طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ #menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim# اطْلُبُوْا الْعِلْمَ وَلَوْ بِالصِّيْنِ #tuntutlah ilmu walau hingga ke negeri Cina#

Kamis, 10 Oktober 2013

CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY & BMT

MENGGAAS KONSEP SUKUK CSR SEBAGAI SOLUSI PERMODALAN BAITUL MAAL WA TAMWIL (BMT)
Muhammad Idris
Sekolah Tinggi Ekonomi Islam (STEI) Tazkia
Rysky Marlinda
Sekolah Tinggi Ekonomi Islam (STEI) Tazkia

Abstract
Weak capital system in BMT has become one of the main problems to be solved. This is due to sources of capital in BMT is generally dominated by the 'expensive' funds so the impact on high-cost financing. That is why it takes the solution of potential capital in the form of pure social funds, one of which is a fund of Corporate Social Responsibility (CSR). CSR fund in Indonesia has huge potential but optimization of CSR funding is still difficult to be realized by Islamic banking. So that, through qualitative method in this paper, the authors offer an idea of sukuk CSR with the main objective of this concept is to optimize the absorption and utilization of CSR funds through Islamic banks. The type of sukuk CSR is social sukuk which is issued by backing up of CSR funds recognition that will be received by Islamic bank in specified number and time. This sukuk is categorized as long term sukuk which gives a fixed rate of return. The issuer of sukuk CSR is company funder while Islamic banks being the agent of this sukuk (trustee, SPV). The investors of sukuk CSR are: company funder, syariah banks, and third parties. The proceeds of sukuk CSR issuance will be allocated to the portion of 70% for BMT and 30% for secure instrument that provides fixed income.

Keyword: Sukuk CSR, Capital System, BMT, Islamic Bank, Company

Abstrak
Lemahnya sistem permodalan di BMT menjadi  salah satu  masalah utama yang harus dipecahkan. Sumber permodalan di BMT umumnya di dominasi oleh dana-dana ‘mahal’ sehingga berimbas pada pembiayaan yang high cost. Oleh sebab itulah dibutuhkan solusi permodalan berupa dana pure sosial yang potensial, salah satunya adalah dana Corporate Social Responsibility (CSR).  Dana CSR di Indonesia memiliki potensi yang sangat besar namun optimalisasi dana CSR  sampai sekarang masih sulit direalisasikan oleh perbankan syariah. Dalam tulisan ini  penulis menawarkan sebuah gagasan berupa sukuk CSR dengan tujuan  utama dari konsep ini adalah  optimalisasi penyerapan dan penggunaan dana CSR perusahaan melalui bank syariah. Sukuk CSR ini adalah jenis sukuk sosial yang diterbitkan atas back up pengakuan dana sosial (CSR) yang akan diterima oleh bank syariah dengan jumlah dan jangka waktu yang sudah ditentukan. Sukuk ini termasuk sukuk jangka panjang dengan tingkat imbal hasil yang tetap. Dalam sukuk ini yang bertindak sebagai issuer adalah perusahaan sedangkan perbankan syariah bertindak sebagai agen (trustee,SPV). Investor dari sukuk ini antara lain, perusahaan itu sendiri, bank syariah, dan pihak ketiga. Adapun dana yang dimana dana ini digunakan untuk diperoleh dari penerbitan sukuk ini akan dibagi dengan porsi 70% untuk BMT dan 30%  untuk instrumen aman yang memberikan fix income.

Kata Kunci : Sukuk CSR, permodalan, BMT, Bank Syariah, Perusahaan

1.      Pendahuluan
Baitul Maal Wa Tamwil (BMT) adalah salah satu lembaga keuangan mikro syariah (LKMS) yang berkembang pesat di Indonesia. Secara kuantitas tercatat ada 2.938 unit BMT sejak pertama kali berdiri pada tahun 1992 hingga tahun 2000 dengan persebaran hampir merata di seluruh provinsi di Indonesia[1]. Tak hanya sampai di sana, BMT terus tumbuh sebesar 2,7% sehingga jumlahnya menjadi 3.017 unit pada tahun 2001. Jumlah tersebut masih sangat kecil, mengingat pada tahun 1998 pertumbuhan BMT di Indonesia didukung pemerintah melalui program perancangan 10.000 BMT nasional[2]. Tak sedikit BMT yang tenggelam dan bubar disebabkan oleh beberapa hal antara lain pengelolaan manajemen yang buruk, serta minimnya sumber permodalan[3].
Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 yang membuka kesempatan kemitraan BMT dan perbankan syariah adalah salah satu media menuju solusi sumber permodalan BMT. Hal ini dikarenakan perbankan syariah dianggap memiliki kekuatan status hukum dan finansial yang lebih besar jika dibandingkan BMT itu sendiri. Akan tetapi, hal ini tidak serta merta menjadi sebuah solusi terbaik untuk membawa BMT  terus tumbuh dan berkembang, namun lebih daripada itu inovasi dalam penyelesaian masalah permodalan BMT harus tetap menjadi isu yang harus dipecahkan. Salah satunya adalah melalui optimalisasi sumber dana ‘non mahal’ yang berasal dari bank syariah seperti corporate social responsibility (CSR). Potensi dana CSR yang berhasil dihimpun oleh perbankan syariah cukup potensial. Pada 2012, bank syariah mampu mengumpulkan dana sosial yang berasal dari CSR perusahaan sebesar Rp42 Milyar dengan growth yang terus meningkat[4]. Akan tetapi selama ini realisasi dana CSR yang terhimpun di perbankan syariah masih kecil dibandingkan dengan potensi dana CSR yang ada. Penulis merasa sangat penting untuk mengoptimalisasi penyerapan dana CSR oleh perbankan syariah sehingga nantinya dapat menjadi salah satu sumber permodalan yang tepat bagi BMT. Dengan demikian dalam tulisan ini penulis akan mencoba menawarkan sebuah ide inovatif yang diharapkan dapat berperan sebagai solusi atas permodalan BMT melalui optimalisasi dana CSR oleh perbankan syariah.
Dengan demikian tujuan dari penulisan karya tulis ini, antara lain:
  1. Menganalisis permodalan BMT di Indonesia.
  2. Mengetahui dampak permasalahan permodalan terhadap perkembangan BMT.
  3. Menjelaskan potensi dana CSR sebagai sumber permodalan BMT di Indonesia.
  4. Menjelaskan dan menawarkan solusi berupa konsep sukuk CSR sehingga mampu menjadi solusi bagi permasalahan permodalan BMT di Indonesia.

2.      Metodologi

2.1 Jenis Penulisan

Tulisan ini menggunakan metode penulisan kualitatif, yaitu prosedur penulisan yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis melalui kajian kepustakaan, mencari sumber-sumber dan referensi dari media cetak dan internet. Penulisan kualitatif juga menggunakan data yang dinyatakan secara verbal dan kualifikasinya bersifat teoritis.

2.2 Jenis Data

Data dalam penulisan ini merupakan jenis data sekunder. Data sekunder ini didapatkan dari artikel, literatur kepustakaan, media massa (internet) mengenai konsep CSR, sukuk dan perkembangan BMT di Indonesia terkait permasalahan yang diangkat di dalam karya tulis.

2.3 Metode Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang diperlukan pada penulisan ini, penulis menggunakan metode Studi Pustaka. Metode ini dilakukan dengan cara mempelajari beberapa literatur yang berhubungan dengan masalah yang dikaji.

2.4 Metode Analisis Data

Penulisan karya tulis ini menggunakan teknik analisis data deskriptif kualitatif. Penelitian deskriptif mempunyai sifat-sifat tertentu, yaitu bahwa penelitian itu: 1) memusatkan diri pada pemecahan masalah-masalah yang ada pada masa sekarang, pada masalah-masalah yang aktual, 2) data yang dikumpulkan mula-mula disusun, dijelaskan dan kemudian dianalisis, (Surakhmad, 1994) dalam (Wijaya, 2003)[5]. Melalui metode ini, penulis mencoba memberikan sebuah ide atau gagasan terkait solusi alternatif masalah permodalan BMT melalui penerbitan sukuk CSR perusahaan.

3.      Hasil dan Pembahasan
3.1 Problematika Permodalan BMT di Indonesia
BMT sebagai lembaga keuangan mikro yang tak hanya berorientasi bisnis namun juga sosial[6] menjadi pembeda utama terhadap lembaga keuangan lain, semisal bank. Sehingga sasaran pembiayaan atau anggota BMT meliputi masyarakat dengan akses yang minim akan lembaga keuangan serta risiko usaha yang lebih dominan. Di Indonesia, Anggota atau nasabah BMT yang semakin meningkat hingga menembus angka 1.000 anggota di tiap-tiap BMT pada 2012 (Bank Indonesia, 2012) menjadi pemicu utama meningkatnya pembiayaan yang disalurkan oleh BMT di seluruh Indonesia. Terlebih lagi, minimnya asset jaminan dari anggota dalam memperoleh pembiayaan menjadi salah satu risiko terbuka yang harus diwaspadai pihak pengelola BMT itu sendiri terkait keterbatasan modal BMT dalam penyaluran kepada nasabahnya. Hal ini dikarenakan sumber utama atau dana tetap pemodalan BMT pada awal terbentuknya hanya berasal dari sumbangan pokok yang diberikan oleh pendiri BMT dengan nominal minimal sebesar Rp1 juta masing-masing anggota[7], dimana pemodalan tersebut dinilai terbatas untuk mendanai program pembiayaan usaha mikro masyarakat. Di sisi lain, besaran dana atau modal BMT yang diberikan kepada anggota untuk diputar kembali dalam bentuk usaha yang produktif, memiliki kemungkinan besar mengalami kesulitan pengembalian. Ketimpangan akan modal dan jumlah pembiayaan diyakini akan menjadi sandungan akan fungsi BMT sebagai institusi intermediasi keuangan mikro yang praktis dan diminati masyarakat lapisan bawah. Terlebih lagi BMT tidak memiliki lembaga penjamin likuiditas semisal Bank Indonesia untuk lembaga perbankan. Sehingga salah satu solusi utama dalam menjaga eksistensi fungsi intermediasi BMT tersebut adalah dengan memperkuat sumber permodalan dan pengelolaannya.
3.1.1 Sumber Modal BMT
Pendirian BMT harus memenuhi syarat-syarat tertentu, diantaranya terkait modal. Modal awal BMT berasal dari modal para pendiri. Namun sejak awal, anggota pendiri BMT harus terdiri dari minimal 20 orang yang secara riil memberikan peran partisipasinya. Masyarakat yang bersedia menjadi anggota BMT harus menyetorkan simpanan pokok sebesar Rp1 juta /Anggota. Dana ini digunakan sebagai rangsangan operasional. Setelah berjalan, pengelola BMT akan mencari pemodal-pemodal lain yang potensial untuk memberikan suntikan modal terhadap BMT[8]
Salah satu solusi permasalahan sumber permodalan pada BMT ialah melalui program kemitraan[9]. BMT yang secara akad (perjanjian) pembiayaan kental akan unsur syariah dapat menjalin kerjasama kemitraan dengan institusi lain yang sejenis namun lebih kuat secara hukum dan financial power, semisal Bank Umum Syariah (BUS) dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS)[10]. Sebagaimana UU No. 21 Tahun 2008 mengenai perbankan syariah bahwa Bank syariah dan Unit Usaha Syariah dapat menjalankan fungsi sosial melalui kerjasama linkage program dengan berbagai lembaga sosial dan BMT. Adapun perkembangan dan potensi dana yang disalurkan perbankan syariah pada program linkage ditunjukan pada diagram di bawah ini:
Diagram 3.1: Penyaluran Dana Linkage Perbankan Syariah
Sumber: Bank Indonesia, Oktober 2012 dalam outlook perbankan syariah 2013
Pada tahun 2012 laporan akan penyaluran dana linkage program BMT yang berasal dari 8 Bank Umum Syariah dan 4 Unit Usaha Syariah menunjukan  angka yang begitu fantastis sebesar Rp439,2 milyar.[11] Dana linkage ini terus tumbuh dalam empat tahun terakhir. Namun, jika dibandingkan dengan pertumbuhan dana pure social seperti CSR dan ZISWAF maka kedua dana ini masih begitu kecil dibanding dana linkage itu sendiri. Hal ini kemudian berimplikasi pada penggunaan dana berbasis linkage yang cukup tinggi untuk memberikan permodalan kepada BMT. Sedangkan tak banyak BMT yang secara langsung tertarik kepada dana linkage sebab mengkhawatirkan tingkat pengembalian yang memberatkan. Sekali lagi, bahwa hal inilah yang menjadi salah satu masalah dalam BMT yakni sumber permodalan yang berasal dari dana linkage dinilai sebagai dana ‘mahal’ karena berimplikasi pada cost financing BMT yang mahal pula. Oleh karena itulah diperlukan suatu inovasi baru untuk mengoptimalisasikan dana murni sosial sehingga BMT dapat menjalankan fungsi sosialnya secara optimal.
















Tabel 3.1: Analisis Permodalan BMT di Indonesia
Sumber: diolah penulis[12]
3.2    Potensi Dana CSR di Indonesia
Pasal 74 Undang-Undang Perseroan Terbatas No. 40 Tahun 2007 mengenai pedoman perusahaan dalam menunaikan kewajiban sosial kepada masyarakat menandai lahirnya babak baru pengaturan penyaluran dana kepedulian social perusahaan atau yang dikenal dengan istilah corporate social responsibility (CSR) di Indonesia. Standar atau batas penyaluran dana CSR di Indonesia sebenarnya begitu potensial, sebesar 2% dari laba bersih perusahaan setiap tahun, baik publik maupun privat untuk disisihkan menjadi hak lingkungan atau masyarakat sekitar yang secara ekonomi dan sosial membutuhkan.
Sebagaimana tujuan penyaluran dana CSR perusahaan, bahwa optimalisasi peningkatan kualitas hidup masyarakat menjadi salah satu tujuan utama di samping menjadi media pengikat hubungan baik dan citra perusahaan di mata masyarakat. Hanya saja hingga saat ini, dana CSR yang disalurkan perusahaan kepada masyarakat belum berdampak nyata. Meski di tahun 2011, dana CSR nasional yang disalurkan perusahaan mencapai Rp14 Triliun, belum mampu memberikan solusi peningkatan kualitas hidup masyarakat sekitar[13]. Hal ini disebabkan sistem penyaluran dana CSR yang diberikan perusahaan kepada masyarakat masih menggunakan sistem tradisional, yaitu cenderung menyalurkan dana tersebut dalam bentuk filantropi dan charity semata. Hal ini disajikan pada tabel (sampel) di bawah ini:
Tabel 3.2: Penyaluran Dana CSR Perusahaan
Sumber: Ministry of State Secretariat of the Republic of Indonesia, 2012[14]
Perusahaan dengan langkah penyaluran tradisonal (filantropi & charity) saja biasanya menyelenggarakan secara independen (non-mitra) pengelolaan dana CSR-nya. Sehingga penyaluran CSR dengan metode ini dinilai tak akan optimal. Metode pengelolaan dana CSR modern kini dapat ditempuh melalui jalur kemitraan dengan konsep pemberdayaan yang secara berkelanjutan membawa dampak signifikan terhadap masyarakat. Berikut pola penyaluran dana CSR modern:          
Gambar 3.1: Metode Penyaluran Dana CSR Perusahaan
Sumber: diolah penulis[15]
Kelemahan pola filantropi dan charity dalam penyaluran dana CSR, meliputi: a) bersifat sementara dan langsung habis (bahan makanan, uang tunai), b) tidak fokus pada peningkatan kualitas hidup dan kemakmuran (masyarakat hanya sebagi objek kepedulian, bukan subjek), c) pencitraan perusahaan lebih kental dibanding dengan dampak nyata yang ditimbulkan.
Disamping itu, metode pembayaran CSR per-tahun yang selama ini dijalankan perusahaan pun sebenarnya menjadi sumber kelemahan jika tidak dikelola dengan efektif dan efisien. Dikhawatirkan dana CSR akan habis untuk biaya operasional dan inefisiensi, sehingga dampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat menjadi kurang optimal. Dengan demikian sistem pengumpulan hingga distribusi dana CSR harus dilakukan melalui mekanisme yang lebih efektif dan memberi manfaat besar bagi kemaslahatan masyarakat.
3.2.1        Dana CSR yang Dihimpun Perbankan Syariah
Potensi penyaluran dana CSR yang cukup besar pada bank syariah, menjadikan dana tersebut sebagai sumber permodalan yang fantastis jika disalurkan pada sasaran yang tepat. Potensi tersebut dapat dibuktikan melalui program kemitraan antara bank syariah dengan perusahaan donatur CSR. Perbankan syariah mampu menghimpun dana CSR yang cukup besar pada tahun 2012, yaitu sebesar Rp42 Milyar[16].
Diagram 3.2: Pertumbuhan Dana CSR yang Disalurkan Melalui Perbankan Syariah
Sumber: Bank Indonesia, Oktober 2012 dalam outlook perbankan syariah 2013
Grafik di atas memperlihatkan bahwa rata-rata pertumbuhan dana sosial di bank syariah cukup tinggi, yakni hampir 100%. Hal ini pula yang kemudian meningkatkan penyaluran dana sosial oleh bank syariah kepada BMT, baik melalui program linkage ataupun dana murni sosial. Akan tetapi, harus diakui bahwa penyaluran dana ini kepada sebagian besar masyarakat masih menggunakan metode tradisional, yaitu melalui filantropi dan charity yang praktis dan sifatnya penyaluran sukarela, sehingga optimalisasi dan efektifitas penyaluran dana CSR kepada masyarakat oleh bank syariah masih perlu ditingkatkan, agar memberi dampak nyata dalam meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat jangka panjang.
3.3    Karakteristik dan Pengembangan Sukuk
Sebagaimana instrumen keuangan lainnya, sukuk memiliki keunggulan jika dibandingkan dengan surat utang biasa. Hal tersebut menyebabkan sukuk menjadi begitu menarik bagi investor-investor dunia maupun lokal. Keunggulan sukuk terletak pada strukturnya yang berdasarkan aset berwujud, yang berarti bahwa nilai dari sukuk akan selalu terkait dengan nilai dari aset yang mendasarinya.[17] Dengan konsep seperti ini, diharapkan pendanaan melalui sukuk dilakukan berdasarkan nilai aset yang menjadi dasar (underlying) penerbitan, sehingga akan memperkecil kemungkinan terjadinya fasilitas pendanaan yang melebihi nilai dari aset. Ciri khas lain sukuk adalah pemegang sukuk berhak atas bagian pendapatan yang dihasilkan dari aset sukuk di samping hak dari penjualan aset sukuk, dan dalam hal sertifikat tersebut mencerminkan suatu kewajiban kepada pemegangnya, maka sukuk tersebut tidak dapat diperjualbelikan pada pasar sekunder, sehingga akan menjadi instrumen jangka panjang yang dimiliki hingga jatuh tempo atau dijual pada nilai nominal. Sukuk secara prinsip mirip dengan obligasi konvensional, hanya saja yang membedakan adalah tingkat bagi hasil (imbalan), transaksi pendukung (underlying asset), serta akad yang mendasarinya. Berikut tabel yang menyajikan perbandingan sukuk dan obligasi:
Tabel 3.3: Perbandingan sukuk dan obligasi[18]
Umat muslim abad pertengahan telah menggunakan sukuk sebagai dokumen yang menunjukan kewajiban finansial yang timbul dari usaha perdagangan dan aktivitas komersil lainnya. Namun ilmuan barat banyak yang berpendapat bahwa sukuk (sakk) adalah salah satu akar kata chaque yang juga kini lazim digunakan dalam aktivitas perbankan modern. Dalam perkembangannya, The Islamic Jurisprudence council (IJC) mengeluarkan fatwa yang mendukung perkembangan sukuk. Hal ini kemudian mendorong lahirnya sukuk global dalam pasar internasional. Di awali dengan peluncuran salam sukuk berjangka waktu 91 hari yang diterbitkan Bahrain Monetary Agency (BMA) sebagai otoritas moneter Bahrain pada 2001 senilai 25 juta dollar AS. Kemudian hadir pula Global Corporate Sukuk yang diterbitkan pemerintah Malaysia di pasar internasional. [19]
            Beragam jenis sukuk kontemporer yang kini dikenal di Indonesia bahkan tak sedikit yang telah diterbitkan misalnya, sukuk korporasi yang diterbitkan oleh pelbagai perusahaan di Indonesia baik perusahaan plat merah amaupun perusahaan swasta, semisal: PT Indosat, PT PLN, PT Bank Muamalat Indonesia, PT Berlian Laju Tanker dan masih banyak lagi. Perusahaan-perusahaan tersebut telah memprakarsai penerbitan sukuk di Indonesia sebelum pemerintah memberlakukan undang-undang sukuk negara[20]. Selain itu, pemerintah juga memperkenalkan sukuk ritel, yang dapat dibeli oleh orang per orangan yang memiliki keinginan  untuk berinvestasi sukuk. Sukuk ritel digunakan pemerintah untuk beragam tujuan baik pembiayaan proyek pemerintah maupun tujuan donasi, yang pada tahun 2013 ini dikenal dengan nama SR-005 melalui penjaminan fatwa bahwa sukuk ini selaras dengan prinsip syariah. Tak hanya sukuk ritel, metode pengembangan sukuk terus mengalami pembaharuan, hingga dikenal pula istilah Sukuk Dana Haji Indonesia (SDHI) dimana dana yang ditempatkan dalam sukuk tersebut merupakan dana abadi umat yang berasal dari dana haji serta dikelola oleh Kementerian Agama melalui metode penempatan langsung[21]. Mengingat sukuk yang begitu fleksibel selaras dengan perkembangan zaman, menjadikannya sebagai salah satu instrumen yang menjanjikan, baik dari sisi pembiayaan ataupun sebagai sumber penghimpun dana.
3.4 Definisi Sukuk CSR
Sukuk CSR merupakan penerbitan sukuk yang didasarkan pada dana CSR. Sukuk ini diterbitkan oleh bank syariah sebagai agen penerbit sukuk yang telah diberikan wewenang oleh perusahaan pemberi CSR. Dengan kata lain, sukuk CSR merupakan sukuk yang diterbitkan atas dasar (based) pengakuan atas dana CSR yang telah ditentukan nominal dan jangka waktunya. Hal ini sesuai dengan konsep dasar sukuk bahwa Sukuk dapat dikeluarkan untuk aset yang sudah ada maupun yang akan ada di waktu yang akan datang[22].
3.5 Tujuan Penerbitan Sukuk CSR
Sukuk CSR merupakan sebuah gagasan untuk mengatasi masalah permodalan BMT di Indonesia. Adapun tujuan utama dari penerbitan sukuk CSR ini adalah untuk mengoptimalkan potensi dana CSR yang dapat diserap oleh bank syariah yang kemudian akan menyalurkan dana ini kepada BMT.
3.6 Konsep Sukuk CSR
Konsep sukuk CSR ini adalah sukuk yang diterbitkan atas dasar sosial. Bisnis model dari sukuk ini adalah sukuk sosial, namun tidak menutup kemungkinan untuk membuka atau menawarkan peluang bisnis di dalamnya. Akad yang digunakan dalam sukuk ini pada dasarnya adalah qard, dimana investor bertindak sebagai pihak pemberi pinjaman sedangkan perusahaan (issuer) sebagai pihak yang menerima pinjaman. Di sisi lain bank syariah bertindak sebagai pihak penerbit sukuk (trustee, SPV) sekaligus pihak yang mengelola dana sukuk (wakil).
3.6 Jenis Sukuk CSR
Sukuk ini termasuk jenis sukuk Collateralize mortgage atau obligasi syariah yang dijamin pool of motgage atau portofolio mortgage-backed securities. Dengan kata lain sukuk ini diterbitkan atas dasar pengakuan (acrual) dana CSR yang akan diterima bank syariah (trustee) dengan nominal dan jangka waktu yang sudah ditentukan.
 3.6.1 Jenis Imbal Hasil
Jenis imbal hasil atau kupon sukuk CSR ini adalah Fixed rate, obligasi yang memberikan tingkat kupon tetap sejak diterbitkan hingga jatuh tempo. Akan tetapi tingkat imbal hasil yang ditawarkan oleh sukuk CSR ini tidak kompetitif karena sukuk ini sukuk berbasis sosial. Adapun tingkat imbal hasil (kupon) berkisar pada tingkat fix rate yang didapat dari penempatan 30% dana investasi yang berasal dari dana sukuk ini.
3.6.2 Tipe Call Feature
Sukuk ini termasuk jenis Noncollable bond, setelah obligasi diterbitkan dan terjual, tidak dapat dibeli/ditarik kembali oleh penerbitnya sebelum obligasi tersebut jatuh tempo. Sehingga sukuk ini termasuk tipe sukuk jangka panjang yang harus dipegang oleh investor hingga jangka waktu yang sudah ditentukan.
3.7 Penerbit (Isseuer) Sukuk CSR
Pihak yang menerbitkan sukuk (issuer) ini adalah perusahaan-perusahaan donatur CSR
3.8 Agen Sukuk CSR (trustee, SPV)
Adapun agen sukuk (trustee) dalam penerbitan sukuk CSR ini adalah bank syariah yang ditunjuk atau dipercaya oleh perusahaan-perusahaan donatur untuk mengelola dana CSR mereka.
3.9 Investor Sukuk CSR
Ada beberapa pihak yang dapat bertindak sebagai investor dalam skema sukuk CSR ini, antara lain:        
3.9.1 Perusahaan Donatur CSR Sebagai Investor
Perusahaan yang bertindak sebagai donatur (pemberi dana CSR) dapat berperan sekaligus sebagai investor dalam sukuk ini, berikut skenario perusahaan donatur yang berperan ganda sebagai insvestor dalam sukuk CSR:
Gambar 3.2: Skema Perusahaan Sebagai Investor

 
Description: peru sa inves

Sumber: diolah penulis

Keterangan:
Perusahaan menyepakati akan menyalurkan dana CSR melalui bank syariah
1.      Bank syariah membuat pengakuan (acrual) dalam bentuk  fortopolio, bahwa ia akan  menerima dana CSR melalui perusahaan. Dari sini kemudian bank syariah akan mengkalkulasi berapa dana CSR yang akan diterima dalam jangka waktu tertentu. Misalnya Rp100 juta per tahun selama 10 tahun, maka bank syariah akan menerbitkan sukuk sebesar Rp1 M dalam tenor 10 tahun.
2a. Jika perusahaan memiliki peran rangkap, baik sebagai issuer sekaligus sebagai investor, maka perusahaan harus mengeluarkan dana di muka yang cukup besar, yakni Rp1 M (sesuai ilustrasi) sehingga hal ini dikhawatirkan akan memberatkan likuiditas perusahaan. Oleh karena itulah, bank syariah dapat memberikan pembiayaan atau pinjaman berupa dana talangan CSR kepada perusahaan agar perusahaan bisa membeli sukuk proyek yang diterbitkan. Akad yang digunakan dalam dana talangan ini adalah akad qard sehingga dana yang dipinjamkan dengan yang dikembalikan jumlahnya sama. Pengembalian dana qard ini akan dilakukan setiap tahunnya pada saat perusahaan mencairkan dana CSR tersebut.
Setelah perusahaan mendapatkan dana qard dari bank syariah, maka perusahaan sudah memiliki likuiditas yang cukup sehingga perusahaan sudah sanggup bertindak sebagai investor yang akan membeli sukuk CSR.
2.      Sukuk CSR akan dibeli oleh perusahaan (investor) sesuai dengan harga dan jangka waktu yang berlaku.
3.      Dana cash sebesar Rp1 M yang digunakan untuk membeli sukuk tersebut masuk ke bank syariah (proceed) sebagai agen penerbit sukuk yang sekaligus sebagai wakil yang ditunjuk oleh perusahaan untuk menerbitkan sukuk sekaligus mengelola dana CSR perusahaan.
4.      Perusahaan sebagai investor akan menerima pembayaran sukuk sebesar Rp1 M setelah masa jatuh tempo (maturity) selama 10 tahun. Adapun dana ini berasal dari dana pengembalian qard tiap tahun yang diterima oleh bank syariah. Dimana dana tersebut diakumulasi selama 10 tahun oleh bank syariah sehingga mencukupi untuk membeli kembali sukuk yang dipegang oleh investor (perusahaan).
Catatan tambahan:
1)      Dana cash  sebesar Rp1 M sudah masuk di muka (pada awal pembelian sukuk) kepada bank syariah sehingga dana tersebut sudah dikelola oleh bank syariah.
2)      Keuntungan : Perusahaan sebagai investor dapat menikmati keuntungan dari imbal hasil kupon yang diterima tiap tahun. Disamping itu, keuntungan juga diperoleh dari hasil pengelolaan dana (return) CSR yang dikelola dengan prinsip bisnis (lihat gambar 3.5 dan gambar 3.6)
3)      Risiko : dalam hal ini pihak yang paling besar menanggung resiko adalah bank syariah karena bank syariah memberikan pinjaman qard kepada perusahaan. Ada 2 risiko yang akan ditanggung oleh bank syariah 1) risiko gagal bayar 2) risiko pengembalian non mark up. Oleh karena itu bank syariah hanya bisa memberikan alternatif untuk mengantisipasi risiko gagal bayar saja karena akad pembiayaan ini menggunakan qard maka dalam pengembalian tidak ada kelebihan. Untuk menanggulangi risiko gagal bayar ini bank syariah mencairkan dana qard ini atas perusahaan ‘renteng’ artinya beberapa perusahaan tergabung dan bersepakat saling ‘renteng’ sebagai donatur dana CSR. Sistem seperti ini dapat mengurangi risiko gagal bayar karena satu perusahaan bertanggung jawab atas perusahaan lainnya jika terjadi gagal bayar.
3.9.2 Bank Syariah Sebagai Investor
Bank syariah selain sebagai agen penerbit sukuk, di sisi lain bank syariah dapat juga bertindak sebagai investor sukuk, adapun skema dan mekanisme jika bank syariah ingin menjadi investor dalam sukuk CSR tersebut seperti berikut ini:
Description: model bank inves true
Gambar 3.3: Skema Bank Syariah Sebagai investor
Sumber: diolah penulis
Keterangan:
Untuk No. 1,2,3,4,5 skema sama dengan skema di atas (perusahaan sebagai issuer sekaligus sebagai investor).
2a : Pada tahap ini selain sebagai agen sukuk, bank syariah juga bertindak sebagai investor yang membeli sukuk. Ketika bank syariah membeli sukuk tersebut, dana sukuk cash akan masuk ke bank syariah yang kemudian akan dikelola sesuai ketentuan yang sudah ada.
Catatan:
1)      Bank syariah dalam hal ini selain sebagai agen atau wakil perusahaan dalam penerbitan sukuk, dia juga bertindak sebagai investor. Di saat bank syariah sebagai investor, maka ketika jatuh tempo (maturity), maka bank syariah akan mendapatkan pelunasan (pembelian kembali) sukuk senilai Rp1 M tersebut yang dibayarkan oleh penerbit (bank syariah itu sendiri). Adapun sumber dana yang digunakan untuk pembelian kembali ini adalah dana yang berasal dari dana CSR perusahaan yang dicairkan tiap tahunnya.
2)      Keuntungan: Keuntungan bank syariah (sebagai investor) didapat dari tingkat imbal hasil kupon tiap tahunnya (lihat diagram 4.4). Selain itu, keuntungan juga diperoleh dari pengelolaan dana CSR (revenue).
3)      Risiko: penanggung risiko terbesar adalah bank syariah karena adanya kemungkinan gagal bayar, namun solusinya adalah sistem ‘renteng’. Bank syariah sebagai investor tentunya mengharapkan adanya keuntungan lain selain dari tingkat imbal hasil kupon dan surplus investasi dari instrumen fix income (30% dari nilai sukuk) yang berasal dari issuer. Dalam hal ini opsi yang dapat diberikan oleh issuer adalah investor (bank syariah) mendapat 50% dari 30% (atau sebesar 15%) yang berasal dari penempatan dana CSR pada instrumen fix income. Sehingga diakhir periode (maturity) opsi yang dapat dipilih oleh investor adalah apakah akan melikuidasi 50% kepemilikan tersebut atau menjadikannya sebagai aset produktif untuk permodalan pembiayaan microfinance.
3.9.3 Pihak Ketiga sebagai Investor
Pihak ketiga yang  dimaksud dalam hal ini adalah pihak lain di luar bank dan perusahaan, pihak-pihak ini dapat berupa pemerintah (kementerian), pihak asing, bank lain selain agen sukuk, atau perusahaan swasta lainnya. Adapun skema dan mekanisme jika pihak ketiga sebagai investor sebagai berikut:
Description: model bank inves
Gambar 3.4: Pihak Ketiga Sebagi Investor
Sumber: diolah penulis
Keterangan:
No. 1,2,3, 4 dan 5 sama seperti skema-skema sebelumnya di atas
3.10 Skenario Penanggung Resiko (Guarantor)
Permasalahan yang perlu diperhatikan dalam penerbitan sukuk CSR ini adalah aspek risiko. Risiko utama yang harus diantisipasi adalah 1) jika perusahaan collpas 2) jika perusahaan mengalami penurunan kinerja yang signifikan sehingga berdampak pada penurunan profit dan akhirnya berdampak pada penurunan kemampuan perusahaan dalam melanjutkan kewajiban mengeluarkan dana CSR mereka.
Oleh karena itulah diperlukan pihak-pihak lain yang dapat berperan sebagai guarantor (penjamin) sukuk ini, ada beberapa skenario yang dapat digunakan untuk penjaminan sukuk CSR ini, antara lain:
1.      Mekanisme umum pada penerbitan sukuk adalah adanya aset yang dijadikan sebagai dasar (back up) penerbitan sukuk. Penerbitan sukuk dengan non aset sebagai back up dapat kita lihat dari praktik sukuk based on project yang dikembangkan di Indonesia. Namun penggunaan proyek sebagai jaminan atas penerbitan sukuk tersebut  karena proyek-proyek tersebut sudah masuk ke dalam proyek APBN dengan kata lain sudah ada jaminan dari negara. Sehingga hal yang perlu diperhatikan dalam permasalahan back up aset dalam penerbitan sukuk CSR ini bahwa sukuk CSR menjadikan pengakuan (acrual) portofolio dana CSR sebagai aset penerbitan sukuk.
2.      Permasalahan fundamental yang dihadapi dalam sukuk CSR ini adalah mengenai jaminan atas risiko yang akan terjadi di depan. Risiko ini, baik berupa ketidakpastian bisnis maupun inkonsistensi perusahaan dalam mengeluarkan kewajiban dana CSR mereka.
Oleh karena itulah ada beberapa hal penting yang dapat dijadikan sebagai catatan, antara lain:
1.         Perlu adanya niat (i’tikad) baik antara perusahaan donatur dana CSR dengan bank syariah bahwa perusahaan donatur harus memiliki komitmen yang kuat untuk bertanggung jawab secara penuh dan berkelanjutan dalam penyaluran dana CSR mereka melalui bank syariah yang telah ditunjuk sebagai wakil pengelola dana CSRnya. Khususnya jika yang menjadi investor adalah Bank Syariah. Dalam hal ini juga bank syariah jika berperan sebagai investor, maka bank syariah dapat menerapkan prinsip kehati-hatian (prudence) dalam penyaluran investasi.
2.         Bank syariah dapat bertindak sebagai guarantor ketika yang bertindak sebagai investor adalah pihak ketiga.
3.         Jika yang bertindak sebagai investor adalah perusahaan donatur CSR maka secara tidak langsung perusahaan sudah terikat untuk komitmen dan menyelesaikan kewajiban CSR mereka.
4.         Jika terjadi collaps atau penurunan drastis kinerja perusahaan, maka ada beberapa strategi agar dana CSR tetap aman dan sustain, antara lain:
a.          Melalui saving dana surplus dari imbal hasil (fix return) penempatan 30% dana CSR ke instrumen aman.
b.         Melikuidasi dana 30% yang ditempatkan di instrumen-instrumen keuangan.
c.          Sistem CSR perusahaan ini adalah menggunakan sistem ‘renteng’ sehingga perusahaan-perusahaan dapat saling menutupi dana CSR mereka jika salah satu perusahaan mengalami kesulitan dalam pembayaran kewajiban CSR mereka.
d.         Dalam hal ini, pemerintah juga harus mengambil andil dengan memberikan jaminan atas sukuk CSR tersebut. Hal ini sebagai salah satu upaya agar perusahaan-perusahaan terdorong untuk mengeluarkan dana CSR mereka (penguatan UU PT No. 40 Tahun 2007).
Gambar 3.5: Model Konstruksi Sukuk CSR
 
sumber: diolah penulis



  • Step 1 (Tahap Pertama) : Permodalan CSR
Tahap ini merupakan penjabaran sumber permodalan dana CSR yang berasal dari perusahaan. Ada tiga strategi yang memungkinkan agar perusahaan menyalurkan dana CSR-nya kepada bank syariah. Pertama, melalui MoU (memorandum of understanding). Dimana bank syariah menawarkan kesepakatan MoU kepada perusahaan-perusahaan yang mengajukan pembiayaan kepada perbankan syariah bahwa perusahaan yang bersangkutan akan menyalurkan dana CSR mereka melalui bank syariah. Kedua, bank syariah harus melakukan strategi jemput bola melalui pengajuan  proposal pengelolaan dana CSR kepada perusahaan-perusahaan, bahwa bank syariah bersedia menjadi institusi pengelola dana CSR perusahaan tersebut. Ketiga, melalui program kemitraan. Pada langkah ini, bank syariah dapat menjadi mitra bagi perusahaan-perusahaan dalam mengelola dana CSR perusahaan tersebut.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penghimpunan dana CSR ini, misalnya pada potensi pengelolaan; sebab, umumnya dana CSR dicairkan setiap tahun (2% dari laba bersih perusahaan), pola ini tentu memiliki banyak kelemahan, antara lain: dana yang terkumpul tidak terlalu besar, kemungkinan dana CSR tersebut akan berkurang akibat inefisiensi dalam operasional. Oleh kerena itu, langkah yang harus ditempuh ialah melalui kesepakatan tentang jumlah fix (akhir) dana CSR tiap tahun, serta jangka waktu keterlibatan bank syariah dalam mengelola dan menyalurkan dana CSR perusahaan tersebut.
Dalam pengelolaan dengan skema ini, bank syariah dapat berperan sebagai mitra perusahaan dalam mengelola dana CSR. Sehingga pengelolaan dana CSR bukan lagi dilakukan oleh perusahaan melainkan secara penuh dilakukan oleh bank syariah.
  • Step 2 (Tahap Kedua) : Penerbitan Sukuk
Pada tahap ini, bagi perbankan syariah, nilai Rp1 Milyar (nilai ilustrasi di atas) masih bersifat pengakuan akan dana CSR, sedangkan secara likuiditas belum ada (belum diterima secara cash). Oleh karena itu, langkah yang bisa ditempuh bank syariah adalah melakukan penerbitan sukuk CSR senilai 100% dari nilai CSR atau sebesar Rp 1 milyar dalam tempo waktu 10 tahun. Dari penerbitan sukuk ini diharapkan investor dapat membeli sukuk tersebut sesuai dengan harga yang ditawarkan.
  • Step 3 (Tahap Ketiga) : Asset Management Sukuk CSR
Setelah dana sebesar Rp1 milyar (ilustrasi sebelumnya) diterima bank syariah, maka bank syariah dapat melakukan manajeman likuiditas/asset. Porsi pernyaluran dana CSR yang terkumpul di bank syariah 70:30. Dimana 70% disalurkan kepada BMT dan 30% sisanya disalurkan kepada instrumen-instrumen yang dapat menghasilkan fix income.
  • Step 4 (Tahap Keempat) : Penggunaan dana Investasi Sukuk CSR untuk Permodalan BMT
Pada tahap ini, 70% porsi dana yang masuk kepada BMT sepenuhnya digunakan untuk pemberdayaan dan pembiayaan nasabah BMT (masyarakat). Adapun langkah-langkah yang dilakukan adalah: (1) Pemenuhan basic need, (2) Membentuk character building, (3) Pembiayaan usaha.
Tahapan implementasi pemberdayaan melalui permodalan sukuk CSR dapat dilakukan melalui sistem sinergi baitul maal, baitut tamwil dan baitut tamkin, antara lain dengan langkah:
1.      Character Building (Dana Baitul Maal)
Dilakukan dengan jalur pemberian santunan (charity) dan pinjaman lunak
a.         Santunan (Charity)
Langkah pertama adalah memberikan sedekah atau sumbangan bagi masyarakat miskin tanpa mengharapkan adanya timbal balik. Dana ini dialokasikan untuk keperluan masyarakat miskin yang bersifat kebutuhan dasar (basic needs). Adapun akad yang digunakan dalam hal ini adalah akad hibah. Pada tahap ini sudah dimulai internalisasi nilai-nilai edukatif yang bisa mengubah karakter masyarakat miskin.
b.         Pinjaman Lunak (Soft Loan)
Langkah kedua ialah pemberian pinjaman. Pinjaman itu lebih baik daripada pemberian sedekah dikarenakan ketika seseorang melakukan pinjaman berarti mereka sedang membutuhkan dana. Selain itu jika pemberian pinjaman dikelola dengan baik akan terjadi suatu pembangunan komitmen untuk mengembalikan pinjaman pada waktu yang telah disepakati.
2.      Financial Endorsement (Pembiayaan Baitul Tamwil)
Dilakukan melalui jalur pemberian pembiayaan dan penyimpan uang sebagai tabungan.
a.       Pemberian Pembiayaan (Financing)
Langkah ketiga ialah memberikan pembiayaan yang akan mendidik masyarakat miskin untuk memanfaatkan dana tersebut dalam kegiatan usaha produktif.
b.      Menyimpan Dana (Saving)
Langkah keempat ini dimaksudkan untuk memberikan pelajaran lebih kepada masyarakat miskin agar mereka memiliki perencanaan ke depan yang lebih matang dengan menyisihkan sebagian pendapatan untuk mengantisipasi kebutuhan yang akan datang.
3.      Risk Sharing (Peran Baitut Tamkin)
Konsep berbagi risiko ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan pada proses pemberdayaan yang dilakukan. Antisipasi risiko harus senantiasa dilakukan sebagai antisipasi terhadap terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Pada proses ini juga masyarakat miskin diajarkan untuk memahami pengelolaan hidup.
Adapun model pengelolaan permodalan yang masuk ke BMT lebih kurang divisualisasikan melalui gambar di bawah ini: (dengan harapan dampak yang diberikan kepada masyarakat lebih besar dan bersifat jangka panjang/more than charity)




Gambar 3.6: Model Penggunaan Dana Sukuk CSR pada BMT
Sumber: diolah penulis
  • Step 5 (Tahap Kelima) : Pembelian Kembali Ketika Jatuh Tempo
Di tahap ini akan dilakukan pembelian kembali sukuk setelah jatuh tempo (maturity). Dimana ketika sukuk telah dipegang selama 10 tahun, maka sukuk tersebut harus dibeli kembali oleh penerbit sukuk kepada investor.

4.      Simpulan
Dari pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1.        Modal utama BMT adalah simpanan anggota di awal keanggotaanya masing-masing sekurang-kurangnya senilai Rp1 juta dengan minimal keanggotaan 10-20 orang. Sehingga diperoleh modal awal sebagai perangsang kegiatan operasional minimal sebesar Rp 10-30 juta. Dalam waktu berjalan, pengelola BMT akan mencari dana-dana sumbangan lainnya, maupun investor potensial guna meng-cover kebutuhan modal yang lebih besar dalam menopang pembiayaan-pembiayaan kepada anggota atau nasabah yang kian tumbuh.
2.        Modal yang terbatas dari sumbangan atau simpanan anggota tak akan mampu mengakomodir seluruh pembiayaan yang diajukan nasabah (anggota) untuk membiayai usahanya. Selain itu, modal yang terbatas tak akan mampu  tahan  terhadap risiko pembiayaan usaha-usaha mikro non collateral yang dinilai high risk yang diajukan nasabah. Sehingga seringkali, sulitnya permodalan membuat BMT tenggelam dan bubar, padahal peranan BMT begitu dibutuhkan bagi pengusaha mikro yang terus bergeliat tumbuh dan memerlukan pembiayaan.  Sedangkan dana linkage dari bank syariah/BPRS dinilai sebagai dana mahal.
3.        Dana CSR memliki Potensi yang besar sebagai sumber permodalan BMT di Indonesia. Setiap perusahaan diwajibkan berdasarkan undang-undang untuk menyisihkan 2% dari laba. Hingga tahun 2011, dana CSR yang disalurkan oleh perusahaan di Indonesia mencapai Rp14 triliun. Sedangkan dana CSR yang masuk ke bank syariah masih rendah hanya sebesar Rp42 miliar. Begitu pula dengan sistem alokasi dan distribusi yang masih tradisional sehingga kurang memberikan multiplier effect yang besar bagi kesejahteraan masyarakat.
4.        Konsep Sukuk CSR ini merupakan sebuah gagasan berupa penerbitan sukuk yang bersifat sosial, tidak seperti sukuk pada umumnya yang lebih dominan pada aspek bisnis. Sukuk ini diterbitkan dengan tujuan untuk mengoptimalkan penyerapan dana CSR perusahaan. Adapun langkah-langkah yang ditempuh meliputi; adanya komitmen (MoU) antara perusahaan donatur CSR dengan bank syariah, kemudian sukuk diterbitkan dengan back up pengakuan dana CSR yang akan diterima dengan jumlah dan jangka waktu yang sudah ditentukan. Adapun investor sukuk ini antara lain; perusahaan donatur CSR, bank syariah, dan pihak ketiga. Adapun keuntungan yang diperoleh investor berasal dari pembayaran imbal hasil kupon tiap tahunnya dan likuidasi 50% dari 30% penempatan dana investasi sukuk CSR di intrumen fix income. Selain itu, investor juga dapat menikmati bagi hasil dari penggunanaan dana investasi sukuk di BMT bila menguntungkan. Adapun masalah risiko yang dihadapi investor atau pihak-pihak yang terlibat dalam sukuk CSR ini secara garis besar ada 2. Pertama, risiko penurunan kinerja perusahaan yang akan berdampak pada penurunan kemampuan perusahaan untuk membayar dana CSR. Kedua, risiko perusahaan collaps yang kemudian akan berdampak pada terhentinya suplai donasi dana CSR yang kemudian akan menimbulkan dampak yang lebih luas. Adapun penanggulangan risiko yang bisa dilakukan, antara lain; Pertama, perusahaan donatur membentuk sistem ‘renteng’ untuk saling menanggung satu sama lain, dapat melikuidasi dana yang ditempatkan pada instrumen keuangan, diperlukan juga dukungan dan jaminan pemerintah untuk menanggulangi kemungkinan risiko yang akan terjadi di masa depan.

5.      Ucapan Terima Kasih
Ucapan terima kasih atas dukungan yang telah diberikan oleh banyak pihak menghantarkan penulis untuk menyampaikannya kepada:
5.1  Manajemen Sekolah Tinggi Ekonomi Islam (STEI) Tazkia, Dr. Mohammad Syafi’I Antonio selaku Ketua, beserta Wakil Ketua, Ketua Jurusan, Ketua Bidang Kemahasiswaan beserta staff.
5.2  Bapak Dr. Yulizar Sanrego, M.Ec selaku dosen pembimbing.
5.3  Teman-teman di kampus STEI Tazkia serta seluruh kader Ekonom Robbani, Ekonomi Islam.
5.4  Serta yang terkhusus penulis sampaikan kepada kedua orangtua tercinta yang telah dengan ikhlas mendoakan.

6.      Daftar Pustaka
Adam, Helmi. Strategi Manajemen Risiko pada Pembiayaan UKM di BMT Al  Munawwarah dan BMT Berkah Madani. Skripsi UIN Syarif Hidayutullah Jakarta.
Antonio, Muhammad Syafii. 2001. Bank Syariah: Dari Teori ke Prsktik. Jakarta: Gema Insani.
Azis, Amin. 2008. Tata Cara Pendirian BMT. Jakarta: Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah.
Bank Indonesia, 2012, Outlook Perbankan Syariah 2013. Melalui www.google.com/ diakses pada 22/04/2013 pukul 10.00 wib.
Engkos Sadrah. BMT dan Bank Islam, Pustaka Bani Qurisy, Bandung, 2004.
Firdaus,Muhammad dkk. 2005. Pada Abdul Manan, hal 138 melalui Analisis Sukuk. Jurnal Ilmiah Universitas Sumatera Utara.
Hamid, Arifin. 2002. Membumikan Ekonomi Syariah di Indonesia. Depok: Elsas.
Ibrahim, Maulana. 2002.Risk Management: Islamic Financial Policies. Penelitian oleh Bank Indonesia. Jakarta.
Irawan Dedik dkk.  Analisis Strategi Pengembangan Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) Pedesaaan (Studi Kasus BMT Al Hasanah Sekampung). Universitas Lampung. JIIA, VOLUME 1 No. 1, JANUARI 2013.
Khatimah, Husnul. 2009. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyaluran dana Perbankan Syariah di Indonesia Sebelum dan Sesudah Kebijakan Akselerasi Perbankan Syariah Tahun 2007/2008. Jurnal Optimal Vol.3 No.1 Maret 2009.
Ramadhan Danu, Ritonga Haroni. 2012. Peranan Perbankan Syariah terhadap Pengembangan Baitul Mal Wat Tamwil (BMT) di Kota Medan. Jurnal Ekonomi dan Keuangan, Vol. 1, No. 1, Desember 2012.
Rita Erna, “Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan dalam UU Perseroan Terbatas”, Suara Pembaruan 11 September 2007.
Rivai.H Viethzal dan Andria Permata Viethzal, 2007, “Bank And Financial Institution Managemen Convencional & Sharia System”, PT.Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Siregar, Nurhayati. 2005. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyaluran Dana Perbankan Syariah di Indonesia, Tesis. USU Medan.
Zaenal. 2001.  Menilai Tingkat Kesehatan BMT dari Aspek Manajemen. http:\\www.tazkiaonline.com.
Zahra, 2013, “Masa Depan Program CSR: Kemitraan Swasta, Pemerintah dan Masyarakat” pada www.kompasiana.com/ekonomi diakses pada 20/04/2013 pukul 16.00 wib.
Rahmi, Elita. 2009. Standarisasi Lingkungan (ISO 26000) Sebagai Harmonisasi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Dan Instrumen Hukum di Indonesia. Universitas Jambi.
Sumber lain:
http://www.muamalatbank.com diakses pada 22/04/2013 pukul 09.00 wib.
www.steneg.com/ Sofyan A. Djalil, 2006,  Strategi Dan Kebijakan Pemberdayaan Badan Usaha Milik Negara/diakses pada 25/04/2013 pukul 09.00 wib.
www.dmo.or.id melalui jurnal Universita Sumatera Utara diakses pada 23 Mei 2013 pukul 10.00 wib.




[1] Baihaqi abd. Majid dan Saifuddin A. Rasyid, “Paradigma Baru Ekonomi Kerakyatan Sistem Syariah (Perjalanan Gagasan dan Gerakan BMT di Indonesia)” dalam Helmi Adam,2010, Strategi Menejeman Risiko pada Pembiayaan UKM di BMT Al Munawarah & BMT Berkah Madani, UIN Syarif Hidayatullah, hal 4
[2] Ibid.
[3]Santoso, 2003 dalam Dedek Irawan, et al, ANALISIS STRATEGI PENGEMBANGAN LKMS PEDESAAN (STUDI KASUS BMT AL HASANA SEKAMPUNG), Universitas Lampung, JIIA,Vol1 No.1, Januari 2013,hal 2
[4] Outlook Perbankan Syariah 2013, Bank Indonesia, hal 22,  www.google.com/ diakses pada 20/4/2013 pukul 14.00 wib.
[5] Musabbihin, 2012, Pendirian Asuransi Alam Syariah (ALAMSYAH) sebagai Perwujudan Peran Pemerintah terhadap Pelaksanaan Pembangunan Berkelanjutan dengan Menekankan Aspek Ekonomi Hijau pada PerusahaanPertambangan di Indonesia,Karya Tulis Universitas Airlangga, hal 10
[6] Dedek Irawan, Loc. cit. hal 1
[7] Ambardi, Loc.cit., hal 1
[8] Ambardi, 2010, AF Consulting, Panduan Praktis Pendirian Koperasi Syariah atau BMT.htm/ hal 1 diakses pada 25/04/2013 pukul 09.00 wib
[9] Ely Siswanto, Op. cit., hal 7
[10] Bank Indonesia, Op. cit., hal 15
[11] Bank Indonesia, loc. cit., hal 22
[12] Berdasarkan tulisan Ely Siswanto, Strategi Pengembangan BMT (Baitul Maal Wa Tamwil) dalam Memberdayakan Usaha Kecil Menengah, Skripsi Sarjana, Universitas Negeri Malang, hal 3, www.malang.ac.id/ diakses 20/4/2013 pukul 13.30 wib.
[14] www.setneg.com/ diakses pada 25/04/2013 pukul 09.00 wib
[15] Diolah atas tulisan Zahra, 2013, “Masa Depan Program CSR: Kemitraan Swasta, Pemerintah dan Masyarakat” pada www.kompasiana.com/ekonomi diakses pada 20/04/2013 pukul 16.00 wib
[16] Bank Indonesia, 2012. Loc. cit., hal 22
[17] www.dmo.or.id melaui ibid., hal. 9
[19] Anonim. Analisis Sukuk. Jurnal Ilmiah Universitas Sumatera Utara. Hal. 1
[20] Dr Muhammad Firdaus, dkk. 2005. Pada Abdul Manan, hal 138 melalui Analisis Sukuk. Jurnal Ilmiah Universitas Sumatera Utara.
[22] Http://En.Wikipedia.Org/Wik/Sukuk. Diakses pada 24/04/2013 pukul 10.00 wib

Tidak ada komentar:

Posting Komentar