COST PRINCIPLE IN ISLAMIC VIEW:
PENERAPAN FAIR VALUE VS HISTORICAL COST DALAM LAPORAN KEUANGAN
ISLAM
Rysky
Marlinda[1]
Cost
principle yang digunakan dalam penyusunan laporan keuangan di Indonesia dan
telah dipelajar penulis; meliputi dua prinsip, yaitu historical cost principle dan
fair value (setelah adanya International
Financial Reporting Standard yang kemudian disebut IFRS). Historical cost secara menyeluruh digunakan
sebelum adanya standar yang konvergensi terhadap IFRS (Puspitaningtyas, 2012).
Prinsip historical cost mengakui
asset sesuai dengan nilai perolehan ketika pertama kali diakuisisi. Sebagaimana
yang dijelaskan dalam PSAK No. 19 (revisi 2009) historical cost mengakui kas atau setara kas yang dibayarkan atau nilai
wajar lain yang diserahkan atau memperoleh asset pada saat perolehan atau
konstruksi, atau jika dapat diterapkan jumlah yang dapat didistribusikan
langsung ke asset pada saat pertama kali diakui sesuai dengan persyaratan
tertentu. Prinsip historical cost
digunakan dengan alasan memenuhi karakteristik kualitatif primer laporan
keuangan, yaitu reliable (Financial Accounting Standard Board selanjutnya
disebut FASB, 1980). Karakteristik
ini membuat informasi keuangan yang dihasilkan dinilai lebih objektif dan dapat
dibuktikan. Sebagaimana yang dijelaskan (Soetjipto:2004:4 dalam Kodrat, tanpa
tahun) beberapa alasan penerapan prinsip ini dalam sebuah laporan keuangan
adalah pertama, berguna bagi menejer dalam menentukan keputusan karena
membutuhkan informasi dari pencatatan masa lalu. Kedua, dapat dipertanggungjawabkan
dan lebih objektif sehingga mudah untuk diaudit dan sulit untuk dimanipulasi
karena pencatatan disesuaikan dengan transaksi ketika perolehan (akuisisi).
Ketiga, nilai historis lebih mudah untuk dibandingkan antar industri maupun
antar waktu untuk suatu industri. Namun di sisi lain, prinsip historical cost memiliki banyak
kelemahan, salah satunya ialah dengan prinsip ini laporan keuangan disusun
menggunakan harga-harga yang timbul dari transaksi (nilai historis) sedangkan
sebagai alat ukur di dalam perekonomian digunakan satuan unit moneter. Adanya
inflasi menyebabkan satuan unit moneter tidak stabil, sehingga dengan
menggunakan prinsip nilai historis, penyusunan laporan keuangan tidak
mencerminkan kondisi yang sebenarnya jika terjadi perubahan daya beli (Suwardjono
2005:359). Kelemahan prinsip historical
cost lainnya dijelaskan (Muljono, 1995: 48-49), antara lain: 1) Pembebanan
biaya yang terlalu kecil dikarenakan biaya dibebankan pada waktu tertentu
dengan nilai uang yang telah ditetapkan beberapa periode yang lalu pada saat
pencatatan terjadinya biaya tersebut. 2) Nilai aktiva yang dicatat dalam neraca
akan lebih rendah apabila dibandingkan dengan perkembangan harga daya beli uang
terakhir. 3) Biaya depresiasi dan amortisasi dibebankan terlalu kecil sehingga
perhitungan laba menjadi terlalu besar 4) Perusahaan cenderung tidak
mempertahankan real capital dan
terjadinya kanibalisme terhadap modal sehubungan dengan pembayaran pajak dan
pembagian laba yang terlalu besar 5) Menyulitkan manajemen jika harus
mendasarkan penyusunan laporan keuangan menggunakan asumsi kestabilan unit
moneter. Inilah yang menyebabkan penyusunan laporan keuangan dengan prinsip historical cost tidak menggambarkan
kondisi keuangan perusahaan yang sebenarnya. Untuk itulah para ahli tidak henti
mencari model yang tepat agar ada perhitungan dan pengukuran yang dapat
mencerminkan kondisi keuangan perusahaan yang sebenarnya meski terjadi
perubahan harga masa kini dan nanti.
Akuntansi nilai wajar (fair value) dianggap sebagai solusi bagi perhitungan dan penyajian
laporan keuangan dengan prinsip historical
cost. Hal ini dikarenakan penyajian laporan keuangan dengan prinsip fair value lebih menggambarkan kondisi
perusahaan yang sebenarnya dan tidak didasarkan pada harga tetap maupun harga
perolehan di masa lalu, sehingga memberi informasi yang lebih bermafaat bagi
para pengguna laporan keuangan tersebut (Puspitaningtyas, 2012). Adapun yang
dimaksud dengan fair value adalah
suatu jumlah yang dapat digunakan sebagai dasar pertukaran asset atau
penyelesaian kewajiban antara pihak yang paham (knowledgeable) dan berkeinginan untuk melakukan transaksi wajar.
(Ikatan Akuntan Indonesia selanjutnya disebut IAI, 2009 dalam Puspitaningtyas,
2012). Prinsip ini akan membantu perusahaan untuk menyajikan kondisi keuangan
perusahaan terutama properti investasi, beberapa asset tidak berwujud, asset
keuangan dan asset biologis pada keadaan yang sebenarnya meski nilai harga
berubah-ubah sebagaimana dijelaskan dalam International
Accounting Standards (IAS) 41. Oleh sebab itu, laporan keuangan yang
disajikan dengan prinsip fair value sebenarnya
telah memenuhi salah satu karakteristik kualitatif primer laporan keuangan,
yaitu relevan (Puspitaningtyas, 2012). Informasi keuangan dianggap relevan jika
ia disajikan tepat waktu dan memiliki kapasitas untuk mempengaruhi keputusan
para decision makers ketika
menentukan keputusan-keputusan ekonomi. Prinsip fair value yang diadopsi dalam sebuah laporan keuangan akan memberi
informasi yang dapat digunakan masa kini, memprediksi return di masa datang, dan mengevaluasi akan kesalahan-kesalahan
masa lalu sehingga relevan dan lebih bermanfaat bagi para penggunanya. Keuntungan
lainnya adalah pos-pos asset dan liabilitas yang disajikan dalam laporan
keuangan lebih mewakili keadaan sebenarnya sesuai dengan tanggal laporan
keuangan (Cahyati, 2011).
Meskipun istilah fair
value telah lama dikenalkan oleh Accounting
and Auditing Organization for Islamic Finance Institution (AAOIFI) sejak
organisasi tersebut didirikan pada tahun 1990, di Indonesia sendiri masih ada
perusahaan-perusahaan yang menggunakan historical
cost. Hal tersebut dikarenakan sebagian pengguna menganggap prinsip fair value kurang reliable (andal) karena dapat menimbulkan volatilitas dalam laporan
keuangan. Volatilitas dalam laporan keuangan mampu mengurangi prediksi akan
laba yang dihasilkan perusahaan. Kecuali jika volatilitas di dalam laporan
keuangan menggambarkan kondisi perusahaan yang sebenarnya dan kondisi ekonomi
yang sedang terjadi, maka hal tersebut akan mengurangi kemungkinan manajeman
laba dalam laporan keuangan (Siregar, 2010, dalam Lestari, tanpa tahun). Standar
yang telah konvergensi terhadap IFRS lebih condong menggunakan prinsip nilai
wajar yang memang menyajikan informasi lebih fair (Lestari, tanpa tahun). Hal ini yang kemudian diupayakan untuk
diberlakukan secara umum kepada perusahaan-perusahaan lainnya.
Penjelasan mengenai kedua prinsip penyajian laporan
keuangan di atas, memberikan informasi bahwa baik prinsip historical cost maupun prinsip fair
value, keduanya memiliki kelebihan serta kelemahan dalam penyajian laporan
keuangan. Bagaimana kemudian Islam memandang kedua prinsip tersebut? Hal ini
terkait erat dengan aspek keadilan yang menjadi fokus dalam Islam. Secara
ekonomi dan akuntansi, keadilan dalam Islam tercermin salah satunya melalui
laporan keuangan. Laporan keuangan konvensional dan laporan keuangan Islam
memiliki perbedaan yang urgen, yaitu adanya pengakuan atau laporan akan nilai
zakat yang dikeluarkan bagi setiap muslim maupun institusi (perusahaan) tertentu
yang hukumnya wajib (Kusumaningrum, 2009). Sehingga laporan keuangan menjadi
penting untuk tidak hanya memberi informasi mengenai prospek return di masa datang dan kinerja
keuangan perusahaan saja bagi setiap penggunanya, namun juga laporan keuangan
dapat menjadi sumber informasi terkait nilai zakat yang dikeluarkan atas objek
zakat tertentu. Hal ini selaras dengan pernyataan (Gambling dan Karim 1986,
dalam Kusumaningrum, 2009) bahwa motivasi pelaporan keuangan bagi setiap
komunitas Islam adalah sebagai penyedia informasi yang relevan dalam
perhitungan zakat, di samping faktor-faktor pendorong lainnya, yaitu:
1.
Adanya pengaruh Al-Quran dan As-Sunnah terkait
penyusunan dan penggunaan laporan keuangan. Poin ini tercermin dalam Q.S. Al
Baqarah ayat 282, sebagaimana potongan ayatnya: “Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bermualah tidak secara tunai
untuk waktu yang ditentukan, hendaklah
kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya
secara benar…”. Serta teladan yang diberikan Rasulullah SAW, yaitu ketika
beliau sukses menjalankan perdagangan. Kesuksesan tersebut mustahil terealisasi
tanpa pencatatan usaha yang jujur dan benar.
2.
Adanya pelarangan riba dalam Islam ketika bermuamalah
(Al-Baqarah ayat 275-281; Al-Imran ayat 130; Ar-Rum 39)
3.
Menggantikan tarnsaksi konvensional yang melibatkan
riba
4.
Kepentingan cendekiawan dan ahli hukum Islam
Menentukan objek zakat pada perusahaan yang
menerbitkan laporan keuangan tidak hanya dilihat berdasarkan laba yang
dihasilkan ataupun besaran kerugian yang diterima perusahaan tersebut, namun
zakat dibayarkan hanya atas gorwing
capital, yaitu pertumbuhan atas asset tetap dan asset lancar baik yang
telah terealisasi maupun yang belum terealisasi. Aset kemudian diklasifikasikan
atas capital asset (fixed asset)
seperti peralatan dan mesin yang digunakan dalam operasi bisnis utama
perusahaan. Serta asset lainnya berupa stock
of inventories, yaitu current asset
yang dipersiapkan untuk dijual kembali. Zakat dibayarkan atas kas, persediaan,
piutang, dan sekuritas dikurangi semua utang terkait item-item tersebut. Semua
keuntungan baik yang telah maupun belum terealisasi, wajib dikenai zakat. Namun
demikian, untuk kepentingan distribusi, hanya keuntungan atas asset tetap dan
asset lancar yang telah direalisasikan yang dapat didistribusikan sebagi deviden (El-Badawai dan Al-Sultan, 1992,
dalam Kusumaningrum, 2009).
Dalam menghitung zakat perusahaan, beberapa ahli
mendukung penggunaan prisip historical
cost ketika menilai aset yang menjadi objek zakat untuk dikeluarkan dan
dilaporkan dalam laporan keuangan. Hal ini disebabkan para ahli tersebut berpendapat
bahwa, prinsip historical cost yang
digunakan dalam menilai aset perusahaan lebih reliable dan verifiable (Kusumaningrum, 2009). Hanya saja,
prinsip historical cost yang juga
dijastifikasi oleh prinsip kehati-hatian (konservatisme) dinilai oleh banyak
ahli tidak relevan untuk tujuan pelaporan akuntansi Islam, terutama zakat.
Dikarenakan perhitungan aset dengan prinsip historical
cost tidak menggambarkan kondisi sebenarnya aset yang akan menjadi dasar
perhitungan zakat yang dikeluarkan oleh perusahaan tersebut pada masa
dibayarkannya zakat (Gambling dan Karim, 1986, dalam Kusumaningrum, 2009).
Sehingga banyak ahli berpendapat bahwa nilai pasar saat ini (fair value) berdasarkan harga jualnya, tepat
digunakan dalam penilaian aset untuk menghitung zakat. Sebab prinsip ini
sejalur dengan konsep growing capital,
baik yang riil maupun estimasi (El-Badawai dan Al-Sultan, 1992, dalam
Kusumaningrum, 2009). Sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “value at current falue (fair value) and then pay zakah (on it)”. Serta
dinyatakan pula oleh AAOIFI dalam pernyataan konsep bahwa “zakat dihitung
berdasarkan nilai aset yang dimiliki” sehingga nilai aset harus sesuai dengan
kondisi yang sebenarnya (fair value).
Oleh karena itu, prinsip fair value diyakini
lebih mendukung aspek keadialan sosial dalam Islam dibandingkan dengan prinsip historical cost ketika menghitung zakat.
Sebab kekayaan dinyatakan secara relevan dan nilai zakat yang dihitung sesuai
dengan nilai aset ketika zakat dibayarkan. Berbeda kondisinya jika menggunakan historical cost, nilai aset akan lebih
rendah sehingga zakat yang dikeluarkan akan lebih kecil bagi mustahiq (Kusumaningrum, 2009). Namun
demikian, beberapa ahli akuntansi Islam juga berpendapat bahwa prinsip fair value menyebabkan terjadinya pendistribusian
laba sebelum adanya pengembalian modal,
yang melanggar konsep tandeed principle.
Menurut konsep ini, harusnya tidak ada distribusi laba dari transaksi komersial
hingga pengembalian modal yang diinvestasikan dalam transaksi. Shihadah (2007)
melalui Kusumaningrum (2009) menjelaskan bahwa tandeed principles lebih merupakan konsep riil atau ekonomis
daripada sekedar pengembalian modal nominal dan oleh karenanya penggunaan fair value yang harunya digunakan. Mengakui
masalah praktik terkait fair value, Baydoun dan Willet (2000) melalui Kusumaningrum 2009, menyimpulkan
bahwa laporan keuangan Islam seharusnya meliputi dua neraca, yaitu neraca yang
menggunakan historical cost dan
neraca yang menggunakan fair value. Double sistem dalam penilaian aset ini
akan membantu perusahaan ketika menjalin kontrak karena menyajikan laporan
keuangan dengan menggunakan prinsip historical
cost sehingga lebih reliable.
Selain itu, perusahaan juga dapat melaksanakan kewajiban sosialnya, misal pembayaran
dan pelaporan zakat dengan penyajian laporan keuangan berdasarkan prinsip fair value. Kedua laporan tersebut
menjadi bagian yang saling melengkapi dalam pelaporan keuangan Islam.
Referensi:
Al-Quranul Karim.
Cahyati.
2011. Implikasi Tindakan Perataan Laba terhadap Pengambilan Keputusan Oleh
Investor. Jurnal Riset Akuntansi dan Komputerisasi Vol 2 No 1 Januari 2011.
FASB.
1980. Qualitative Characteristic of Accounting Information, Statement of
Financial. Accounting Concepts No. 2.
Kodrat,
David Sukardi. Tanpa Tahun. Studi
Banding Penyusunan Laporan Keuangan dengan Metode Historical Cost Accounting
dan General Price Level Accounting pada Masa Inflasi. Tersedia dalam
http://www.petra.ac.id/~puslit/journals/dir.php?DepartmentID=AKU Paper Universitas Kristen Petra.
Kusumaningrum, Wahyu. 2009. Penilaian Aset dalam Perhitungan Zakat: Historical Cost Vs Current Value. Paper Universitas Gadjah Mada.
Lestari,
Yona Octiani. Tanpa Tahun. Konvergensi International Financial Reporting
Standards (IFRS) dan Manajemen Laba di Indonesia.
Paper Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.
Muljono,
Teguh Pudjo. 1995. Analisa Laporan Keuangan untuk Perbankan, Edisi
Revisi 3. Jakarta: Djambatan.
Puspitaningtyas. 2012. How Accounting Information is Useful for Investor?. Proceeding of
International Conference 2012. University Industry Business Linkage. Jakarta
350-354.
Puspitaningtyas. 2012. Relevansi Nilai Informasi Akuntansi dan Manfaatnya bagi Investor. Jurnal Ekonomi dan Keuangan. Akreditasi No.
110/DIKTI/Kep/200. ISSN 1411-0393.
Suwardjono,
2005. Teori Akuntansi Perekayasaan Pelaporan Keuangan, Yogyakarta: BPFE.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar