طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ #menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim# اطْلُبُوْا الْعِلْمَ وَلَوْ بِالصِّيْنِ #tuntutlah ilmu walau hingga ke negeri Cina#

Kamis, 25 September 2014

Audit BUMN oleh Kantor Akuntan Publik (KAP)


BUMN Persero selain tunduk pada UU BUMN juga tunduk pada ketentuan dan prinsip UU PT, disebabkan bentuk badan tersebut ialah Perseroan Terbatas (UU BUMN Ps 1 (2)). Berkenaan dengan penelitian ini, dijelaskan di dalam UU PT Nomor 40 Tahun 2007 pasal 66 ayat (4) dan pasal 68 ayat (3) bahwa BUMN Persero juga dapat diaudit oleh Kantor Akuntan Publik (KAP). Adapun yang dimaksud dengan KAP yaitu telah dijelaskan melalui Undang-undang Nomor 5 Tahun 2011 mengenai Kantor Akuntan Publik yang selanjutnya disebut UU KAP; pada pasal 1 angka 5 bahwa Kantor Akuntan Publik (KAP) adalah badan usaha yang didirikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan mendapatkan izin usaha berdasarkan undang-undang ini.

Audit BUMN yang dilakukan oleh KAP dapat membantu BPK dalam menjalankan pemeriksaan kepada BUMN yang ada di Indonesia (UU No.15/2004 Ps 9 (1),(2),(3)), sehingga KAP yang mengaudit BUMN sebenarnya merupakan perpanjangan tangan BPK dalam menjalankan tugas dan wewenang pemeriksaan, mengingat jumlah BUMN yang tidak sedikit, yaitu mencapai 142 BUMN (Djazuli, 2013). Namun, ranah pemeriksaan yang dapat dijangkau KAP pada BUMN yang menjadi kliennya hanya kepada pemeriksaan akan kewajaran penyajian sebuah laporan kuangan, yang pada umumnya adalah audit atas laporan keuangan atau audit keuangan BUMN (Mulyadi, 2002). Di sisi lain, BPK memiliki ranah audit yang lebih luas, mencakup audit atas keuangan, audit atas kinerja, hingga pemeriksaan dengan tujuan tertentu (UU BPK Ps 6 (3)), sebagaimana tugas dan wewenang yang telah diberikan negara melalui UUD maupun UU kepada badan pemeriksaan keuangan negara yang independen tersebut. Dasar yang menjadi pedoman audit kedua badan pemeriksa tersebut berbeda. KAP tunduk pada Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP). Sebagaimana dijelaskan dalam UU KAP pasal 1 angka 11 bahwa SPAP adalah acuan yang ditetapkan menjadi ukuran mutu yang wajib dipatuhi oleh Akuntan Publik dalam pemberian jasanya. Sedangkan BPK tunduk pada Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN). Adapun yang dimaksud dengan SPKN dijelaskan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2007 tentang standar pemeriksaan keuangan negara, yaitu patokan untuk melakukan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. KAP yang akan melakukan pemeriksaan atau audit atas BUMN harus memahami standar pemeriksaan sebagaimana yang diatur dalam standar pemeriksaan keuangan negara terkait pengelolaan keuangan negara oleh suatu BUMN. BPK berwenang menilai dan menetapkan kode etik dan standar tertentu bagi pihak luar termasuk KAP yang akan melakukan pemeriksaan atas nama BPK (UU BPK Ps 9 (1) f). Laporan hasil pemeriksaan akuntan publik tersebut wajib diserahkan kepada BPK untuk dievaluasi ulang serta wajib dipublikasikan (UU BPK Ps 9 (4)).


Hasil pemeriksaan KAP atas audit BUMN ini ialah berupa temuan.  Adapun temuan atas pemeriksaan laporan keuangan pada BUMN dikategorikan pada 2 (dua) jenis temuan, yaitu temuan akan kelamahan SPI maupun ketidakpatuhan terhadap UU yang berakibat di antaranya pada kerugian negara dan potensi kerugian keuangan negara yang terjadi pada BUMN. Temuan yang masuk ke dalam kategori ketidakpatuhan BUMN akan peraturan perundang-undangan yang menyebabkan kerugian negara, meliputi: a) kekurangan volume pekerjaan dan/atau barang, b) kelebihan pembayaran selain kekurangan volume pekerjaan dan/atau barang, c) belanja tidak sesuai atau melebihi kebutuhan, d) biaya perjalanan dinas ganda dan atau melebihi ketentuan, e) belanja perjalanan dinas fiktif, f) pembayaran honorarium ganda dan atau melebihi standar yang ditetapkan, g) penggunaan uang/barang untuk kepentingan pribadi, h) belanja atau pengadaan fiktif lainnya, i) spesifikasi barang/jasa yang diterima tidak sesuai dengan kontrak, j) kerugian lainnya. Sedangkan temuan audit yang masuk ke dalam kategori ketidakpatuhan BUMN terhadap UU yang menyebabkan timbulnya potensi kerugian negara, ialah: 1) aset dikuasai pihak lain, 2) aset tetap tidak diketahui keberadaannya, 3) ketidaksesuaian pekerjaan dengan kontrak tetapi pembayaran pekerjaan belum dilakukan sebagian atau seluruhnya, 4) piutang/pinjaman atau dana bergulir yang berpotensi tidak tertagih, 5) rekanan belum melaksanakan kewajiban pemeliharaan barang hasil pengadaan yang telah rusak selama masa pemeliharaan, 6) pemberian jaminan pelaksanaan dalam pelaksanaan pekerjaan, pemanfaatan barang dan pemberian fasilitas tidak sesuai ketentuan, 7) pembelian aset yang berstatus sangketa, 8) penghapusan piutang tidak sesuai ketentuan, 9) potensi kerugian negara/daerah lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar