طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ #menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim# اطْلُبُوْا الْعِلْمَ وَلَوْ بِالصِّيْنِ #tuntutlah ilmu walau hingga ke negeri Cina#

Kamis, 24 Oktober 2013

COST PRINCIPLE IN ISLAMIC VIEW

COST PRINCIPLE IN ISLAMIC VIEW: PENERAPAN FAIR VALUE VS HISTORICAL COST DALAM LAPORAN KEUANGAN ISLAM
Rysky Marlinda[1]

            Cost principle yang digunakan dalam penyusunan laporan keuangan di Indonesia dan telah dipelajar penulis; meliputi dua prinsip, yaitu historical cost principle dan fair value (setelah adanya International Financial Reporting Standard yang kemudian disebut IFRS). Historical cost secara menyeluruh digunakan sebelum adanya standar yang konvergensi terhadap IFRS (Puspitaningtyas, 2012). Prinsip historical cost mengakui asset sesuai dengan nilai perolehan ketika pertama kali diakuisisi. Sebagaimana yang dijelaskan dalam PSAK No. 19 (revisi 2009) historical cost mengakui kas atau setara kas yang dibayarkan atau nilai wajar lain yang diserahkan atau memperoleh asset pada saat perolehan atau konstruksi, atau jika dapat diterapkan jumlah yang dapat didistribusikan langsung ke asset pada saat pertama kali diakui sesuai dengan persyaratan tertentu. Prinsip historical cost digunakan dengan alasan memenuhi karakteristik kualitatif primer laporan keuangan, yaitu reliable (Financial Accounting Standard Board selanjutnya disebut FASB, 1980). Karakteristik ini membuat informasi keuangan yang dihasilkan dinilai lebih objektif dan dapat dibuktikan. Sebagaimana yang dijelaskan (Soetjipto:2004:4 dalam Kodrat, tanpa tahun) beberapa alasan penerapan prinsip ini dalam sebuah laporan keuangan adalah pertama, berguna bagi menejer dalam menentukan keputusan karena membutuhkan informasi dari pencatatan masa lalu. Kedua, dapat dipertanggungjawabkan dan lebih objektif sehingga mudah untuk diaudit dan sulit untuk dimanipulasi karena pencatatan disesuaikan dengan transaksi ketika perolehan (akuisisi). Ketiga, nilai historis lebih mudah untuk dibandingkan antar industri maupun antar waktu untuk suatu industri. Namun di sisi lain, prinsip historical cost memiliki banyak kelemahan, salah satunya ialah dengan prinsip ini laporan keuangan disusun menggunakan harga-harga yang timbul dari transaksi (nilai historis) sedangkan sebagai alat ukur di dalam perekonomian digunakan satuan unit moneter. Adanya inflasi menyebabkan satuan unit moneter tidak stabil, sehingga dengan menggunakan prinsip nilai historis, penyusunan laporan keuangan tidak mencerminkan kondisi yang sebenarnya jika terjadi perubahan daya beli (Suwardjono 2005:359). Kelemahan prinsip historical cost lainnya dijelaskan (Muljono, 1995: 48-49), antara lain: 1) Pembebanan biaya yang terlalu kecil dikarenakan biaya dibebankan pada waktu tertentu dengan nilai uang yang telah ditetapkan beberapa periode yang lalu pada saat pencatatan terjadinya biaya tersebut. 2) Nilai aktiva yang dicatat dalam neraca akan lebih rendah apabila dibandingkan dengan perkembangan harga daya beli uang terakhir. 3) Biaya depresiasi dan amortisasi dibebankan terlalu kecil sehingga perhitungan laba menjadi terlalu besar 4) Perusahaan cenderung tidak mempertahankan real capital dan terjadinya kanibalisme terhadap modal sehubungan dengan pembayaran pajak dan pembagian laba yang terlalu besar 5) Menyulitkan manajemen jika harus mendasarkan penyusunan laporan keuangan menggunakan asumsi kestabilan unit moneter. Inilah yang menyebabkan penyusunan laporan keuangan dengan prinsip historical cost tidak menggambarkan kondisi keuangan perusahaan yang sebenarnya. Untuk itulah para ahli tidak henti mencari model yang tepat agar ada perhitungan dan pengukuran yang dapat mencerminkan kondisi keuangan perusahaan yang sebenarnya meski terjadi perubahan harga masa kini dan nanti.
Akuntansi nilai wajar (fair value) dianggap sebagai solusi bagi perhitungan dan penyajian laporan keuangan dengan prinsip historical cost. Hal ini dikarenakan penyajian laporan keuangan dengan prinsip fair value lebih menggambarkan kondisi perusahaan yang sebenarnya dan tidak didasarkan pada harga tetap maupun harga perolehan di masa lalu, sehingga memberi informasi yang lebih bermafaat bagi para pengguna laporan keuangan tersebut (Puspitaningtyas, 2012). Adapun yang dimaksud dengan fair value adalah suatu jumlah yang dapat digunakan sebagai dasar pertukaran asset atau penyelesaian kewajiban antara pihak yang paham (knowledgeable) dan berkeinginan untuk melakukan transaksi wajar. (Ikatan Akuntan Indonesia selanjutnya disebut IAI, 2009 dalam Puspitaningtyas, 2012). Prinsip ini akan membantu perusahaan untuk menyajikan kondisi keuangan perusahaan terutama properti investasi, beberapa asset tidak berwujud, asset keuangan dan asset biologis pada keadaan yang sebenarnya meski nilai harga berubah-ubah sebagaimana dijelaskan dalam International Accounting Standards (IAS) 41. Oleh sebab itu, laporan keuangan yang disajikan dengan prinsip fair value sebenarnya telah memenuhi salah satu karakteristik kualitatif primer laporan keuangan, yaitu relevan (Puspitaningtyas, 2012). Informasi keuangan dianggap relevan jika ia disajikan tepat waktu dan memiliki kapasitas untuk mempengaruhi keputusan para decision makers ketika menentukan keputusan-keputusan ekonomi. Prinsip fair value yang diadopsi dalam sebuah laporan keuangan akan memberi informasi yang dapat digunakan masa kini, memprediksi return di masa datang, dan mengevaluasi akan kesalahan-kesalahan masa lalu sehingga relevan dan lebih bermanfaat bagi para penggunanya. Keuntungan lainnya adalah pos-pos asset dan liabilitas yang disajikan dalam laporan keuangan lebih mewakili keadaan sebenarnya sesuai dengan tanggal laporan keuangan (Cahyati, 2011).
Meskipun istilah fair value telah lama dikenalkan oleh Accounting and Auditing Organization for Islamic Finance Institution (AAOIFI) sejak organisasi tersebut didirikan pada tahun 1990, di Indonesia sendiri masih ada perusahaan-perusahaan yang menggunakan historical cost. Hal tersebut dikarenakan sebagian pengguna menganggap prinsip fair value kurang reliable (andal) karena dapat menimbulkan volatilitas dalam laporan keuangan. Volatilitas dalam laporan keuangan mampu mengurangi prediksi akan laba yang dihasilkan perusahaan. Kecuali jika volatilitas di dalam laporan keuangan menggambarkan kondisi perusahaan yang sebenarnya dan kondisi ekonomi yang sedang terjadi, maka hal tersebut akan mengurangi kemungkinan manajeman laba dalam laporan keuangan (Siregar, 2010, dalam Lestari, tanpa tahun). Standar yang telah konvergensi terhadap IFRS lebih condong menggunakan prinsip nilai wajar yang memang menyajikan informasi lebih fair (Lestari, tanpa tahun). Hal ini yang kemudian diupayakan untuk diberlakukan secara umum kepada perusahaan-perusahaan lainnya.
Penjelasan mengenai kedua prinsip penyajian laporan keuangan di atas, memberikan informasi bahwa baik prinsip historical cost maupun prinsip fair value, keduanya memiliki kelebihan serta kelemahan dalam penyajian laporan keuangan. Bagaimana kemudian Islam memandang kedua prinsip tersebut? Hal ini terkait erat dengan aspek keadilan yang menjadi fokus dalam Islam. Secara ekonomi dan akuntansi, keadilan dalam Islam tercermin salah satunya melalui laporan keuangan. Laporan keuangan konvensional dan laporan keuangan Islam memiliki perbedaan yang urgen, yaitu adanya pengakuan atau laporan akan nilai zakat yang dikeluarkan bagi setiap muslim maupun institusi (perusahaan) tertentu yang hukumnya wajib (Kusumaningrum, 2009). Sehingga laporan keuangan menjadi penting untuk tidak hanya memberi informasi mengenai prospek return di masa datang dan kinerja keuangan perusahaan saja bagi setiap penggunanya, namun juga laporan keuangan dapat menjadi sumber informasi terkait nilai zakat yang dikeluarkan atas objek zakat tertentu. Hal ini selaras dengan pernyataan (Gambling dan Karim 1986, dalam Kusumaningrum, 2009) bahwa motivasi pelaporan keuangan bagi setiap komunitas Islam adalah sebagai penyedia informasi yang relevan dalam perhitungan zakat, di samping faktor-faktor pendorong lainnya, yaitu:
1.      Adanya pengaruh Al-Quran dan As-Sunnah terkait penyusunan dan penggunaan laporan keuangan. Poin ini tercermin dalam Q.S. Al Baqarah ayat 282, sebagaimana potongan ayatnya: “Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bermualah tidak secara tunai untuk  waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya secara benar…”. Serta teladan yang diberikan Rasulullah SAW, yaitu ketika beliau sukses menjalankan perdagangan. Kesuksesan tersebut mustahil terealisasi tanpa pencatatan usaha yang jujur dan benar.
2.      Adanya pelarangan riba dalam Islam ketika bermuamalah (Al-Baqarah ayat 275-281; Al-Imran ayat 130; Ar-Rum 39)
3.      Menggantikan tarnsaksi konvensional yang melibatkan riba
4.      Kepentingan cendekiawan dan ahli hukum Islam
Menentukan objek zakat pada perusahaan yang menerbitkan laporan keuangan tidak hanya dilihat berdasarkan laba yang dihasilkan ataupun besaran kerugian yang diterima perusahaan tersebut, namun zakat dibayarkan hanya atas gorwing capital, yaitu pertumbuhan atas asset tetap dan asset lancar baik yang telah terealisasi maupun yang belum terealisasi. Aset kemudian diklasifikasikan atas capital asset (fixed asset) seperti peralatan dan mesin yang digunakan dalam operasi bisnis utama perusahaan. Serta asset lainnya berupa stock of inventories, yaitu current asset yang dipersiapkan untuk dijual kembali. Zakat dibayarkan atas kas, persediaan, piutang, dan sekuritas dikurangi semua utang terkait item-item tersebut. Semua keuntungan baik yang telah maupun belum terealisasi, wajib dikenai zakat. Namun demikian, untuk kepentingan distribusi, hanya keuntungan atas asset tetap dan asset lancar yang telah direalisasikan yang dapat didistribusikan sebagi deviden (El-Badawai dan Al-Sultan, 1992, dalam Kusumaningrum, 2009).
Dalam menghitung zakat perusahaan, beberapa ahli mendukung penggunaan prisip historical cost ketika menilai aset yang menjadi objek zakat untuk dikeluarkan dan dilaporkan dalam laporan keuangan. Hal ini disebabkan para ahli tersebut berpendapat bahwa, prinsip historical cost yang digunakan dalam menilai aset perusahaan lebih reliable dan verifiable (Kusumaningrum, 2009). Hanya saja, prinsip historical cost yang juga dijastifikasi oleh prinsip kehati-hatian (konservatisme) dinilai oleh banyak ahli tidak relevan untuk tujuan pelaporan akuntansi Islam, terutama zakat. Dikarenakan perhitungan aset dengan prinsip historical cost tidak menggambarkan kondisi sebenarnya aset yang akan menjadi dasar perhitungan zakat yang dikeluarkan oleh perusahaan tersebut pada masa dibayarkannya zakat (Gambling dan Karim, 1986, dalam Kusumaningrum, 2009). Sehingga banyak ahli berpendapat bahwa nilai pasar saat ini (fair value) berdasarkan harga jualnya, tepat digunakan dalam penilaian aset untuk menghitung zakat. Sebab prinsip ini sejalur dengan konsep growing capital, baik yang riil maupun estimasi (El-Badawai dan Al-Sultan, 1992, dalam Kusumaningrum, 2009). Sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “value at current falue (fair value) and then pay zakah (on it)”. Serta dinyatakan pula oleh AAOIFI dalam pernyataan konsep bahwa “zakat dihitung berdasarkan nilai aset yang dimiliki” sehingga nilai aset harus sesuai dengan kondisi yang sebenarnya (fair value). Oleh karena itu, prinsip fair value diyakini lebih mendukung aspek keadialan sosial dalam Islam dibandingkan dengan prinsip historical cost ketika menghitung zakat. Sebab kekayaan dinyatakan secara relevan dan nilai zakat yang dihitung sesuai dengan nilai aset ketika zakat dibayarkan. Berbeda kondisinya jika menggunakan historical cost, nilai aset akan lebih rendah sehingga zakat yang dikeluarkan akan lebih kecil bagi mustahiq (Kusumaningrum, 2009). Namun demikian, beberapa ahli akuntansi Islam juga berpendapat bahwa prinsip fair value menyebabkan terjadinya pendistribusian laba sebelum  adanya pengembalian modal, yang melanggar konsep tandeed principle. Menurut konsep ini, harusnya tidak ada distribusi laba dari transaksi komersial hingga pengembalian modal yang diinvestasikan dalam transaksi. Shihadah (2007) melalui Kusumaningrum (2009) menjelaskan bahwa tandeed principles lebih merupakan konsep riil atau ekonomis daripada sekedar pengembalian modal nominal dan oleh karenanya penggunaan fair value yang harunya digunakan. Mengakui masalah praktik terkait fair value, Baydoun dan Willet (2000)  melalui Kusumaningrum 2009, menyimpulkan bahwa laporan keuangan Islam seharusnya meliputi dua neraca, yaitu neraca yang menggunakan historical cost dan neraca yang menggunakan fair value. Double sistem dalam penilaian aset ini akan membantu perusahaan ketika menjalin kontrak karena menyajikan laporan keuangan dengan menggunakan prinsip historical cost sehingga lebih reliable. Selain itu, perusahaan juga dapat melaksanakan kewajiban sosialnya, misal pembayaran dan pelaporan zakat dengan penyajian laporan keuangan berdasarkan prinsip fair value. Kedua laporan tersebut menjadi bagian yang saling melengkapi dalam pelaporan keuangan Islam.


Referensi:
Al-Quranul Karim.
Cahyati. 2011. Implikasi Tindakan Perataan Laba terhadap Pengambilan Keputusan Oleh Investor. Jurnal Riset Akuntansi dan Komputerisasi Vol 2 No 1 Januari 2011.
FASB. 1980. Qualitative Characteristic of Accounting Information, Statement of Financial. Accounting Concepts No. 2.
Kodrat, David Sukardi. Tanpa Tahun. Studi Banding Penyusunan Laporan Keuangan dengan Metode Historical Cost Accounting dan General Price Level Accounting pada Masa Inflasi. Tersedia dalam http://www.petra.ac.id/~puslit/journals/dir.php?DepartmentID=AKU Paper Universitas Kristen Petra.

Kusumaningrum, Wahyu. 2009. Penilaian Aset dalam Perhitungan Zakat: Historical Cost Vs Current Value. Paper Universitas Gadjah Mada.

Lestari, Yona Octiani. Tanpa Tahun. Konvergensi International Financial Reporting Standards (IFRS) dan Manajemen Laba di Indonesia.  Paper Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.
Muljono, Teguh Pudjo. 1995. Analisa Laporan Keuangan untuk Perbankan, Edisi Revisi 3. Jakarta: Djambatan.
Puspitaningtyas. 2012. How Accounting Information is Useful for Investor?. Proceeding of International Conference 2012. University Industry Business Linkage. Jakarta 350-354.
Puspitaningtyas. 2012. Relevansi Nilai Informasi Akuntansi dan Manfaatnya bagi Investor. Jurnal Ekonomi dan Keuangan. Akreditasi No. 110/DIKTI/Kep/200. ISSN 1411-0393.
Suwardjono, 2005. Teori Akuntansi Perekayasaan Pelaporan Keuangan, Yogyakarta: BPFE.


 











[1] NIM: S.1014.190 Akuntansi Islam (Sistem), STEI TAZKIA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar