Mendeteksi ada atau
tidaknya kerugian negara adalah menjadi salah satu wewenang BPK sebagai lembaga
independen yang bertugas memeriksa penggunaan keuangan negara (UU No.15/2004 Ps
10). BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan
oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh
bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang
menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara (UU No.15/2004 Ps 10). Dalam kasus
keuangan negara yang dikelola BUMN, BPK memiliki penilaian dan pemisahan secara
tegas akan kerugian keuangan negara dalam akivitas BUMN yang disebabkan karena
adanya kerugian bisnis atau kerugian yang disebabkan adanya kesengajaan dan
tindakan melawan hukum lainnya. Jika kerugian yang dialami BUMN tertentu memang
disebabkan karena risiko bisnis yang dijalankan perusahaan, maka hal tersebut
bukan termasuk kerugian keuangan negara (Bisri, risalah sidang 2013). Namun, jika
ditemukan unsur tindak pidana dalam penggunaan keuangan negara yang dikelola
BUMN tersebut maka BPK berkewajiban melaporkannya kapada pejabat yang berwenang
paling lambat satu bulan setelah ditemukan adanya unsur pidana tersebut (UU
Keuangan Negara Ps 8 (3)). Penilaian kerugian keuangan negara dan/atau
penetapan pihak yang berkewajiban membayar ganti kerugian ditetapkan dengan
keputusan BPK (UU No.15/2004 Ps 10 (2)).
Sebagaimana
dijelaskan dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I 2013 (IHPS) BPK bahwa
kerugian negara/daerah adalah berkurangnya kekayaan negara/daerah berupa uang,
surat berharga dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat
perbuatan melawan hukum, baik sengaja maupun lalai. Kerugian dimaksud harus ditindaklanjuti
dengan pengenaan/pembebanan kerugian kepada penanggung jawab kerugian sesuai
ketentuan perundang-undangan. Selain itu, juga ditemukan beberapa kasus potensi
kerugian keuangan negara/daerah yang juga menjadi temuan BPK, sehingga potensi
kerugian negara juga menjadi salah satu temuan yang diperhitungkan ke dalam
kerugian keuangan negara. Hal ini disebabkan dalam IHPS persentase temuan
kerugian dan potensi kerugian dominan jika dibandingkan dengan temuan lainnya.
Adapun yang dimaksud dengan potensi
kerugian negara atau daerah, ialah suatu perbuatan melawan hukum baik sengaja
maupun lalai yang dapat mengakibatkan risiko terjadinya kerugian di masa yang
akan datang berupa berkurangnya uang, surat berharga, dan barang, yang nyata
dan pasti jumlahnya. Kerugian negara dihitung berdasarkan nilai moneter (dalam
rupiah) atas temuan/kasus yang ditemukan yang menyebabkan berkurangnya kekayaan
negara yang dikelola oleh perusahan milik negara atau BUMN di samping mengukur
kerugian negara berdasarkan kasus/temuan yang berhasil diungkap oleh BPK maupun
KAP yang menjadi wakil BPK dalam pemeriksaan BUMN.
Contoh
kasus yang dapat menjelaskan adanya kerugian keuangan negara yang diakibatkan
tindakan melawan hukum adalah kasus Bantuan Langsung Bank Indonesia (BLBI),
berupa bantuan penyelamatan krisis keuangan berjumlah hampir Rp650 Triliun yang
hingga saat ini tidak jelas dimana dalam kasus tersebut menunjukkan pengawasan
bank pemerintah relatif lemah, diberikan di kala krisis dan kondisi pemerintah
yang goyah (Hernawan, 2010). Pada tahun 1998-1999 juga ditemukan kasus
manipulasi laporan keuangan Badan Usaha Milik Negara yang terdeteksi mengakibatkan kerugian negara
(Bisri, risalah sidang 2013). Kasus tersebut menekankan bahwa
manipulasi/kesalahan yang disengaja sehingga memberikan informasi yang dapat
menyesatkan pengguna menjadi salah satu kategori merugikan negara dengan
nominal yang tidak sedikit, mengingat uang/harta yang dikelola lembaga/badan tersebut
bersumber daripada keuangan negara dan merupakan uang rakyat yang harus
dilindungi sebagaimana amanat UU Keuangan Negara yang telah dijelaskan pada
bagian sebelumnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar