طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ #menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim# اطْلُبُوْا الْعِلْمَ وَلَوْ بِالصِّيْنِ #tuntutlah ilmu walau hingga ke negeri Cina#

Selasa, 22 Mei 2012

Indonesia Economics Festival 2012 SAFF STAN



KOLABORASI ANTARA ZAKAT DAN INTEGRATED POVERTY MAPPING SEBAGAI SOLUSI RIVALISASI KEMISKINAN VERSUS SOCIAL SAFETY NETS DI INDONESIA
oleh: Rysky Marlinda (STEI TAZKIA)


Indonesia adalah negara dengan pertumbuhan ekonomi potensial di dunia. Bahkan di masa depan, Indonesia diramalkan akan masuk ke dalam barisan negara-negara high class bidang ekonomi. Hal ini selaras dengan pernyataan ekonom senior HSBC Internasional, Karen Ward dalam laporannya “The World in 2050: Quantifying the Shift in the Global Economy”. Indonesia masuk ke dalam 20 besar negara paling potensial pertumbuhan ekonominya di masa datang. Hal ini didasarkan atas sifat demografi (kependudukan) atau sumber daya manusia (SDM) Indonesia yang secara kuantitas begitu potensial. Didukung pula dengan pertumbuhan micro finance Indonesia yang sejak kini kian menunjukan eksistensinya dalam membangun sektor riil ekonomi Indonesia. Serta hadirnya pembaharuan sistem yang dewasa ini mulai tumbuh dan menggambarkan trend positif, yaitu sistem ekonomi Islam yang dinilai stabil dalam menghadapi krisis internasional.

Namun di sisi lain, banyak persoalan ekonomi yang hingga kini masih menghantui negeri pertiwi. Salah satunya adalah persoalan kemiskinan. Data dari Badan Pusat Statistik (2010) menyatakan angka kemiskinan Indonesia adalah sekitar 13,33 % dari seluruh total penduduk sebesar 228 juta jiwa. Ini berarti jumlah masyarakat miskin Indonesia berada pada kisaran 31,02 juta jiwa. Angka ini masih jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan angka kemiskinan di Indonesia yang mengacu pada standar internasional (USD 2/hari) versi Bank Dunia, yaitu hampir mendekati 100 juta jiwa. Angka kemiskinan penduduk Indonesia ini seakan menjadi sebuah batu hantaman bagi Indonesia. Di satu sisi, Indonesia memiliki kualitas sumber daya alam (SDA), kuantitas SDM, dan prediksi pertumbuhan ekonomi yang gemilang di masa depan. Di sisi lain, Indonesia harus menghadapi sebuah kenyataan pahit akan tingkat kemiskinan yang masih tinggi.

Negara se-kualitas Indonesia dengan SDA dan SDM yang berlimpah serta potensi pertumbuhan ekonomi yang cerah di masa depan, harusnya kini telah mampu mengikis drastis angka kemiskinan di negerinya, bahkan mulai berbenah diri untuk memenuhi segala kebutuhan dasar rakyat dan generasinya. Hal ini yang telah dirumuskan oleh pemimpin-pemimpin di masa lalu. Mengingat kembali tujuan bangsa Indonesia pada batang tubuh pembukaan undang-undang dasar (UUD) 1945 yang salah satunya berbunyi, “Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa…”, sudah sangat jelas tertulis bahwa negara kita menjamin kepastian terpenuhinya hak warga negara secara menyeluruh hingga kaum fakir dan miskin. Istilah ini kemudian dikenal dengan social safety nets. Kriteria tercapainya social safety nets, antara lain; adanya jaminan yang menanggung terpenuhi hak-hak dasar bagi warga negara Indonesia baik pangan, sandang dan papan. Bukan tak mungkin jika negara menyentuh hingga level pemberlakuan subsidi pangan, yang pada akhirnya berdampak pada sembako murah. Subsidi pendidikan, dengan harapan adanya pendidikan murah, namun tidak murahan bahkan mungkin gratis. Terpenuhinya fasilitas dan layanan kesehatan yang memadai, ketersediaan tempat tinggal berupa rumah sangat sederhana (RSS) yang murah. Ataupun jika semua fasilitas itu tetap pada harga yang tinggi, setidaknya negara mampu menjamin masyarakatnya memiliki purchasing power yang tinggi pula. Kondisi yang tengah dihadapi bumi pertiwi ini nampak sebagai sebuah rivalisasi, istilah penggambaran pertentangan antara dua belah pihak, baik kemiskinan dan pemenuhan social safety nets yang memiliki tuntutan yang sama mendesaknya. Desakan akan pengentasan kemiskinan di Indonesia, dan desakan akan pencapaian social safety nets di waktu yang sama. Inilah yang kemudian disebut sebagai rivalisasi kemiskinan vs social safety nets.

Berbicara mengenai rivalisasi ini, bukan berarti pemerintah tidak melakukan apa-apa. Dari tahun ke tahun, pemerintah sebenarnya telah mencanangkan upaya penanggulangan kemiskinan, antara lain melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) dan Program Kredit Usaha Rakyat (KUR). Sejak 2010 dana yang dialokasikan untuk PNPM sebesar Rp 13 triliun yang akan disalurkan ke 6000 kecamatan lebih. Di tahun itu juga telah disiapkan dana program KUR sebesar Rp 100 triliun untuk membantu pembiayaan usaha kecil yang merupakan 98,9% entitas bisnis di Indonesia. (sumber: Dompet Dhuafa 2010). 

Menurut Dr Salim Assegaf (Menteri Sosial RI 2009) bahwa  Kementerian Sosial (KEMENSOS) juga turut serta dalam program pengentasan kemiskinan melalui Program Keluarga Harapan (PKH) yang ditujukan pada 822.000 rumah tangga sangat miskin (RTSM) dengan total anggaran Rp 1.3 triliun. Di samping itu, ada program pemberdayaan ekonomi komunitas melalui Kelompok Usaha Bersama (KUBE) yang pada tahun 2010 diberikan kepada 127.930 KK dengan total anggaran pemberdayaan fakir miskin sebesar Rp 431.797.100.000.  

Namun dengan dana APBN yang telah tersalur deras, pertanyaannya kemudian adalah apakah masalah kemiskinan telah tuntas? Fakta yang kita temui kini bahwa pemerintah belum juga mampu mengentaskan secara optimal kehidupan si miskin di Indonesia, terbukti melalui data hasil penelitian BPS yang menyebut tingkat kemiskinan di Indonesia masih menunjukan angka 12-13 % (2010), bahkan angka ini masih akan bertambah jika kita mengacu pada standar kemiskinan yang ditetapkan Bank Dunia.

Lalu, adakah langkah lain yang bisa kita gunakan demi mengentaskan kemiskinan? Atau adakah sebuah instrumen yang belum digunakan secara optimal untuk mendanai seluruh program hebat pemerintah di atas tanpa menguras dana APBN yang berlimpah? Jawabannya, ada. Jika melihat kembali kultur sosial masyarakat Indonesia dan keadaan kependudukan di Indonesia, maka kita akan menemukan angka fantastis yang begitu potensial di Indonesia, yaitu jumlah masyarakat muslim Indonesia yang tidak sedikit. Ada 80% masyarakat muslim di Indonesia atau sekitar 180 juta jiwa. Sedangkan muslim memiliki instrumen pengentas kemiskinan yang memang telah terbukti sejak zaman kebangkitan Islam masa lalu, sebut saja zaman kepemimpinan Khalifah Abu bakar, Umar bin Khatab, Umar bin Abdul Aziz, serta di zaman moderen yang kini diterapkan di Brunei Darussalam, Singapura dan Malaysia. Sayangnya, kendati zakat telah diterapkan di Indonesia, masih juga belum mampu optimal menjawab permasalahan yang ada. Hal ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, zakat belum mampu kawin dan berselaras utuh bersama pemerintah. Bisa dibuktikan melalui program cantik dan hebat pemerintah yang telah dibahas sebelumnya, namun belum memberdayakan dan menggandeng zakat sebagai instrumen pendanaannya. Kedua, meskipun zakat telah dikelola secara professional oleh berbagai Organisasi Pengelola Zakat (OPZ) di Indonesia, akan tetapi sebaran penerima dana zakat belum merata, bahkan terkesan tumpang tindih antara satu dengan yang lain. Sebagaimana pengumpulan zakat yang masih terfokus pada satu wilayah tertentu, yang biasanya disebabkan karena data yang kurang mendukung bahkan tidak update mengenai sasaran akan muzakki (pembayar zakat) dan mustahiq (penerima zakat) yang jelas dan merata di seluruh Indonesia.

Solusi yang kini ditawarkan adalah adanya perkawinan antara zakat dan beragam lembaga pemerintah terkait solusi untuk menjawab permasalahan kemiskinan vs social safety nets di Indonesia. Solusi ini kemudian dikenal dengan istilah Integrated Poverty Mapping

Integrated Poverty Mapping digunakan untuk melaksanakan tiga langkah pengentas kemiskinan. Pertama, sebagai panduan dan pendeteksi keberadaan penduduk miskin yang sesungguhnya, mulai dari tingkat provinsi, kabupaten/kota, desa bahkan dusun dengan standar kemiskinan menurut Badan Pusat Statistik (BPS). Sehingga dalam langkah pertama ini, peran utama berada di tangan BPS sebagai researcher society institute. Data ini akan terus di-update per tahunnya, yang akan dijelaskan lebih lanjut. Kedua, Integrated Poverty Mapping digunakan sebagai landasan yang mengonsep dengan baik sasaran penduduk miskin yang akan ditangani, sehingga akan lebih mudah pula mengonsep keberadaan dan sebaran penduduk kaya. Jika keberadaan si kaya dan si miskin telah jelas, maka pada langkah kedua ini yang akan memegang kendali atau peran utama adalah Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) bersama beragam Organisasi Pengelola Zakat (OPZ) lainnya, sebut saja Dompet Dhuafa (DD), Rumah Zakat dan pelbagai LAZ lain sebagai society fundraising di bawah garis koordinasi Departmen Agama RI, dengan berpedoman pada Integrated Poverty Mapping yang telah dirancang, agar merata dan tepat sasaran dalam pengumpulan dan pendistribusian dana zakat. Di tahap kedua ini, BAZNAZ dan berbagai OPZ yang tersebar di seluruh Indonesia sebaiknya bersinergi bersama Department Komunikasi dan Informasi (DEPKOMINFO) guna mensosialisasikan dan menyiarkan kewajiban berzakat bagi seluruh umat muslim Indonesia. Serta mendengungkan akan adanya efek domino positif  dalam berzakat, sehingga lahirnya pemberdayaan umat dan pembinaan masyarakat miskin melalui dana zakat. Fungsi ini yang dikenal sebagai fungsi dakwah negara. Ketiga, integrated poverty mapping juga berfungsi sebagai sarana yang memberi gambaran mengenai potensi pemberdayaan wilayah provinsi, kabupaten/kota, desa bahkan dusun. Sehingga tidak terkesan membiarkan masyarakat miskin melangkah sendiri dengan dana zakat tanpa pembinaan atau tuntunan pemberdayaan mandiri yang berkelanjutan. Pada langkah ketiga ini, yang akan memegang peran utama adalah Kementerian Sosial dengan beragam program hebat yang telah dibahas sebelumnya, antara lain: Program Keluarga Harapan (PKH), Perbedayaan Kelompok Usaha Bersama (KUBE), Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), Program Kredit Usaha Rakyat (KUR) dll. Setiap tahun, Kementerian Sosial bersinergi bersama BPS, BAZNAZ, beragam LAZ dan DEPKOMINFO memberikan laporan kepada masyarakat dan negara, dengan langkah: Pertama, Kementerian Sosial menyusun laporan perkembangan usaha dalam program mandiri masyarakat miskin yang diberdayakannya di langkah ketiga. Laporan ini diserahkan langsung kepada presiden dan kemudian digunakan oleh BPS untuk meng-upgrade peningkatan kesejahteraan dan standar kemiskinan yang ada di Indonesia, dengan harapan lahirnya updating data dalam Integrated Poverty Mapping. Kedua, BAZNAZ dan OPZ lainnya bersinergi membuat laporan mengenai jumlah dana yang terkumpul serta pendistribusiannya. Ketiga, DEPKOMINFO menyiarkan kepada masyarakat luas di seluruh Indonesia hasil pendistribusian dana zakat yang mereka keluarkan, serta proses pembinaan dan pemberdayaan masyarakat miskin menuju kemandirian juga kesejahteraan. Penyiaran ini bisa melalui media massa, baik cetak maupun elektronik. Konsep kolaborasi zakat dan integrated poverty mapping tersebut disajikan pada gambar di bawah ini:














Tidak ada komentar:

Posting Komentar