|
Universitas Negeri Malang |
COLLABORATIVE LEARNING INNOVATION: METODE
PENANAMAN PERSATUAN DAN MUSYAWARAH BAGI GENERASI INDONESIA DALAM PERKEMBANGAN EDUCATION TECHNOLOGY
oleh: Rysky Marlinda (STEI TAZKIA)
Indonesia dikenal sebagai negara yang besar, baik ditinjau berdasarkan
luas wilayah, sumber daya alam (SDA), dan juga sumber daya manusia (SDM) yang
begitu fantastis. Bayangkan, di awal tahun 2012 ini, jumlah penduduk Indonesia
telah mencapai angka 249 juta jiwa dan 65% dari total penduduk tersebut adalah
penduduk usia produktif yang berusia 15 – 64 tahun. Penduduk usia produktif ini
sepuluh tahun ke depan akan didominasi oleh generasi berusia 15 – 24 tahun (sumber:
Badan Pusat Statistik 2012). Keadaan inilah yang menyebabkan Indonesia disebut-sebut
sebagai negara dengan bonus demografi yang begitu potensial. Pasalnya, genersi
muda Indonesia akan mencapai puncak pada sepuluh tahun ke depan dengan
mendominasi jumlah penduduk secara keseluruhan. Jika potensi generasi muda ini
mampu dimanfaatkan sedemikian rupa, maka
yang terjadi adalah produktivitas nasional dan pertumbuhan ekonomi Indonesia
akan semakin tinggi dan kesejahteraan akan semakin dekat.
Generasi muda adalah aset yang tak ternilai harganya. Mereka adalah
penerus estafet kepemimpinan bangsa. Semangat pantang menyerah generasi muda
pun berbeda
dengan kalangan tua. Hal ini
tercermin pada jargon yang sering disebutkan oleh presiden pertama Indonesia,
Ir Soekarno bahwa, “Seribu orang tua hanya bisa bermimpi, namun satu orang
pemuda mampu mengubah dunia.”
Generasi muda ini diharapkan mampu mengerahkan ide dan tenaga mereka bagi
pembangunan. Terlebih lagi di era moderen seperti sekarang. Di tengah kemajuan
teknologi, maka menjadi sebuah harapan besar jika generasi Indonesia mampu
turut serta dalam kemajuan dunia, di samping mereka juga menjadi duta-duta yang
tetap membawa budaya Indonesia atau karakter bangsa dalam dirinya.
Generasi moderen yang cakap secara
skill,
unggul dalam ide, inovatif dan berkarakter,
calon-calon penerus dengan kriteria seperti inilah
yang diramalkan akan membawa bonus demografi bagi Indonesia satu dekade ke
depan menjadi begitu menguntungkan dan membuka beragam jendela kesempatan demi
kemajuan. Namun pertanyaan yang muncul kemudian adalah siapkah generasi
Indonesia menghadapi dan menjawab tantangan ini?
Di tengah proyeksi positif kemajuan Indonesia kelak, dengan generasi muda
sebagai andalannya, ternyata tak mampu mengobarkan semangat kemajuan dalam diri
generasi Indonesia itu sendiri. Masih ada saja kita temukan kenakalan dan
anarkisme yang dilakukan oleh generasi muda Indonesia belakangan ini. Dan yang
lebih memalukan lagi, kejadian tersebut melibatkan mereka yang berasal dari
kalangan akademis, seperti pelajar dan mahasiswa. Sebut saja tawuran antar-pelajar,
tawuran mahasiswa satu universitas, baku hantam
supporter bola, kekerasan antar-geng motor, serta demo anarkis yang
merusak bahkan menghancurkan fasilitas umum dan mengganggu ketenteraman publik.
Dalam kejadian itu, mereka seakan membuktikan bahwa nilai persatuan dan
karakter bangsa telah hancur dan terkubur seiring bergantinya zaman. Mereka
seolah menepis kemungkinan untuk menyelesaikan masalah dengan kepala dingin,
edukatif bahkan musyawarah. Mereka kini kehilangan semangat persatuan dan musyawarah
yang menjadi karakter bangsa Indonesia. Semangat yang menjadikan Indonesia
merdeka, yang mampu membebaskan kita dari belenggu penjajah, dan sebagai nilai
yang menyatukan genggaman tangan kita dari Sabang sampai Merauke.
Melihat kenyataan yang ada, nilai persatuan dan musyawarah guna membangun
karakter bangsa terlebih lagi generasi muda sebenarnya telah ditanamkan sedini
mungkin bagi mereka sejak duduk di sekolah dasar (SD). Nilai-nilai berupa pesan
yang dibawa oleh Pancasila ini, yaitu sila ketiga dan sila keempat sengaja
dimuat dalam mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKN) di
setiap kurikulum sekolah di seluruh Indonesia. Hal tersebut dilakukan agar
menjadikan mereka generasi moderen yang berkarakter Pancasila yang merupakan
pedoman hidup bangsa Indonesia. Namun, mengapa kemudian mereka seakan tak
mengenal bahkan mengamalkan nilai tersebut dalam kehidupan nyata? Apa yang
salah dengan sistem Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan kita dewasa ini?
Di berbagai sekolah dan universitas, Pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKN) merupakan salah satu mata pelajaran atau
mata kuliah yang tampak tak begitu menarik bagi para siswa. Mereka lebih
mengidolakan mata pelajaran yang dianggap selaras dengan kemajuan zaman,
misalnya Sistem Informasi danTeknologi Komputer, Musik, Matematika, Fisika,
Akuntansi dan Ekonomi. Mata pelajaran ini akan menempati prioritas pertama di
kalangan generasi muda dengan mengenyampingkan pendidikan karakter. Bisa
dibayangkan, akan menjadi generasi yang bagaimanakah mereka kelak?
Pembentukan generasi berkualitas tak dapat dilepaskan dari pendidikan
karakter yang juga berkualitas. Tak cukup rasanya hanya mempelajari teori
mengenai Pancasila pada mata pelajaran PPKN saja, yang hanya diajarkan tak
lebih dari dua jam di setiap sekolah atau universitas. Perlu ada inovasi yang
bisa membuat generasi muda mengenal Pancasila secara komprehensif. Oleh karena
itu, timbul suatu wacana bahwa nilai - nilai
Pancasila tidak hanya dititik-beratkan pada mata kuliah atau mata pelajaran PPKN
saja, namun juga dihadirkan dalam setiap mata kuliah atau mata pelajaran umum
lainnya dengan metode yang disesuaikan pada kemajuan zaman dan dekat dengan
teknologi informasi, sehingga lebih aplikatif. Metode ini dikenal dengan istilah
collaborative learning innovation.
Menurut Anite Lie (2000)
collaborative
learning adalah pembelajaran
gotong-royong
yang mana sistem pembelajarannya memberi kesempatan pada peserta didik untuk
bekerja sama dengan peserta lain dalam tugas-tugas yang terstruktur (tugas yang
telah ditentukan). Inovasi yang kemudian dihadirkan adalah dengan melibatkan
setiap anggota kelompok untuk lebih aktif secara penuh dalam kelompoknya, namun
tetap partisipatif dalam menunjang kelompok lain, agar setiap kelompok saling
menopang untuk menyelesaikan tugas secara bersamaan.
Metode
collaborative learning innovation
dilaksanakan dengan tujuan untuk menanamkan nilai-nilai persatuan dan
musyawarah yang terkandung dalam sila “persatuan Indonesia dan kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan” secara
praktik.
Metode ini dapat dijelaskan dengan singkat melalui lima tahap utama.
Pertama, guru ataupun dosen membagi
kelompok belajar kelas berdasarkan jumlah pokok bahasan yang akan dipelajari. Misalnya
ada 6 pokok bahasan, maka kelas harus dibagi menjadi 6 kelompok. Setiap
kelompok beranggotakan peserta didik yang berbeda-beda, baik kemampuan dan
karakternya. Hal ini dimaksudkan agar setiap kelompok mampu belajar untuk
saling menghargai dan beradaptasi dengan baik satu sama lain. Jumlah anggota
kelompok pun disesuaikan dengan jumlah pokok bahasan pelajaran di kelas
tersebut, yang artinya jika ada 6 pokok bahasan, maka setiap kelompok
beranggotakan 6 orang.
Kedua, tiap-tiap kelompok
ditugaskan untuk menguasai dan menyelesaikan setiap masalah yang ada dalam
pokok-pokok pelajaran yang dibahas di kelas, dengan pembagian yang telah
ditentukan secara acak di awal. Yang artinya, masing-masing anggota kelompok
adalah
master untuk pokok bahasan
yang ia dapatkan. Di sini, peserta didik dilatih untuk menjadi individu yang
bertanggung jawab dan memiliki
skill
yang komprehensif dalam setiap tugasnya.
Ketiga,
guru atau dosen akan memecah setiap anggota kelompok untuk dikumpulkan pada
tiap-tiap anggota kelompok lain yang mendapatkan tugas pokok bahasan yang sama
guna mendiskusikan dan bertukar informasi mengenai hal-hal yang telah mereka
dapatkan. Mereka juga akan saling mengkritisi mengenai pendapat atau
argumentasi anggota kelompok lain serta memberi opini yang membangun. Pada
tahap ini, mereka akan belajar untuk menjadi bagian kelompok yang pandai
menghargai pendapat orang lain, bermusyawarah dan kritis serta belajar mengenal
dan memahami anggota yang berasal dari setiap kelompok yang berbeda.
Keempat, guru atau dosen
menginstruksikan mereka untuk kembali pada kelompok masing-masing, dan bertugas
menyampaikan pokok bahasan yang mereka telah pelajari kepada anggota
kelompoknya secara bergiliran. Pada tahap ini, setiap pelajar atau mahasiswa
dilatih untuk cakap secara interpersonal dengan memberi pengajaran, pengertian
dan menyalurkan ide atau pendapat pada orang lain secara kritis.
Kelima,
guru ataupun dosen meminta masing-masing kelompok untuk men-design laporan hasil kolaborasi setiap
anggota kelompoknya agar menarik untuk dipresentasikan. Sehingga, pada tahap
akhir ini, setiap anggota kelompok diharapkan mampu berdiskusi dalam menentukan
strategi menarik bagi kelompoknya dan mendorong untuk saling memahami dalam
bertukar pendapat. Disinilah generasi-generasi muda Indonesia
tersebut mengenal makna persatuan sekaligus musyawarah yang sesungguhnya.
Kontinuitas pembelajaran dengan metode collaborative learning innovation ini diyakini dapat menjadi budaya
bagi generasi muda dalam bermasyarakat di kehidupan nyata. Sehingga anarkisme, tawuran
antar-pelajar atau mahasiswa, serta baku hantam antar-geng motor akan berkurang
bahkan mungkin tak akan terjadi lagi. Sistem ini membutuhkan dukungan penuh
pemerintah, sehingga mampu membekali setiap tenaga pendidik, baik guru maupun
dosen untuk mendalami metode pembelajaran ini. Metode ini telah terbukti sukses
dikembangkan di beberapa sekolah di Singapura dan Malaysia (Okezone.com/Tips
Inovatif ala Google).
Melalui metode ini, diharapkan nilai-nilai persatuan dan musyawarah yang
menjadi amanat Pancasila bisa direalisasikan dan menjadi karakter setiap
generasi Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar