Anda muslim? Menjalankan puasa Ramadhan? Bagaimana perasaan anda? Baiklah, anda cukup tersenyum saja. Biar saya yang menerka. :)
Kenapa harus saya tanyakan itu? Sebab hal tersebut berkaitan dengan tulisan saya kali ini. Tentu dong ya sebagai seorang muslim, kita begitu senang menyambut hadirnya bulan penuh berkah ini, Bulan Ramadhan. Pelbagai hal pasti kita siapkan baik secara fisik (materil) dan juga meta-fisik (jiwa/ruhani). Tak ketinggalan kita siapkan juga kata-kata mutiara syarat makna untuk disebarkan kepada sahabat dan handai-tolan untuk memohon dibukakannya pintu maaf seluas-luasnya, dengan harapan dalam menapak gerbang awal ramadhan hingga terus ke-30 hari selanjutnya kita bebas dari perkara habluminannas (hubungan baik sesama manusia).
Sebelum keintinya, saya ingin bercerita. Semalam saya menyebar Broadcast Message kepada seluruh sahabat saya yang tersimpan kontaknya. Hal ini telah menjadi tradisi bagi saya pribadi, alasannya ya mungkin hampir sama dengan sahabat-sahabat lain, berharap BM tersebut mampu mewakili jabatan tangan ini yang tak dapat langsung menjabat dan bertemu muka pada seluruh sahabat saya. Namun ternyata di luar dugaan saya, banyak sekali sahabat-sahabat saya yang kemudian membalas dengan sekadar mengucap aamiinn (semoga dikabulkan) juga kembali meminta maaf, dan tak sedikit pula yang kembali memberikan renungan hebat dan balasan kata mutiara. Dari keseluruhan BM balasan tersebut, ada satu pesan yang saya terima yang begitu membuat hati saya menjadi nelangsa dan merenung dahsyat. "Ada baiknya jika saya share di blog" desis saya dalam hati, agar mampu kita GALI maknanya bersama.
Okay, tanpa panjang lebar lagi, langsung saja saya hadirkan renungan penuh makna yang datang sebagai BM seorang sahabat saya tersebut. Selamat membaca, sahabat :) :
" Ramadhan, haruskah aku berpura-pura merindukanmu; Sementara di setiap kedatanganmu, kaki-kaki kesadaranku masih terus melekat di tarik gravitasi-gravitasi nafsu? Sungguh-sungguhkah aku menyambutmu, atau sekadar rutinitas seremonial gegap-gempita yang kering dari makna?"
"MARHABAN YA RAMADHAN" ujarku, tanpa sungguh-sungguh mengerti apa artinya kedatanganmu di pintu rumahku. Lalu aku akan mengukir sedemikian kata-kata untuk mengirim sms, atau tweet, atau e-mail, atau broadcast message berisi permintaan maaf kepada teman-temanku seolah menghayati kesucianmu; sesungguhnya hanya pencitraan yang mengharapkan pujian-pujian.
"Puasa adalah medan ujian untuk meningkatkan keimanan dan ke-taqwa-an dengan menahan hawa nafsu." Aku membaca kalimat itu dalam spanduk di sebuah pusat perbelanjaan. "Selamat menunaikan ibadah puasa Ramadhan 1433H," katanya. Tapi aku segera melupakannya, dibutakan potongan harga yang sesungguhnya pura-pura, memborong bahan makanan secara rakus dan berlebihan. Lalu aku mencari perlengkapan ibadah baru, juga mushaf al-quran baru: Sebab yang lama telah usang dan berdebu buku. Oh al-quran, oh, baju taqwa, oh sajadah, oh ustad-ustad berwajah tampan, kemana saja kalian di luar bulan Ramadhan?
Seperti tahun-tahun sebelumnya, kedatanganmu, ramadhan, masih terus membuatku bertanya-tanya: "Mengapa tema-tema ceramah para ustad masih terus saja sama, kecuali make-up mereka yang makin tebal dan pakaian mereka yang makin mengkilap? Berapa bayaran mereka sekali tampil dalam iklan dan acara televisi? Setiap tahun aku menonton dan mendengarkan mereka, namun mengapa selalu tak berhasil mengubah ulat-ulat dosa dalam diriku menjadi kupu-kupu taqwa? Oh, para ustad, oh para ulama, oh, kesejukan agama, kemana saja kalian di luar bulan puasa?
Ramadhan, memang seharusnya aku tak menyalahkan siapa-siapa, aku lah diri yang bebal dan kepala batu. Maka selamat datang, Ramadhan: Selamat datang iklan sirup mar*an, selamat datang iklan Pro*ag, Selamat datang om Ded*y Miz*ar, selamat datang kolak, selamat datang perdebatan N* dan Mu***diyah, selamat datang acara-acara sahur penuh hadiah dan hiburan, selamat datang diskon-diskon yang menggiurkan, ah, betapa aku merindukan kalian!
Demikianlah aku merindukanmu, Ramadhan. Demikianlah aku mencintaimu dengan caraku yang tak tahu malu. Terima kasih telah menyediakan siang terik bermilyaran pahala. Terima kasih telah selalu membentangkan malam doa yang meluas angkasa. Terima kasih telah selalu menjadi bulan seribu bulan-yang membuatmu tak pernah selesai kami hitung untuk menentukan malam permulaan dan penghabisan. Terima kasih telah selalu datang dan pergi dengan senang hati, tanpa memperdulikan kemunafikan kemaksiatan, dan kebebalan kami.
Barangkali suatu saat nanti, Ramadhan, jika hilal mu sudah benar-benar tampak di langit hatiku, aku tak perlu meng-hisab dan memperdebatkan apapun: sebab aku tak lagi punya pintu untuk menyambut kedatanganmu. Jika saat itu tiba, maka masuklah, masukilah diriku dengan keseluruhan dirimu, aku akan mendekapmu selalu- dengan penuh keharuan dan kerinduan..
Ya, demikianlan isi BM yang saya peroleh malam itu dari seorang sahabat. Tanpa bermaksud menyinggung pihak mana pun, mungkin ini adalah nasihat penuh makna teruntuk saya pribadi yang kemudian saya share untuk direnungkan bersama di sini. Jika ada salah kata pasti datang dari jari-jari saya yang mengetiknya, namun jika memang terasa ada benarnya dan menyentuh rasa, maka itu pastinya datang dari-Nya. Mohon maaf tak bermaksud mencela.
Semoga Ramadhan tahun ini, kita semakin baik lagi. Aamiinn :)
Terima Kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar