طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ #menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim# اطْلُبُوْا الْعِلْمَ وَلَوْ بِالصِّيْنِ #tuntutlah ilmu walau hingga ke negeri Cina#

Kamis, 25 September 2014

Mengapa Kita Perlu Peduli pada Aset Negara (BUMN)?


Di akhir tahun 2013, pemerintah menghadapi persoalan adanya permohonan uji materi Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang kemudian disebut UU Keuangan Negara, dan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang kemudian disebut UU BPK, oleh Forum Hukum Badan Usaha Milik Negara (BUMN) (Warta BPK, 2013). Dalam uji materi tersebut, pemohon menyatakan bahwa penyertaan modal negara (PMN) pada BUMN bukan merupakan bagian dari keuangan negara. Implikasi daripada uji materi ini ialah BPK tidak memiliki wewenang dalam hal pemeriksaan BUMN di Indonesia sebab telah menjadi ranah hukum privat, dan BUMN tunduk pada Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 mengenai Perseroan Terbatas (UU PT) (Bisri dalam risalah sidang, 2013). Hal ini kemudian menjadi fokus utama BPK dan masyarakat, mengingat nominal PMN dan kepemilikan negara pada BUMN yang tidak sedikit, sebagaimana diungkapkan dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 yang selanjutnya disebut UU BUMN bahwa modal utama BUMN, baik Perum maupun Persero berasal dari penyertaan modal negara secara keseluruhan maupun sebagian besar, yaitu pada BUMN Persero sekurang-kurangnya 51% saham terhadap keseluruhan saham Persero dikuasai oleh negara. 

              BUMN adalah wujud perlindungan negara akan keberlangsungan perekonomian yang diperuntukkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (Bisri dalam risalah sidang, 2013). BUMN berperan penting dalam mengelola aset-aset strategis negara. Peran BUMN juga begitu besar dalam pelayanan publik yakni memproduksi kebutuhan masyarakat di samping mengejar keuntungan. Jasa dan produk BUMN yang meliputi telekomunikasi, listrik, transportasi, pangan dan kebutuhan primer menjadi hal pokok yang mengusai hajat hidup orang banyak di dalam perekonomian dan kenegaraan. BUMN pula mengemban tugas penting pembangunan yang kemudian dikenal sebagai agent of development. Dalam hal ini BUMN berperan menyerap tenaga kerja agar mampu menghasilkan produk dan jasa yang berdaya saing. Maka dari itu, negara menjadikan BUMN sebagai salah satu alat penggerak ekonomi yang utama. Negara menjadi penyokong modal BUMN yang diwujudkan dalam bentuk penyertaan modal negara (PMN). Selain itu, negara juga memberikan suntikan bantuan kepada BUMN yang tidak direfleksikan dalam neraca pada laporan keuangan yang dikenal dengan Bantuan Pemerintah yang Belum Ditetapkan Statusnya (BPYDS). Seluruh dana penyertaan tersebut bersumber dari keuangan negara yang dikenal dengan kekayaan negara yang dipisahkan (Djazuli, 2014), sebagaimana yang diamanatkan UUD ‘45 Pasal 23 ayat (1) serta UU Keuangan Negara Pasal 2 huruf g dan huruf i yang menjadi objek permohonan uji materi oleh Forum Hukum BUMN kepada Mahkamah Konstitusi (MK).

Oleh sebab itu, permohonan uji materi UU Keuangan Negara dan UU BPK tersebut akan begitu membahayakan keuangan negara terkait penyimpangan pada BUMN yang jika nantinya berhasil ditemukan dan diungkap melalui proses audit atau pemeriksaan, temuan atau kasus penyimpangan tersebut tidak dapat dijerat dengan UU antikorupsi, namun hanya sebagai tindak pidana umum (Bisri, risalah sidang 2013), sebab BUMN telah menjadi bagian dari perusahaan umum biasa dan bukan termasuk dalam objek keuangan negara yang menjadi wewenang pemeriksaan BPK. Padahal sebagaimana yang diungkapkan dalam Undang-undang Dasar 1945 (UUD ‘45) pasal 33 ayat (2) dan (3) bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak, serta bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Penyimpangan tersebut bahkan terjadi pada BUMN yang masuk kategori perusahaan besar berdasarkan total aset perusahaan. Lemahnya kontrol atau pemeriksaan pada tubuh BUMN menjadi salah satu penyebab utama sehingga menimbulkan indikasi kerugian keuangan negara. Sebagaimana yang diungkap Mahfoedz (1994) bahwa ada anggapan jika perusahaan dengan aset besar telah menunjukkan arus kas yang baik sehingga memiliki performa yang baik dalam jangka waktu lama. Namun hal ini bukanlah jaminan, mengingat kecurangan yang pernah terjadi pada PT Indo Farma, PT KAI dan PT Kimia Farma pada periode antara 2000-2005 yang ketiganya merupakan BUMN beraset besar sehingga menimbulkan adanya indikasi kerugian keuangan negara. BUMN beraset besar tetap membutuhkan adanya pemeriksaan dan kontrol yang tinggi terhadap penyimpangan dan kecurangan yang mungkin terjadi di masa datang. Tidak hanya dilihat dari sisi aset, kecurangan pada tubuh BUMN juga ditemukan dalam transaksi yang dilakukan antar induk dan anak perusahaan. Kompleksitas pelaporan dan transaksi yang terjadi antar induk dan anak perusahaan membuka kemungkinan terjadinya kecurangan atau penyimpangan di tubuh BUMN yang memungkinkan adanya indikasi kerugian keuangan negara. Oleh karena itu, kontrol keuangan negara yang ada pada BUMN oleh lembaga independen baik internal maupun eksternal semisal BPK sangat dibutuhkan guna mencegah penyelewengan dan penyimpangan dalam keuangan negara yang ada pada BUMN sebagaimana yang diamanatkan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2006 (UU BPK).

Jika kemudian BUMN dinyatakan terpisah daripada keuangan negara, hal ini akan menyulitkan BPK untuk melakukan pengawasan dan kontrol keuangan negara yang ada pada BUMN dan aset negara lainnya yang telah diatur dalam UU Keuangan Negara dan UU BPK. Penyimpangan dan penyelewengan yang terjadi pada tubuh BUMN yang tidak dikontrol dan diawasi dengan standar yang telah ditentukan negara, sebagaimana yang diamanatkan oleh UU Keuangan Negara akan membawa dampak kerugian keuangan negara. Meskipun secara penuh, Kantor Akuntan Publik (KAP) akan menggantikan pemeriksaan atau audit yang dilakukan BPK sebagaimana yang diamanatkan UU PT jika kelak uji materi UU Keuangan Negara dan UU BPK dikabulkan MK. Namun ranah audit KAP hanya terbatas pada pemeriksaan keuangan, sedangkan BPK memiliki wewenang pemeriksaan yang juga meliputi pemeriksaan kinerja dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT) yang memungkinkan pemeriksaan yang lebih luas dan mendalam (Mulyadi dalam Rima, 2010). Begitupun standar yang digunakan oleh keduanya juga berbeda. Jika KAP tunduk pada Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) yang dikeluarkan oleh Dewan Standar Professional Akuntan Publik Institut Akuntan Publik Indonesia (DSPAP IAPI), maka BPK memiliki standar sendiri, yaitu berupa Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) yang digunakan untuk menjaga kredibilitas serta profesionalitas dalam pelaksanaan maupun pelaporan pemeriksaan, baik pemeriksaan keuangan, kinerja, serta pemeriksaan dengan tujuan tertentu (www.scholar.google.com).

Oleh karena itu, menjadi sangat penting untuk peduli pada keselamatan aset negara kita (re: BUMN)
Tapi guys, kita wajib bersyukur karena pada 24/9/2014 kemarin MK telah menolak uji materi UU No 17/2003 :D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar