Salah satu amanat Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004
mengenai Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara bahwa Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK) antara lain melakukan pemeriksaan keuangan. Pemeriksaan keuangan adalah
pemeriksaan atas laporan keuangan (LK) yang bertujuan memberikan keyakinan yang
memadai (reasonable assurance) bahwa
LK telah disajikan secara wajar dalam semua hal yang material, sesuai dengan
prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia atau basis akuntansi
komprehensif selain prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia.
Pemeriksaan keuangan yang dilakukan oleh BPK adalah pemeriksaan atas LK
pemerintah pusat dan pemerintah daerah, serta badan lainnya termasuk BUMN[1].
Tujuan dilaksanakan pemeriksaan
keuangan adalah untuk memberikan opini/pendapat atas kewajaran informasi
keuangan yang disajikan dalam laporan keuangan. Terdapat 4 (empat) jenis opini
yang dapat diberikan oleh pemeriksa, merujuk pada Buletin Teknis (Bultek) 01
tentang pelaporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah paragraf
13 tentang jenis opini, yakni meliputi: (1) Wajar
Tanpa Pengecualian (WTP); memuat suatu pernyataan bahwa lapaoran keuangan
menyajikan secara wajar, dalam semua hal yang material sesuai dengan Standar
Akuntansi Pemerintah (SAP). Berdasarkan Standar Professional Akuntan Publik
(SPAP) yang diberlakukan dalam SPKN, BPK dapat memberikan opini Wajar Tanpa
Pengecualian Dengan Paragraf Penjelas (WTP-DP) disebabkan keadaan tertentu
sehingga mengaharuskan pemeriksa menambahkan suatu paragraf penjelasan dalam
LHP sebagai modifikasi dari opini WTP. (2) Wajar
Dengan Pengecualian (WDP); memuat suatu pernyataan bahwa laporan keuangan
menyajikan secara wajar, dalam semua hal yang material sesuai dengan SAP,
kecuali untuk dampak hal-hal yang berhubungan dengan yang dikecualikan. (3) Tidak Wajar (TW); memuat suatu pernyataan
bahwa laporan keuangan tidak menyajikan secara wajar dalam semua hal yang
material sesuai dengan SAP. (4) Pernyataan
Menolak Memberikan Opini atau Tidak
Memberikan Pendapat (TMP); menyatakan bahwa pemeriksa tidak menyatakan
opini atas laporan keuangan[2].
UU Pemeriksaan Keuangan Negara
telah menetapkan kriteria pemberian opini atau pendapat atas laporan keuangan
yang diperiksa. Sehingga keempat jenis opini yang telah disebutkan dalam paragaf
sebelumnya juga diberikan oleh pemeriksa atas suatu laporan keuangan yang
diperiksanya dengan berpedoman pada kriteria ini. Adapun kriteria tersebut
dijelaskan dalam pasal 16 ayat (1), yaitu; opini merupakan pernyataan
professional pemeriksa mengenai kewajaran informasi keuangan yang disajikan
dalam laporan keuangan yang didasarkan pada kriteria; (1) kesesuaian dengan
standar akuntansi pemerintah, (2) kecukupan pengungkapan (adequate disclosure),
(3) kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, dan (4) efektivitas sistem
pengendalian intern (SPI).
Salah satu kriteria pemberian
opini atas pemeriksaan laporan keuangan adalah evaluasi atas efektivitas SPI.
SPI dikatakan efektif apabila mampu memberi keyakinan memadai atas tercapainya
efektivitas dan efisiensi pencapaian tujuan entitas, keandalan pelaporan
keuangan, keamanan aset negara, dan kepatuhan terhadap peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Pengendalian intern pada pemerintah pusat dan daerah
dirancang dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 60 Tahun 2008
tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP). Kriteria lain untuk
memberikan opini atas pemeriksaan laporan keuangan oleh BPK adalah kepatuhan
terhadap ketentuan perundang-undangan. Salah satu hasil pemeriksaan atas
laporan keuangan berupa laporan kepatuhan mengungkapkan ketidakpatuhan terhadap
ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengakibatkan kerugian
negara/daerah, potensi kerugian keuangan negara/daerah, kekurangan penerimaan,
administrasi, ketidakekonomisan, ketidakefisienan, dan ketidakefektifan.
Selain berpedoman pada kedua
kriteria yang telah dijelaskan, yakni SPI dan kepatuhan terhadap ketentuan
peraturan perundang-undangan, BPK juga melakukan penilaian terhadap kecukupan
pengungkapan informasi dalam laporan keuangan dan kesesuaian laporan keuangan
dengan standar yang berlaku sebagai dasar pemberian opini atas laporan keuangan
yang diperiksanya. Hanya saja, minimnya jumlah auditor BPK untuk menjangkau pemeriksaan
laporan keuangan di pusat, provinsi/daerah, lembaga negara dan lembaga lainnya
termasuk BUMN di seluruh Indonesia, maka khusus untuk pemeriksaan keuangan
terhadap BUMN, fokus penekanan pemeriksaan BPK tidak secara menyeluruh. Hal ini
didasari pada pemikiran bahwa pada dasarnya pemeriksaan keuangan terhadap BUMN
lebih banyak dilakukan oleh Kantor
Akuntan Publik (KAP)[3].
Sehingga BPK lebih menekankan pada dua pemeriksaan lainnya, yaitu pemeriksaan
kinerja dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu.
[1] Ikhtisar Hasil Pemerinkasaan
Semester I 2013 Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Buku II Pemeriksaan Laporan
Keuangan. hal 7. Tersedia dalam www.bpk.o.id diakses pada 27/02/2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar