shihadah (2007) melalui Kusumaningrum (2009) menjelaskan bahwa tandeed principles lebih merupakan konsep riil atau ekonomis daripada sekedar pengembalian modal nominal dan oleh karenanya penggunaan fair value yang harunya digunakan. Mengakui masalah praktik terkait fair value, Baydoun dan Willet (2000)  melalui Kusumaningrum 2009, menyimpulkan bahwa laporan keuangan Islam seharusnya meliputi dua neraca, yaitu neraca yang menggunakan historical cost dan neraca yang menggunakan fair value. Double sistem dalam penilaian aset ini akan membantu perusahaan ketika menjalin kontrak karena menyajikan laporan keuangan dengan menggunakan prinsip historical cost sehingga lebih reliable. Selain itu, perusahaan juga dapat melaksanakan kewajiban sosialnya, misal pembayaran dan pelaporan zakat dengan penyajian laporan keuangan berdasarkan prinsip fair value. Kedua laporan tersebut menjadi bagian yang saling melengkapi dalam pelaporan keuangan Islam.


Referensi:
Al-Quranul Karim.
Cahyati. 2011. Implikasi Tindakan Perataan Laba terhadap Pengambilan Keputusan Oleh Investor. Jurnal Riset Akuntansi dan Komputerisasi Vol 2 No 1 Januari 2011.
FASB. 1980. Qualitative Characteristic of Accounting Information, Statement of Financial. Accounting Concepts No. 2.
Kodrat, David Sukardi. Tanpa Tahun. Studi Banding Penyusunan Laporan Keuangan dengan Metode Historical Cost Accounting dan General Price Level Accounting pada Masa Inflasi. Tersedia dalam http://www.petra.ac.id/~puslit/journals/dir.php?DepartmentID=AKU Paper Universitas Kristen Petra.

Kusumaningrum, Wahyu. 2009. Penilaian Aset dalam Perhitungan Zakat: Historical Cost Vs Current Value. Paper Universitas Gadjah Mada.

Lestari, Yona Octiani. Tanpa Tahun. Konvergensi International Financial Reporting Standards (IFRS) dan Manajemen Laba di Indonesia.  Paper Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.
Muljono, Teguh Pudjo. 1995. Analisa Laporan Keuangan untuk Perbankan, Edisi Revisi 3. Jakarta: Djambatan.
Puspitaningtyas. 2012. How Accounting Information is Useful for Investor?. Proceeding of International Conference 2012. University Industry Business Linkage. Jakarta 350-354.
Puspitaningtyas. 2012. Relevansi Nilai Informasi Akuntansi dan Manfaatnya bagi Investor. Jurnal Ekonomi dan Keuangan. Akreditasi No. 110/DIKTI/Kep/200. ISSN 1411-0393.
Suwardjono, 2005. Teori Akuntansi Perekayasaan Pelaporan Keuangan, Yogyakarta: BPFE.


 











[1] NIM: S.1014.190 Akuntansi Islam (Sistem), STEI TAZKIA
readmore »»  

Selasa, 15 Oktober 2013

YUK PATUNGAN BEASISWA :)

SELAMAT IDUL ADHA...  Ada info untuk teman-teman/bapak/ibu semua. Yuk kita baca sebentar 

Assalamualaikum Wr. Wb
Indahnya Bulan Qurban dan bulan berbagi,,..

Selain bagi-bagi daging Qurban, di Bulan Haji dan Qurban ini Baitul Maal Wa Tamwiil (BMT) Andalusia dan Yayasan Andalusia Islamic Center juga mengadakan program bagi-bagi beasiswa dan membuka kesempatan bagi kita; Ibu/Bapak serta teman-teman semua untuk ikut melukis senyum pendidikan melalui beasiswa Sekolah Dasar (SD) kepada 300 adik-adik dari keluarga dhuafa binaan Baitut Tamkin Tazkia Madani (BTTM) di kawasan Sentul City dalam program,

"Dengan Qurban Melukis Senyum Pendidikan"

* Dapat beasiswa? Bisa... Memberi beasiswa? Itu luar biasa..*
Berminat untuk ikut ber-"qurban"? Insya Allah hidup anda, keluarga anda dan harta anda berkah.

Donasi dapat disalurkan melalui:
Bank Mega Syariah 10 000 860 30 a/n Yayasan Andalusia Islamic Center.

Info lebih lanjut, dapat menghubungi:
Muhammad J. Effendi (0857 1709 1183)
Ilma Juriyanahdia (0896 0670 9077)
Rysky Marlinda (0857 332 92 65)

--
Best Regards...
Muhammad J. Effendi
http://mjeffendi.com/
readmore »»  

Kamis, 10 Oktober 2013

DEFAULT RISK PROTECTOR FOR MUDHARABAH FINANCING

MODIFIKASI SUKUK: SOLUSI FUNDING DAN PROTECTING DEFAULT RISK PEMBIAYAAN MUDHARABAH DI PERBANKAN SYARIAH
Muhammad Idris
Sekolah Tinggi Ekonomi Islam (STEI) Tazkia
Rysky Marlinda
Sekolah Tinggi Ekonomi Islam (STEI) Tazkia
Ayu Rini Afifah
Sekolah Tinggi Ekonomi Islam (STEI) Tazkia

Abstract
Mudharabah financing is a major characteristic of Islamic banking which is very potential to be distributed to productive sector. But until now, these finance schemes is still low due to several key factors, such as first, the high risk financing. Second, source of funds raised by Islamic banks are dominated by short term funds which are not appropriate to the character of mudharabah financing. Through qualitative methods in this paper, the author aims to offer a modification of sukuk concept as the instrument of funding and protection on the default risk in mudharabah financing. As a funding instrument, sukuk will be issued on the basis of deposits product in Islamic banks. In this case, the bank would issue sukuk deposits retail, so that, character of long-term financing in mudharabah can be solved through this concept. While, in the case of default risk protection in debtors business, the Islamic banks as issuers would issue sukuk protection which is offered to the insurance company. The benefits for the investors of this sukuk, are: coupon rate of return, the result of spinning sukuk funds in the productive sector and repurchase by the issuer of this sukuk (Islamic banks) when due.

Keywords: sukuk, funding, mudharabah financing, default risk.

Abstrak
Pembiayaan mudharabah merupakan karakteristik utama perbankan syariah yang sangat potensial untuk disalurkan pada pembiayaan sektor produktif. Namun hingga saat ini, skim pembiayaan ini masih minim di bank syariah yang disebabkan beberapa faktor utama, antara lain, pertama, tingginya risiko pembiayaan. Kedua, sumber dana yang dihimpun perbankan syariah dominan berasal dari dana-dana jangka pendek yang kurang sesuai dengan karakter pembiayaan mudharabah. Melalui metode kualitatif dalam karya tulis ini, penulis bertujuan untuk menawarkan konsep modifikasi sukuk sebagai instrumen penghimpun dana (funding) dan proteksi default risk pada pembiayaan mudharabah. Sebagai instrumen  funding, sukuk akan diterbitkan atas dasar produk deposito berjangka yang ada pada bank syariah, sehingga dalam hal ini bank syariah akan menerbitkan sukuk ritel deposito berjangka sehingga karakter pembiayaan mudharabah yang berjangka panjang dapat dipecahkan melalui konsep ini. Sedangkan dalam hal sebagai proteksi default risk pada usaha yang dijalankan debitur, maka bank syariah sebagai issuer akan menerbitkan sukuk proteksi yang kemudian ditawarkan kepada perusahaan asuransi. Manfaat pembelian sukuk tersebut bagi investor, ialah: tingkat imbal hasil kupon, bagi hasil dari perputaran dana sukuk pada sektor produktif dan pembelian kembali sukuk oleh penerbit (bank syariah) ketika jatuh tempo.

Kata kunci: sukuk, funding, pembiayaan mudharabah, default risk.

1.      Pendahuluan
Gagasan hadirnya dual banking system pada industri perbankan melalui undang-undang no 10 tahun 1998 menjadi awal tumbuh dan berkembangnya perbankan syariah di Indonesia. Hampir satu dekade jumlah BUS dan UUS terus mengalami peningkatan, sebagaimana ditunjukan melalui tabel berikut:

Tabel 1.1: Jumlah Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah di Indonesia
Sumber: Laporan Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia Oktober 2011[1]
Bahkan jumlah BUS dan UUS pada akhir periode 2012 telah mencapai 2.188 kantor yang tersebar di 33 provinsi di Indonesia.[2]
            Pertumbuhan perbankan syariah di Indonesia ini menjadi jawaban atas kebutuhan masyarakat muslim yang merupakan populasi terbesar di Indonesia. Jika digali lebih dalam, maka latar belakang nasabah memilih perbankan syariah adalah karena dorongan emosional keagamaan yang menginginkan implementasi prinsip-prinsip syariah. Perbedaan mendasar perbankan syariah dan perbankan konvensional adalah melalui prinsip bagi hasil yang diusung perbankan syariah sejak awal berdiri. Prinsip bagi hasil yang melekat pada beberapa akad di perbankan syariah, misalnya melalui akad mudharabah diimplementasikan melalui pembiayaan yang menjadi core utama perbankan syariah. Sebagaimana laporan Bank Indonesia pada tahun 2012, pembiayaan melalui perbankan syariah meningkat lebih kurang 40% menjadi sebesar Rp135,58 T[3].
Tak dipungkiri bahwa bank syariah adalah salah satu perbankan yang dinilai mampu sustain di masa krisis yang sempat mengguncang Indonesia pada periode 1997-1998, yang mana konsep bagi hasil menjadi salah satu sistem imun yang menjaga ketahanan lembaga keuangan tersebut. Kekuatan perbankan syariah yang menjadi salah satu stabilitator sistem keuangan Indonesia inilah yang sebenarnya diharapkan terus dikembangkan hingga sekarang, baik melalui penghimpunan maupun pembiayaan (penyalurannya). Hanya saja, pembiayaan pada perbankan syariah dewasa ini masih didominasi oleh akad murabahah, yang ditunjukkan pada diagram 1 berikut:
Diagram 1.1: Komposisi Pembiayaan Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah Maret 2013
Sumber: Diolah penulis melalui Statistik Perbankan Syariah, Maret 2013 Bank Indonesia
Piutang Murabahah paling mendominasi dengan portofolio sebesar 60,48%. Hal ini mengindikasikan bahwa perbankan syariah masih didominasi oleh dana mahal dalam penghimpunan dan penyalurannya dalam pricing (marjin dari piutang Murabahah) yang cukup tinggi dibandingkan dengan rata-rata suku bunga (rata-rata tahun 2012 s.d September 2012 equivalent rate sebesar 14,31%).[4]
            Pembiayaan dengan akad murabahah masih begitu dominan kepada sektor konsumtif dengan dampak yang tak cukup besar bagi masyarakat, sedangkan di sektor produktif penyalurannya masih begitu rendah. Padahal tak sedikit masyarakat pada kondisi starting business, maupun high risk business yang membutuhkan modal dengan akad yang tak mahal, semisal bagi hasil yang ada pada konsep mudharabah dengan harapan memacu sektor produktif lebih baik. Sebagaimana yang diungkapkan H.Adiwarman A.Karim[5] bahwa, minimnya pembiayaan mudharabah pada sektor perbankan disebabkan oleh tingginya risiko pembiayaan dengan akad tersebut, beberapa diantaranya: (i) sumber modal jangka pendek yang dihimpun bank syariah tak sebanding dengan jangka waktu pengembalian yang panjang (ii) pengusaha yang menggunakan pembiayaan dengan akad mudharabah akan memberikan proyeksi bisnis terlalu optimis yang nantinya akan menyulitkan bank syariah (iii) risiko pengembalian yang tak pasti dengan kemungkinan gagal bayar (default risk) yang juga besar, sehingga pengusaha dengan tingkat keuntungan tinggi cenderung enggan menggunakan akad mudharabah begitupun pada pengusaha yang memiliki risiko rendah. Oleh karena itu diperlukan kajian mengenai faktor-faktor penyebab berbagai risiko pada pembiayaan mudharabah serta model penghimpunan dana yang potensial guna meningkatkan pembiayaan mudharabah pada bank syariah.
Dengan demikian tujuan dalam karya tulis ini, antara lain:
1.        Menjelaskan penyebab minimnya aplikasi pembiayaan mudharabah di perbankan syariah.
2.        Menjelaskan sumber pendanaan mudharabah di perbankan syariah.
3.        Menawarkan dan menjelaskan konsep modifikasi sukuk sebagai solusi funding dan protecting default risk pada aplikasi mudharabah.
2.      Metodologi

2.1 Jenis Penulisan

Tulisan ini menggunakan metode penulisan kualitatif, yaitu prosedur penulisan yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis melalui kajian kepustakaan, mencari sumber-sumber dan referensi dari media cetak dan internet. Penulisan kualitatif juga menggunakan data yang dinyatakan secara verbal dan kualifikasinya bersifat teoritis.

2.2 Jenis data

Data dalam penulisan ini merupakan jenis data sekunder. Data sekunder ini didapatkan dari artikel, literatur kepustakaan, media massa (internet) mengenai konsep mudharabah, sukuk, solusi default risk, konsep keuangan inklusif di Indonesia terkait permasalahan yang diangkat di dalam karya tulis.

2.3 Metode Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang diperlukan pada penulisan ini, penulis menggunakan metode studi pustaka. Metode ini dilakukan dengan cara mempelajari beberapa literatur yang berhubungan dengan masalah yang dikaji.

2.4 Metode Analisis Data

Penulisan karya tulis ini menggunakan teknik analisis data deskriptif kualitatif. Penelitian deskriptif mempunyai sifat-sifat tertentu, yaitu bahwa penelitian itu: 1) memusatkan diri pada pemecahan masalah-masalah yang ada pada masa sekarang, pada masalah-masalah yang aktual, 2) data yang dikumpulkan mula-mula disusun, dijelaskan dan kemudian dianalisis, (Surakhmad, 1994) dalam (Wijaya, 2003)[6]. Melalui metode ini, penulis mencoba memberikan gagasan akan solusi pembiayaan mudharabah yang begitu minim pada perbankan syariah melalui konsep modifikasi sukuk sebagai salah satu instrument pembiayaan dan proteksi risiko yang begitu potensial.

3.      Hasil dan Pembahasan
3.1 Penyebab Minimnya Pembiayaan Mudharabah pada Perbankan Syariah
3.1.1 Biaya Operasional yang Besar dan Tak Pasti
Mudharabah dari sisi pembiayaan disalurkan kepada pihak lain untuk usaha yang produktif. Namun pada perkembangannya komposisi pembiayaan berbasis bagi hasil masih relatif kecil, jika dibandingkan dengan pembiayaan untuk tujuan konsumsi. Rendahnya persentase pembiayaan pada usaha produktif (khususnya sektor riil) disebabkan adanya beberapa faktor, salah satunya ialah adanya ketidakpastian mengenai perhitungan operational cost yang akan menjadi pengurang laba usaha debitur melalui sistem bagi hasil ini. Apa saja yang masuk ke dalam perhitungan operational cost, berapa besar nominalnya, siapa yang akan menanggung biaya operasional tersebut? Jika merujuk pada konsep bagi hasil yang selama ini diterapkan, ada dua metode perhitungan laba yang akan dibagi baik ke pada sohibul maal (pemilik dana) maupun mudharib (pengelola dana), yaitu: revenue sharing atau profit and lost sharing (PLS). Jika revenue sharing maka laba kotor usaha yang akan menjadi dasar pembagian keuntungan kepada pemilik dana dan pebisnis yang mengelola dana tersebut. Dengan konsekuensi bahwa, biaya operasional yang terjadi ditanggung oleh pebisnis sebagai pengelola dana. Namun, Jika menggunakan konsep PLS, maka laba yang menjadi dasar pembagian pada pemilik dana dan pengelola dana adalah laba bersih setelah dikurangi operational cost, dengan konsekuensi, laba yang diterima pemilik dana lebih kecil. Oleh karena itu, jika menggunakan revenue sharing, maka bagi pengelola dana hal ini akan memberatkan. Tapi, jika mengadopsi konsep PLS, pemilik dana harus siap menerima bagian laba yang tak besar. Inilah salah satu alasan, mengapa investor dengan modal yang besar enggan menyalurkan dananya dengan akad mudharabah. Begitupun pebisnis dengan risiko yang kecil juga cenderung menghindari sumber dana dengan prinsip mudharabah[7].
Standar dalam menentukan biaya operasional memang harus ada serta batasan yang ditentukan oleh kedua belah pihak (bank maupun nasabah) di awal kesepakatan mutlak diperlukan. Untuk itulah, selain sohibul maal fokus pada bagian keuntungan yang akan ia peroleh, ia pun harus memperhatikan biaya serta komponen usaha yang akan dibiayai. Hal ini dapat diterapkan melalui penetapan persentase atau rasio biaya operasional maupun aktiva tetap usaha, yang mana aktiva tetap merupakan salah satu komponen pendukung bisnis yang akan dijalankan. Di awal kesepakatan, melalui proposal pengajuan pembiayaan, dapat ditetapkan nominal aktiva yang dibutuhkan serta persentase yang akan digunakan sebagai biaya operasional. Keuntungannya adalah aktiva tetap dapat digunakan jangka panjang selama bisnis berjalan, dan di akhir periode dapat dijual kembali sebagai penambah bagian laba sohibul maal (pemilik dana) maupun bagian untuk mudharib (pengelola modal). Sehingga dana yang berasal dari pembiayaan mudharabah tidak hanya habis untuk operational cost.
3.1.2 Lemahnya Proteksi terhadap Risiko
Penempatan 100% modal sohibul maal kepada bisnis yang akan dijalankan mudharib tentu menimbulkan risiko. Jika dana yang disalurkan tersebut diutamakan pada sektor riil yang produktif, maka risiko yang pasti dialami oleh setiap mudharib adalah kegagalan dalam menjalankan usaha, yang pada akhirnya  sering kali berdampak pada gagal bayar atau  kegagalan pengembalian, baik pengembalian modal maupun pengembalian laba kepada bank syariah. Risiko gagal bayar (default risk) oleh debitur perbankan syariah dapat dicermati salah satunya melalui nilai Non Performing Financing (NPF)  yang dilaporkan. Hingga akhir Maret 2013, nilai NPF perbankan syariah mencapai Rp4.434 miliar yang meningkat jika dibandingkan nilai NPF perbankan syariah pada 2012 yang hanya berjumlah Rp3.269 miliar, dimana pembiayaan pada modal kerja menjadi penyumbang terbesar pada NPF perbankan syariah[8]. Sebagaimana ditunjukan pada tabel berikut:
Tabel 3.2: Pembiayaan Non Lancar BUS & UUS Maret 2013
Sumber: diolah penulis[9]
Melalui tabel tersebut diketahui bahwa pembiayaan non lancar pada perbankan syariah terus meningkat. Nilai NPF yang terus naik dapat disebabkan oleh dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, NPF perbankan syariah meningkat disebabkan dana yang disalurkannya pada masyarakat terus mengalami pertumbuhan sehingga fungsi bank syariah sebagai intermediary institution dijalankan dengan baik. Atau kemungkinan lainnya adalah sistem proteksi terhadap risiko yang selama ini dijalankan perbankan syariah masih lemah, sehingga belum mampu meminimalisir risiko pembiayaan yang berakibat pada pengembalian dana dan modal pokok yang kurang lancar.
Untuk mengurangi kemungkinan terjadinya risiko-risiko di atas, maka bank syariah menurut Adiwarman Karim dapat menerapkaan sejumlah batasan-batasan tertentu ketika menyalurkan pembiayaan kepada mudharib[10]. Batasan-batasan itu antara lain penetapan agunan berupa fix asset dan adanya lembaga penjamin pada pembiayaan mudharabah di perbankan syariah. Praktik pada perbankan syariah yang memberlakukan adanya agunan atau asset jaminan sebenarnya bisa saja dibenarkan, mengingat risiko-risiko yang besar ketika dana yang sepenuhnya diasalurkan sohibul maal tersebut digunakan untuk membiayai usaha mudharib. Namun, agunan bukanlah solusi utama untuk memproteksi risiko yang akan terjadi pada pembiayaan mudharabah. Hal ini dikarenakan, tidak semua calon mudharib memiliki asset berharga untuk dijadikan penjamin usaha yang akan ia jalankan. Hal ini seakan menjadi problematika tersendiri bagi bank syariah, terlebih lagi perbankan syariah tidak dapat secara langsung terlibat dalam bisnis yang dijalankan mudharib[11], namun bank syariah hanya dapat melakukan pengawasan terhadap usaha tersebut. Agunan hanya sebagai alternatif terakhir ketika sudah tak ditemukan jalan keluar permasalahan dalam pembiayaan yang terjadi antara kedua pihak yang bersepakat. Oleh karena itu, konsep yang sebenarnya begitu cocok dikembangkan adalah adanya lembaga yang menjamin proses pembiayaan dengan akad mudharabah yang dinilai riskan. Hanya saja, perlu ada kepastian mengenai kekuatan lembaga penjamin serta seberapa solutif konsep proteksi risiko yang akan ditawarkan.
3.1.3 Problematika Pendanaan  Mudharabah pada Perbankan Syariah
3.1.3.1 Deposito Jangka Pendek sebagai Produk Funding yang Dominan
Sebagai lembaga intermediasi, perbankan secara umum memiliki fungsi vital yaitu menghimpun dana dari masyarakat (funding) dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat (financing). Pada bank konvensional, penghimpunan dana dari masyarakat dapat berupa giro, deposito, atau tabungan. Namun, di Perbankan syariah, funding dilakukan dengan prinsip mudharabah dan wadi’ah. Dimana pada kedua prinsip ini, bank syariah bertindak sebagai mudharib (pemilik dana) dan masyarakat (nasabah) sebagai sohibul maal (pemilik dana). Dari sisi funding, sistem bagi hasil hanya terdapat dalam prinsip mudharabah, sedangkan dalam prinsip wadi’ah, bank tidak diharuskan melakukan bagi hasil terhadap nasabah[12]. Bank hanya akan memberikan bonus sesuai dengan kerelaan dan tidak boleh diperjanjikan sebelumnya. Sedangkan apabila mengalami kerugian akibat dari digunakannya dana oleh bank, maka bank akan bertanggungjawab atas kerugian tersebut, sebaliknya apabila bank tidak menggunakan dana nasabah tersebut, maka risiko tetap ditanggung nasabah sendiri[13]. Ketika menghimpun dana dari masyarakat, prinsip bagi hasil melalui akad mudharabah yang digunakan bank syariah dapat berbentuk giro, deposito atau tabungan. Ternyata, dana yang dihimpun dari nasabah dengan akad mudharabah mendominasi total dana pihak ketiga (DPK) pada perbankan syariah. Sebagaimana ditampilkan pada tabel berikut:
Tabel 3.3: Dana Pihak Ketiga yang dihimpun melalui Bank Umum Syariah (BUS) dan Unit Usaha Syariah (UUS)
Sumber: diolah penulis berdasarkan Statistik Perbankan Syariah, Maret 2013 melalui Bank Indonesia
Melalui jumlah yang ditampilkan pada tabel di atas, dapat dikatakan bahwa dana yang dihimpun bank syariah dengan akad mudharabah begitu potensial, mengingat dana-dana tersebut dapat disalurkan melalui pembiayaan kepada sektor riil di Indonesia, sehingga mampu menggenjot kekuatan ekonomi melalui sektor usaha yang lebih produktif. Namun yang menjadi kendala kemudian adalah, DPK perbankan syariah dominan berbentuk deposito jangka pendek, sedangkan deposito jangka panjang sangat sedikit, bahkan tak mencapai nominal tiga digit. Dimana hal ini akan membatasi potensi dana-dana tersebut untuk diputar atau disalurkan kepada sektor produktif yang memerlukan tempo jangka panjang (turn over yang lama).
Fakta di atas menjadi salah satu penyebab sedikit sekali bank syariah yang berani menyalurkan dana potensial yang dihimpunnya tersebut melalui pembiayaan dengan prinsip bagi hasil (mudharabah) terlebih lagi kepada sektor produktif. Penyebabnya adalah nasabah sebagai sohibul maal sewaktu-waktu dapat menarik dana tersebut, atau dengan kata lain, setelah jatuh tempo penarikan dana tersebut oleh nasabah, bank syariah harus memastikan bahwa dana tersebut memiliki likuiditas yang baik sehingga dapat dicairkan guna memenuhi kewajibannya kepada nasabah. Oleh karena itu, bank syariah pasti lebih memilih menyalurkan dana-dana yang telah dihimpunnya kepada sektor pembiayaan yang lebih pasti dan menjanjikan dengan risiko yang tak terlalu besar. Dampaknya, prinsip bagi hasil melalui akad mudharabah tidak mendominasi culture pembiayaan pada perbankan syariah, apalagi berharap prinsip bagi hasil ini akan disalurkan pada sektor produktif yang memang lebih riskan, keuntungan bersifat uncertainty dan butuh jangka waktu yang lama[14]. Lebih menarik lagi, trend ini tidak hanya terjadi pada perbankan syariah di Indonesia namun juga terjadi pada perbankan syariah di seluruh dunia. Di perbankan syariah nasional, pembiayaan dengan prinsip non bagi hasil lebih mendominasi. Fakta ini ditampilkan melalui diagram berikut:
Diagram 3.1: Penyaluran Dana dalam Produk Bank Syariah di Beberapa Negara
Sumber: diolah penulis [15]
3.2 Modifikasi Sukuk sebagai Solusi Funding dan Protecting Default Risk pada Aplikasi Mudharabah
3.2.1 Potensi Sukuk sebagai Instrumen Penghimpun Dana
Sukuk adalah salah satu instrumen yang tak dapat dipisahkan dalam sistem keuangan global. Ia merupakan peluang investasi yang menjanjikan baik bagi investor muslim maupun non muslim. Salah satu fungsi sukuk yang menjadi primadona industri keuangan adalah sebagai instrumen pembiayaan. Banyak negara yang kini menjadi penerbit sukuk, terutama negara-negara Timur Tengah, Afrika Utara, serta negara-negara teluk Asia.[16] Penerbitan sukuk dunia pada 2012 telah mencapai 138 miliar dollar AS. Bahkan di tahun 2013 ini, penjualan sukuk diprediksikan menembus rekor penjualan sukuk pada tahun 2012.[17]
            Indonesia pertama kali menerbitkan sukuk pada tahun 2002 yaitu melalui PT Indosat yang pada saat itu menerbitkan sukuk senilai Rp175 miliar. Langkah Indosat ini kemudian diikuti beberapa korporasi besar lainnya. Hingga pada tahun 2008 nilai penerbitan sukuk melalui sektor swasta telah mencapai 4,76 triliun di Indonesia[18]. Meski sedikit terlambat, di tahun itu juga pemerintah dan DPR akhirnya mengesahkan undang undang sukuk negara yaitu undang-undang no 19 tahun 2008.[19] Hal ini kemudian menjadi awal penerbitan sukuk oleh pemerintah yang ditujukan untuk pembiayaan defisit anggaran dalam APBN tahun 2008. Penerbitan sukuk perdana oleh pemerintah ini dilakukan baik di dalam maupun di luar negeri, yaitu sebesar 15 triliun rupiah yang sesuai dengan underlying asset milik pemerintah berupa tanah dan bangunan negara senilai Rp15 triliun. Setengah penerbitan sukuk ini dilakukan di Indonesia dan kemudian ke pasar internasional.[20]
            Sejak diterbitkan sukuk perdana pada 2008 tersebut, investor-investor Timur Tengah menjadi salah satu pembeli potensial yang mengalirkan dananya di Indonesia. Hal ini sebenarnya menjadi salah satu kekuatan ekonomi potensial bagi Indonesia yang mana diharapkan mampu mencegah terjadinya bubble economy karena memperbanyak portofolio mata uang asing yang masuk ke Indonesia, selain dollar. Bahkan diperkirakan oleh banyak ekonom Indonesia bahwa tahun 2013 ini likuiditas global cukup besar sehingga mampu menyerap dana sukuk yang akan dikeluarkan. Sukuk yang akan diterbitkan Indonesia pada 2013 adalah sebesar Rp53 triliun dan dipastikan dengan likuiditas global yang besar dana tersebut akan terserap dengan mudah. Apalagi Indonesia telah memperoleh rating investment grade yang akan memancing investor potensial baik lokal maupun internasional. Dana sukuk yang terserap tersebut akan menjadi salah satu solusi akan tekanan inflasi yang diperkirakan dialami Indonesia di akhir tahun akibat harga komoditas tinggi dan konsumsi masyarakat meningkat.[21]
            Posisi Indonesia sebagai negara yang masih menjadi target investasi investor-investor dunia akan membuka peluang aliran pendanaan tersebut mengalir ke Indonesia sehingga dapat mendorong kekuatan ekonomi. Terlebih lagi melalui sukuk, baik sukuk negara maupun sukuk korporasi dan pengembangan sukuk lainnya. Hal ini dikarenakan dana sukuk menjadi sumber pendanaan yang atraktif untuk proyek-proyek pembangunan baik lembaga, sektor pemerintah maupun korporasi. Serta mengingat potensi industri keuangan syariah yang masih memiliki ruang tumbuh yang semakin pesat, sebagaimana pernyataan Dahlan Siamat sebagai Direktur Pembiayaan Syariah Dirjen Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan, 2011[22]. Proyek-proyek yang direncanakan pemerintah bersumber dari dana sukuk adalah 10 proyek konektivitas nasional yang menjadi bagian dari Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembanguanan Ekonomi Indonesia (MP3EI) senilai lebih dari Rp95 triliun. Sebagai dasar penerbitan sukuk pembiayaan proyek tersebut, telah terbit Peraturan Pemerintah No.56/2011 tentang Pembiayaan Proyek melalui Penerbitan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) pada 22 Desember 2011[23].
3.2.2 Potensi Sukuk sebagai Instrumen Proteksi Default Risk pada Pembiayaan Mudharabah
Pembiayaan mudharabah yang pada dasarnya berlandaskan bagi hasil akan begitu potensial jika disalurkan kepada sektor usaha produktif yang memerlukan dorongan besar dalam pengembangannya, misalkan melalui pembiayaan atau pemberian modal usaha. Hanya saja, prosedur ini selalu menghadapi beragam kendala, baik dari sisi internal perbankan syariah maupun sisi eksternal yang berasal dari nasabah. Dari sisi internal perbankan syariah, misalnya: (a) kebijakan pembiayaan, terutama ketika  mempertanggungjawabkan pengembalian dana kepada nasabah pemilik dana (sohibul maal), (2) lemahnya sistem administrasi dan pengawasan pembiayaan pada perbankan syariah. Sedangkan dari sisi eksternal (nasabah), misalkan (1) penurunan kegiatan ekonomi nasabah (mudharib) (2) katidakpastian usaha nasabah (mudharib). Di samping itu, kendala lain yang membuat bank syariah kurang memahami nasabah ketika nasabah tersebut menjalankan usahanya sebagai mudharib adalah kekhawatiran gagal bayar (default) dan kurangnya fariasi, promosi dan fleksibilitas produk yang ditawarkan perbankan syariah. Bauran antara produk perbankan dan instrumen pembiayaan atau permodalan akan menjadi salah satu solusi dalam menjawab permasalahan ini. Melalui konsep penerbitan sukuk misalnya.
Fungsi sukuk sebagai salah satu instrumen pembiayaan yang diminati investor, serta potensinya dalam menghimpun dana, yang juga didukung oleh karakter sukuk yang dapat mengubah dana masa depan menjadi dana masa kini adalah salah satu solusi pembiayaan mudharabah yang masih dianggap bank syariah (sohibul maal) sebagai pembiayaan yang high risk of default karena ketidakpastian.  Demikian pula pada pembiayaan berskala besar dengan risiko tinggi, hal ini memerlukan keterlibatan pemerintah yang bertindak sebagai pemain utama selain bank syariah, serta berperan sebagai intermediator dalam menerbitkan sukuk (obligasi syariah). Ketika landasan hukum sukuk diterbitkan diharapkan high risk financing bukan lagi menjadi kendala berarti. Bahkan potensi dana-dana simpanan syariah yang ditanamkan dalam bentuk sukuk dapat disalurkan untuk membiayai proyek proyek pembangunan pemerintah yang berjangka panjang[24]



Sumber: diolah penulis
 
Gambar 3.1: Konsep Modifikasi Sukuk sebagai Solusi Funding dan Protecting Risk pada Aplikasi Mudharabah


Keterangan :
Dalam konsep ini, kami menawarkan konsep modifikasi sukuk untuk dijadikan sebagai 3 instrumen, yakni instrumen funding, instrumen financing, dan instrumen protecting:
3.3 Sukuk sebagai Instrumen Funding
3.3.1 Tujuan
Tujuan sukuk digunakan sebagai instrumen funding adalah untuk menghimpun dana dari pihak ketiga atau investor untuk nantinya digunakan sebagai modal pembiayaan ke sektor bisnis. Dalam konsep ini penulis menjadikan sukuk sebagai instrumen funding karena sukuk merupakan instrumen investasi yang dianggap sebagai instrumen investasi yang memiliki feasibilitas yang baik. Selama ini sukuk masih belum dioptimalkan sebagai instrumen funding untuk pembiayaan ke sektor start up bisnis karena biasanya sukuk diprioritaskan untuk pembiayaan sektor-sektor yang sudah dijamin oleh pemerintah dalam APBN.
Dalam praktek pembiayaan dengan skim mudharabah di perbankan syariah, salah satu kendala utama yang dihadapi adalah masalah sumber pendanaan. Sumber pendanaan yang ada pada bank syariah masih didominasi oleh pendanaan jangka pendek sehingga tidak sinkron dengan karakter pembiayaan mudharabah yang biasanya memiliki durasi jangka panjang. Oleh karena itulah melalui modifikasi sukuk sebagai instrumen funding diharapkan terdapat titik temu antara karakteristik sumber pembiayaan dengan karakteristik pembiayaan mudharabah.
3.3.2 Mekanisme
Modifikasi sukuk sebagai instrumen funding atau penghimpunan dana dilakukan melalui mekanisme berikut:
1.        Bank syariah sebagai intermediary sector memiliki produk penghimpunan dana berupa produk deposito berjangka (1a) , sebagaimana ilustrasi diatas yakni dengan nominal Rp500 juta dengan tempo selama 5 tahun. Akan tetapi permasalahan yang berkembang saat ini adalah kebanyakan deposito mudharabah memiliki durasi jangka pendek sebagaimana sertifikat deposito pada bank konvensional biasanya 12 bulan. Sehingga sumber pendanaan jangka pendek ini tidak sesuai dengan karakter pembiayaan mudharabah yang biasanya jangka panjang.
Oleh karena itulah atas dasar produk deposito berjangka bank syariah ini, bank syariah menerbitan sukuk (1b) dengan nominal dan tempo yang sama, yakni Rp500 juta selama 5 tahun. Target utama investor dari penerbitan sukuk ini adalah nasabah atau pihak ketiga, namun tidak menutup kemungkinan juga jika yang ingin berinvestasi adalah pemerintah atau pihak swasta lainnya. Karena target investor utama dari sukuk ini adalah nasabah, maka sukuk ini dipecah menjadi menjadi nominal yang lebih kecil yakni menjadi sukuk ritel deposito berjangka (1c) . Adapun tujuannya adalah agar investor yakni nasabah dapat menjangkau pembelian sukuk ini. sebagaimana karakter sukuk pada umumnya, maka di tangan nasabah sukuk ini dapat dipegang sampai jatuh tempo dan nasabah mendapat bagi hasil per periodik. Adapun jika nasabah ingin melepasnya, maka sukuk ini dapat diperjual belikan pada pasar sekunder.
3.3.3 Sistem Bagi Hasil
            Sebagaimana umumnya pada pembiayaan dengan skema mudharabah, maka sistem bagi hasilnya ditentukan berdasarkan porsi atau nisbah bagi hasil yang ditawarkan oleh issuer (dalam hal ini bank syariah). dalam konsep ini sistem bagi hasil dapat ditentukan dengan dua cara:
1)        Pemberian bagi hasil per periodik, misalnya per triwulan, quarteran, enam bulanan, atau tahunan
2)        Pemberian bagi hasil pada akhir masa tempo sukuk, misalnya 5 tahun, 10 tahun dan sebagainya.
3.4  Investasi Sukuk Sebagai Sumber Pendanaan  (Financing) Sektor Start up Bisnis
3.4.1 Mekanisme       
Modifikasi sukuk sebagai instrumen financing atau pembiayaan dalam konsep ini dilakukan melalui mekanisme berikut:
4          Dana yang sudah terhimpun dari penerbitan sukuk (sukuk deposito berjangka Rp 500 juta tempo 5 tahun) digunakan sebagai modal pembiayaan ke sektor bisnis (2a). Dalam menyalurkan pembiayaan ini yang harus diperhatikan adalah peran bank syariah hanya sebagai intermediary sector (wakil shahibul maal) bukan sebagai shahibul maal. Hal ini menjadi sangat penting agar nantinya bank syariah tidak terbebani dengan risiko jika sektor bisnis yang dibiayai mengalami kegagalan (default). Sehingga dalam konsep pembiayaan bagi hasil ini, shahibul maal sepenuhnya adalah nasabah/investor dan mudharib adalah pengelola bisnis, sedangkan bank syariah hanya sebagai intermediary sector saja.
Ketika dana tersebut diinvestasikan ke sektor bisnis, maka bank syariah harus menetapkan tujuan (liability management) dimana 80% dari dana tersebut (2c) harus dialokasikan untuk pembelian aset yang mudah likuid dan memiliki tingkat penggerusan nilai yang rendah oleh sektor bisnis seperti pembelian barang-barang produksi, seperti mesin, tanah atau bangunan dan sejenisnya. Hal ini bertujuan untuk mengamankan nilai investasi akibat inflasi atau penggerusan nilai. Selanjutnya 20% dari modal pembiayaan tersebut digunakan untuk biaya operasional bisnis dan keperluan maintanance atau overhead cost (2b). Porsi untuk operasional seharusnya memang tidak dibebankan melalui modal pembiayaan, hal ini karena dana tersebut merupakan dana investasi yang akan dikembalikan dan dipertanggungjawabkan kepada investor. Dengan kata lain penentuan alokasi tersebut menggunakan akad mudharabah muqayyadah.
Sedangkan untuk pendanaan lain, seperti pembelian bahan-bahan produksi atau dana non operasional lainnya yang tidak bisa dicover oleh dana sukuk bisa menggunakan sumber pendanaan lain, seperti qard hasan atau dana sosial yang berasal dari zakat, infaq, shadaqah, wakaf atau pun dana CSR.
3.5 Sukuk sebagai Instrumen Protecting
3.5.1 Tujuan
Tujuan dari modifikasi sukuk sebagai instrumen protecting karena pada umumnya karakter sektor bisnis yang tertarik dengan pembiayaan dengan menggunakan akad mudharabah adalah sektor bisnis yang 1) memiliki tingkat keuntungan yang tidak terlalu besar 2) sektor bisnis yang mempunyai resiko tinggi. Adapun tujuan utama dari modifikasi sukuk ini adalah untuk mengcover default risk atau risiko gagal bayar oleh sektor bisnis (mudharib) kepada investor (shahibul maal). Default risk dalam hal ini dibagi kedalam dua garis besar, yakni kegagalan dalam pemberian bagi hasil dan kegagalan dalam pengembalian modal.
Gambar 3.2: Sukuk sebagai Instrumen Proteksi Risiko Default
Sumber: diolah penulis
5          Modifikasi sukuk sebagai instrumen protecting berarti bahwa sukuk digunakan sebagai instrumen perlindungan terhadap pembiayaan mudharabah pada perbankan syariah. salah satu permasalahan utama pengembangan skim pembiayaan berbasis mudharabah pada perbankan syariah saat ini adalah tingginya risiko pada sistem pembiayaan ini. pada skim pembiayaan mudharabah, modal 100% berasal dari investor sehingga investor sulit untuk mempercayakan dana mereka untuk dikelola dengan skim ini. Selain itu masih belum pastinya keuntungan dari bisnis yang dijalankan, dan moral hazard dari mudharib  merupakan hal-hal yang menjadi penghambat pengembangan pembiayaan berbasis mudharabah di perbankan syariah.
Penulis mengakui bahwa banyak jenis-jenis risiko yang kemungkinan akan terjadi pada pembiayaan mudharabah. Oleh karena itulah dalam konsep ini, penulis memfokuskan modifikasi sukuk sebagai instrumen protecting pada pembiayaan mudharabah dikhususkan pada default risk, yakni risiko gagal bayar pada pengembalian dana nasabah yang diinvestasikan pada pembiayaan mudharabah. Adapun mekanisme yakni, pada saat mudharib menggunakan dana tersebut untuk membeli aset (80%) dan biaya operasional dan maintanance (overhead cost)  (20%) kemudian bank syariah menerbitkan sukuk protecting risk (3a) dengan nominal maksimal 100% dari total pembiayaan (maks 100% dari 80% nilai aset, dan maks 100% dari 20% nilai biaya operasional dan biaya maintanace) (3b). Sukuk ini kemudian ditawarkan kepada asuransi sebagai institusi penanggung risiko (3c). Dana dari hasil penerbitan sukuk ini yang mana investornya adalah perusahaan asuransi, maka dana tersebut akan dikelola oleh bank syariah sesuai dengan kebijakan bank syariah dengan prinsip bagi hasil (3d). Dana bagi hasil yang dibagikan oleh bank syariah diposisikan sebagai dana premi atas risiko yang ditanggung oleh perusahaan asuransi (pembiayaan mudharabah), dana bagi hasil tersebut akan diberikan selama tempo waktu sukuk, yakni selama 5 tahun (3e). Jika selama tempo waktu penanggungan (5 tahun) tidak terjadi risiko, maka pihak asuransi akan mendapat keuntungan melalui pembayaran bagi hasil (premi) yang dibayar selama 5 tahun tersebut, akan tetapi jika pada tempo waktu tersebut terjadi default pada sektor bisnis, maka pihak asuransi akan mengcover risiko kerugian tersebut.
3.5.2 Skema Protecting Default Risk
3.5.2.1 Proteksi terhadap Pembayaran Bagi Hasil
Porsi atau nisbah bagi hasil dalam sukuk  basanya ditentukan dari tingkat imbal hasil (kupon) yang ditawarkan oleh issuer. Risiko kegagalan dalam pembayaran bagi hasil bisa terjadi jika sektor bisnis mengalami kerugian. Dalam hal sharing risk sektor bisnis akan berhubungan dengan sektor asuransi melalui peran intermediasi bank syariah. dalam hal ini perusahaan asuransi hanya memproteksi pembayaran bagi hasil jika sektor bisnis mengalami kerugian. Sebagaimana mekanisme diatas ketika perusahaan asuransi sebagai investor yang membeli sukuk protecting risk, maka dana investasi dari perusahaan ssuransi tersebut akan dikelola oleh bank syariah dengan prinsip bagi hasil, dimana bank syariah akan mengelola dana investasi tersebut ke sektor yang prospek dan memiliki tingkat keuntungan yang tinggi untuk memastikan dana investasi perusahaan asuransi tetap menguntungkan. Bagi hasil akan dilakukan sesuai dengan ketentuan bagi hasil antara investor (shahibul maal) dengan sektor bisnis (mudharib) sehingga pada saat tiba waktu bagi hasil investor dengan sektor bisnis maka  pada saat yang bersamaan juga waktu bagi hasil antara perusahaan asuransi dengan bank syariah. adapun kemungkinan yang terjadi yakni, jika sektor bisnis menguntungkan, maka sektor bisnis dapat menutupi kewajiban bagi hasil dan disaat yang bersamaan asuransi mendapat keuntungan dari bagi hasil. Sedangkan ketika sektor bisnis mengalami gagal bayar kewajiban bagi hasil, maka sektor asuransi akan mengcovernya dari dana bagi hasil yang diperoleh dari bank.
Gambar 3.3: Skema Proteksi terhadap Pembayaran Bagi Hasil
Sumber: diolah penulis
3.5.2.2 Proteksi terhadap Pembayaran Modal Investor
Dalam rangka proteksi terhadap pembayaran modal investor (modal pokok), maka perusahaan asuransi akan mengandalkan dana investasi yang dikelola di bank syariah. sebagaimana alokasi dana investasi sukuk yakni 80% digunakan untuk pembelian aset likuid dan 20% untuk overhead cost, maka inilah yang harus dicover oleh perusahaan asuransi. Menurut hemat penulis, resiko yang akan ditanggung oleh perusahaan asuransi rendah karena 80% dana investasi digunakan untuk pembelian aset likuid oleh sektor bisnis sehingga dana relatif aman, adapun kemungkinan kerugian seperti bencana alam, kebakaran, ataupun penyusutan. Sedangkan untuk alokasi overhead cost. Jika sektor bisnis mengalami kerugian, maka pada saat jatuh tempo akan dicover oleh dana investasi dari pembelian sukuk protecting risk yang dibeli oleh perusahaan asuransi. Karena pada saat jatuh tempo sukuk yang dipegang oleh perusahaan asuransi akan dibeli kembali oleh bank syariah sebagai issuer, dana pembelian kembali inilah yang digunakan sebagai modal jika nantinya sektor bisnis mengalami kegagalan. Sedangkan jika sektor bisnis tidak mengalami kegagalan, maka perusahaan asuransi akan mendapatkan keuntungan dari bagi hasil pengelolaan dana (tingkat imbal hasil/kupon) dari sukuk yang dibelinya.
Gambar 3.4: Skema Proteksi terhadap Pembayaran Mudal Investor
Sumber: diolah penulis
3.6 Pola Hubungan antara Investor, Bank Syariah, dan Sektor Bisnis
Dalam konsep ini pola hubungan antara investor, bank syariah, dan sektor bisnis dapat dijelaskan melalui mekanisme berikut:
Dalam konsep ini investor bertindak sebagai shahibul maal, bank syariah memiliki posisi murni sebagai intermediary sector, yakni sebagai wakil investor (shahibul maal) ketika berhubungan dengan sektor bisnis (mudharib) (4a) sekaligus sebagai wakli mudharib atau pengelola dana ketika berhubungan dengan investor (4b). Sehingga apabila sektor bisnis (mudharib) menghasilkan profit, maka profit tersebut akan dihandle oleh bank syariah agar nantinya dibagikan sesuai dengan porsi atau nisbah yang sudah ditentukan (4c). Sedangkan ketika tempo pembiayaan telah habis (5 tahun) maka aset yang dimiliki akan digunakan sebagai modal pengembalian dana kepada investor. Ada 3 skim yang bisa dilakukan untuk hal ini:
1)        Aset dijual dengan catatan jika sektor bisnis tidak berjalan sesuai dengan harapan
2)        Aset dikonversi menjadi saham jika sektor bisnis memiliki prospek cerah dan investor menginginkan kepemilikan dari sektor bisnis tersebut
3)        Aset tersebut dijadikan dasar untuk penerbitan sukuk kembali untuk memperoleh dana segar untuk pengembalian modal kepada investor awal jika investor menginginkan modal dalam bentuk cash.
Gambar 3.5: Pola Hubungan antara Investor, Bank Syariah dan Sektor Bisnis
Sumber: diolah penulis

6        Simpulan
6.1  Minimnya pembiayaan mudharabah pada perbankan syariah disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya: (1) sumber dana yang dihimpun perbankan syariah relatif dana-dana jangka pendek, sedangkan pembiayaan mudharabah adalah jenis pembiayaan jangka panjang, oleh karena itu, bagi bank syariah akan sangat riskan jika dana-dana yang terhimpun disalurkan melalui skim mudharabah, sebab berpengaruh pada likuiditas perbankan dalam melunasi kewajibannya kepada sohibul maal (investor) pertama. (2) Tingkat keuntungan yang dijanjikan melalui sistem mudharabah dengan konsep bagi hasil adalah jenis keuntungan yang tak pasti (uncertainty) jika dibandingkan dengan akad lain semisal jual-beli (murabahah). Hal ini disebabkan sifat bisnis yang dijalankan mudharib yang fluktuatif dan iklim usaha yang dinamis. (3) Biaya operasional pada pembiayaan mudharabah yang terlalu besar karena tidak ditentukan di awal kontrak, baik jenis biayanya, besaran maupu siapa yangmenanggungnya. (4) Lemahnya sistem proteksi terhadap risiko yang terjadi pada pembiayaan mudharabah. Risiko yana paling dominan pada pembiayaan mudharabah di bank syariah adalah default (gagal bayar) nasabah, sehingga selain menerapkan agunan (jaminan), perbankan juga memerlukan infrastruktur dan produk perlindungan tertentu atau melalui jaminan yang diberikan oleh lembaga penjamin.
6.2    Permasalahan sumber pendanaan mudharabah pada bank syariah adalah dana-dana mudharabah didominasi oleh produk deposito jangka pendek. Hal ini akan sangat membatasi fungsi dan karakter perbankan syariah melalui konsep bagi hasil yang menjadi core utama, dimana konsep bagi hasil dinilai begitu cocok untuk disalurkan padasektor produktif, namun penyaluran pembiayaan pada sektor produktif membutuhkan jangka panjang. Permasalahan ini membutuhkan solusi penyelesaian berupa sumber dana-dana mudharabah jangka panjang yang besar dan potensial melalui modifikasi sukuk dengan dasar deposita berjangan.
6.3    Konsep modifikasi sukuk sebagai solusi funding dan protecring pada aplikasi mudharabah merupakan konsep yang digagas dan ditawarkan oleh penulis untuk mengatasi permasalahan pendanaan dan perlindungan terhadap resiko pada pembiayaan mudharabah. Sukuk sebagai solusi funding dalam konsep ini dimana bank syariah menerbitkan sukuk ritel deposito berjangka untuk menarik dana dari investor yang digunakan untuk pembiayaan dengan skim mudharabah. Sedangkan sebagai instrumen protecring dimana bank syariah menerbitkan sukuk default risk atas dasar pembiayaan di sektor bisnis, dimana sukuk ini melindungi resiko gagal bayar bagi hasil dan gagal bayar modal pokok kepada investor. Sukuk protecting risk ini ditawarkan oleh bank syariah kepada perusahaan asuransi sebagai institusi penanggung risiko.

7        Ucapan Terima Kasih
Ucapan terima kasih atas dukungan yang telah diberikan oleh banyak pihak menghantarkan penulis untuk menyampaikannya kepada:
7.1    Manajemen Sekolah Tinggi Ekonomi Islam (STEI) Tazkia, Dr. Mohammad Syafi’I Antonio selaku Ketua, beserta Wakil Ketua, Ketua Jurusan, Ketua Bidang Kemahasiswaan beserta staff.
7.2    Bapak Dr. Yulizar Sanrego, M.Ec selaku dosen pembimbing.
7.3    Teman-teman di kampus STEI Tazkia serta seluruh kader Ekonom Robbani, Ekonomi Islam.
7.4    Serta yang terkhusus penulis sampaikan kepada kedua orangtua tercinta yang telah dengan ikhlas mendoakan.

8        Daftar Pustaka
A.Karim, Adiwarman. 2001, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer. Gema Insani. Jakarta. cetakan pertama
Abdul Manan, melalui Analisis Sukuk. Jurnal Ilmiah Universitas Sumatera Utara
Anonim. Analisis Sukuk. Jurnal Ilmiah Universitas Sumatera Utara
Ardiansyah, Dimas. 2013. Implementasi Pembiayaan dengan Akad Mudharabah. Jurnal Ilmiah Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya.
Bank Indonesia, 2012 malalui outlook Perbankan Syariah 2013
Fatah, Dede Abdul. 2011. Perkembangan Obligasi Syari’ah (Sukuk) di Indonesia: Analisis Peluang dan Tantangan. Innovatio, Vol. X, No. 2, Juli-Desember 2011 UIN Syarif Hidayatullah.
Firdaus, Muhammad, dkk. 2005. Pada Abdul Manan, melalui Analisis Sukuk. Jurnal Ilmiah Universitas Sumatera Utara
Ibrahim, M. Anwar. Konsep Profit and Loss Sharing System Menurut Empat Madzhab. Makalah ini tidak diterbitkan
Ihsan, Muntoha. 2011. Pengaruh Gross Domestic Product, Inflasi, dan Kebijakan Jenis Pembiayaan Terhadap Rasio Non Performing Financing Bank Umum Syariah di Indonesia Periode 2005 Sampai 2010. Skripsi Universitas Diponegoro Semarang
Islamic Bank (iB) 2009. Perbankan Syariah: Lebih Tahan Krisis Global. Diakses melalui www.google.com pada 24 Mei 2013 pukul 11.00 wib.
Latifa M. Alqaoud dan Mervyn K. Lewis. 2005. Perbankan Syariah, Prinsip, Praktik, dan Prospek. terjemahan Burhan Wirasubrata. Serambi. Cetakan II. Jakarta
Maliha, Hasna. 2011. Mengapa Bank Syariah Relatif Lebih Tahan Krisis?: Aplikasi Logistic Regression untuk Sistem Deteksi Dini Krisis Finansial di Indonesia. Paper. dalam  aamslametrusydianan.blogspot.com diakses pada 24 Mei 2013 pukul 11.00 wib
Mi’raj, denizar, dkk. 2012. Kolaborasi antara Perbankan Syariah dan BIC (Business Innovation Center) untuk Pembiayaan Karya Cipta Anak Bangsa sebagai Modifikasi Sasaran Produk Mudharabah dalam Rangka Meningkatkan Perekonomian Nasional. Makalah Universitas Airlangga.
Nugraheni, Sri Retno. 2011. Analisis Daya Tahan Perbankan Syariah Terhadap Fluktuasi Ekonomi di Indonesia. Skripsi Institut Pertanian Bogor
Rania El Gamal. Sukuk: New buzzword for Islamic finance. www.kuwaittimes.net, diakses 16 November 2010. Melalui jurnal ilmiah Universitas Sumatera Utara
Rifki Ismail. Ganjalan Bank Syariah. Opini Republika.  Senin 10 Desember 2007 pada Fatahullah. Implementasi Prinsip Bagi Hasil dan Risiko di Perbankan Syariah (Studi di Perbankan Syariah Cabang Mataram). Tulisan Ilmiah Universitas Mataram
Sunarsip, 2008. Prospek Sukuk di Indonesia. dimuat pada  Harian Ekonomi dan Bisnis Kontan pada Kamis, 26 Juni 2008
Syam, Taufik R. Mudharabah dalam Perspektif Fiqh dan Praktek Perbankan Syari’ah. Cakim PA Ciamis
Sumber lain:
www.dmo.or.id melalui jurnal Universita Sumatera Utara diakses pada 23 Mei 2013 pukul 10.00 wib
http://id.berita.yahoo.com/blogs/beritabca/berinvestasi-sekaligus-donasi-melalui-sr-005-083654150.html diakses pada 21/5/2013 pukul 09.02 wib
http://mujahidinimeis.wordpress.com/2011/01/18/manajemen-resiko-pembiayaan-mudharabah/  20 Mei 2013 pukul 06.34 wib
http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/keuangan/13/04/24/mlrqqz-belum-ada-penerbitan-sukuk-terkait-proyek-kereta-api-cirebonkroya diakses 25 Mei 2013 pukul 09.00 wib
www.indonesiafinancetoday.com/Penerbitan-Sukuk-Global-2013-Bisa-Tembus-Rekor/ ditulis oleh Fithriani dan Rakhmatullah dalam www.ibpa.co.id diakses pada 22 Mei 2013 pukul 14.00wib
Infobanknews.com/ diakses pada 21 Mei 2013 pukul 09.39 wib
www.syariahmandiri.co.id/Sukuk-Pembiayaan-Proyek-Terbit-Semester-II/ diakses pada 21 Mei 2013 pukul 10.13 wib





[1] Melalui Ardiansyah, Dimas. Implementasi Pembiayaan dengan Akad Mudharabah. Jurnal Ilmiah Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya. 2013
[2] Bank Indonesia, 2012 malalui outlook Perbankan Syariah 2013. hal. 9
[3] Ibid., hal. 7
[4] ibid
[5] A.Karim, Adiwarman. 2001, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer. Gema Insani. Jakarta. cetakan pertama, hal. 83
[6] Musabbihin. 2012. Pendirian Asuransi Alam Syariah (ALAMSYAH) sebagai Perwujudan Peran Pemerintah terhadap Pelaksanaan Pembangunan dengan Menekankan Aspek Ekonomi Hijau pada Perusahaan Pertambangan di Indonesia. Karya Tulis Universitas Airlangga, hal 10
[7] A. Karim, Adiwarman. 2001. Loc., cit., hal. 83
[8] Statistik Perbankan Syariah, Maret 2013 melalui Bank Indonesia
[9] Diolah berdasarkan Bank Indonesia, 2013. Ibid.,
[10] Adiwarman Karim, Bank Islam Analisia Fiqh dan Keuangan, (Jakarta: IIIT, 2003), hal. 186-190
[11] Hadi, A. Chairul. 2011. Problematika Pembiayaan Mudharabah di Perbankan Syariah Indonesia. Jurnal Ilmiah. Maslahah, Vol.2, No. 1, Maret 2011
[12] Zainul. 2007 melalui Fatahullah. Ibid. hal. 30
[13] Wiroso, Penghimpunan Dana dan Distribusi Hasil Usaha Bank Syariah, Grasindo, Jakarta, 2005. Hal 20 pada Fatahullah, ibid.
[14] A. Karim, Adiwarman. Loc., cit. hal 83
[15] berdasarkan Sudin Haron, 1996 Kuala Lumpur, Berita Publishing dikutip dari Bahauddin, 2003 hal 8 pada Mu'allim dalam al Mawarid Edisi XI Th. 2004
[16] http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/keuangan/13/04/24/mlrqqz-belum-ada-penerbitan-sukuk-terkait-proyek-kereta-api-cirebonkroya
[17] http://old.indonesiafinancetoday.com/read/40340/Penerbitan-Sukuk-Global-2013-Bisa-Tembus-Rekor
[18] Fatah, Dede Abdul. 2011. Perkembangan Obligasi Syari’ah (Sukuk) di Indonesia: Analisis Peluang dan Tantangan. Innovatio, Vol. X, No. 2, Juli-Desember 2011 UIN Syarif Hidayatullah.
[19] Sunarsip, 2008. Prospek Sukuk di Indonesia. dimuat oleh Harian Ekonomi dan Bisnis Kontan pada Kamis, 26 Juni 2008
[20] Fatah, Dede Abdul. Op. cit., hal. 294
[21] www.indonesiafinancetoday.com/Penerbitan-Sukuk-Global-2013-Bisa-Tembus-Rekor/ ditulis oleh Fithriani dan Rakhmatullah dalam www.ibpa.co.id diakses pada 22 Mei 2013 pukul 14.00wib
[22] Infobanknews.com/ diakses pada 21 Mei 2013 pukul 09.39 wib
[24] Rifki Ismail, Ganjalan Bank Syariah. Opini Republika, Senin 10 Desember 2007 pada Fatahullah. Implementasi Prinsip Bagi Hasil dan Risiko di Perbankan Syariah (Studi di Perbankan Syariah Cabang Mataram). Tulisan Ilmiah Universitas Mataram
readmore »»