MENGGAAS KONSEP SUKUK CSR SEBAGAI SOLUSI PERMODALAN BAITUL MAAL WA TAMWIL (BMT)
Muhammad Idris
Sekolah Tinggi
Ekonomi Islam (STEI) Tazkia
Rysky Marlinda
Sekolah Tinggi
Ekonomi Islam (STEI) Tazkia
Abstract
Weak capital system in BMT has become one of the main problems to be
solved. This is due to sources of capital in BMT is generally dominated by the
'expensive' funds so the impact on high-cost financing. That is why it takes
the solution of potential capital in the form of pure social funds, one of
which is a fund of Corporate Social Responsibility (CSR). CSR fund in Indonesia
has huge potential but optimization of CSR funding is still difficult to be
realized by Islamic banking. So that, through qualitative method in this paper,
the authors offer an idea of sukuk CSR with the main objective of this concept
is to optimize the absorption and utilization of CSR funds through Islamic banks.
The type of sukuk CSR is social sukuk which is issued by backing up of CSR
funds recognition that will be received by Islamic bank in specified number and
time. This sukuk is categorized as long term sukuk which gives a fixed rate of
return. The issuer of sukuk CSR is company funder while Islamic banks being the
agent of this sukuk (trustee, SPV). The investors of sukuk CSR are: company
funder, syariah banks, and third parties. The proceeds of sukuk CSR issuance
will be allocated to the portion of 70% for BMT and 30% for secure instrument
that provides fixed income.
Keyword: Sukuk CSR, Capital
System, BMT, Islamic Bank, Company
Abstrak
Lemahnya sistem
permodalan di BMT menjadi salah
satu masalah utama yang harus dipecahkan.
Sumber permodalan di BMT umumnya di dominasi oleh dana-dana ‘mahal’
sehingga berimbas pada pembiayaan yang high
cost. Oleh sebab itulah dibutuhkan solusi permodalan berupa dana pure sosial yang potensial, salah
satunya adalah dana Corporate Social
Responsibility (CSR). Dana CSR di
Indonesia memiliki potensi yang sangat besar namun optimalisasi dana CSR sampai sekarang masih sulit direalisasikan
oleh perbankan syariah. Dalam tulisan ini penulis menawarkan sebuah
gagasan berupa sukuk CSR dengan tujuan
utama dari konsep ini adalah
optimalisasi penyerapan dan penggunaan dana CSR perusahaan melalui bank
syariah. Sukuk CSR ini adalah jenis sukuk sosial yang diterbitkan atas back up pengakuan dana sosial (CSR) yang
akan diterima oleh bank syariah dengan jumlah dan jangka waktu yang sudah
ditentukan. Sukuk ini termasuk sukuk jangka panjang dengan tingkat imbal hasil
yang tetap. Dalam sukuk ini yang bertindak sebagai issuer adalah perusahaan sedangkan perbankan syariah bertindak
sebagai agen (trustee,SPV). Investor dari sukuk ini antara lain, perusahaan itu sendiri, bank
syariah, dan pihak ketiga. Adapun dana yang dimana dana ini digunakan untuk diperoleh dari penerbitan sukuk ini akan dibagi dengan porsi 70% untuk
BMT dan 30% untuk instrumen aman yang
memberikan fix income.
Kata Kunci : Sukuk
CSR, permodalan, BMT, Bank Syariah, Perusahaan
1. Pendahuluan
Baitul Maal Wa Tamwil (BMT)
adalah salah satu lembaga keuangan mikro syariah (LKMS) yang berkembang pesat
di Indonesia. Secara kuantitas tercatat ada 2.938 unit BMT sejak pertama kali
berdiri pada tahun 1992 hingga tahun 2000 dengan persebaran hampir merata di
seluruh provinsi di Indonesia[1]. Tak hanya sampai
di sana, BMT terus tumbuh sebesar 2,7% sehingga jumlahnya menjadi 3.017 unit
pada tahun 2001. Jumlah tersebut masih sangat kecil, mengingat pada tahun 1998
pertumbuhan BMT di Indonesia didukung pemerintah melalui program perancangan
10.000 BMT nasional[2]. Tak
sedikit BMT yang tenggelam dan bubar disebabkan oleh beberapa hal antara lain
pengelolaan manajemen yang buruk, serta minimnya sumber permodalan[3].
Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 yang membuka kesempatan kemitraan BMT
dan perbankan syariah adalah salah satu media menuju solusi sumber permodalan
BMT. Hal ini dikarenakan perbankan syariah dianggap memiliki kekuatan status
hukum dan finansial yang lebih besar jika dibandingkan BMT itu sendiri. Akan
tetapi, hal ini tidak serta merta menjadi sebuah solusi terbaik untuk membawa
BMT terus tumbuh dan berkembang, namun
lebih daripada itu inovasi dalam penyelesaian masalah permodalan BMT harus
tetap menjadi isu yang harus dipecahkan. Salah satunya adalah melalui
optimalisasi sumber dana ‘non mahal’ yang berasal dari bank syariah seperti corporate social responsibility (CSR).
Potensi dana CSR yang berhasil dihimpun oleh perbankan syariah cukup potensial.
Pada 2012, bank syariah mampu mengumpulkan dana sosial yang berasal dari CSR
perusahaan sebesar Rp42 Milyar dengan growth
yang terus meningkat[4]. Akan
tetapi selama ini realisasi dana CSR yang terhimpun di perbankan syariah masih
kecil dibandingkan dengan potensi dana CSR yang ada. Penulis merasa sangat
penting untuk mengoptimalisasi penyerapan dana CSR oleh perbankan syariah
sehingga nantinya dapat menjadi salah satu sumber permodalan yang tepat bagi
BMT. Dengan demikian dalam tulisan ini penulis akan mencoba menawarkan sebuah
ide inovatif yang diharapkan dapat berperan sebagai solusi atas permodalan BMT
melalui optimalisasi dana CSR oleh perbankan syariah.
Dengan demikian tujuan dari
penulisan karya tulis ini, antara lain:
- Menganalisis permodalan BMT
di Indonesia.
- Mengetahui dampak permasalahan
permodalan terhadap perkembangan BMT.
- Menjelaskan potensi dana CSR sebagai sumber permodalan BMT
di Indonesia.
- Menjelaskan dan menawarkan solusi
berupa konsep sukuk CSR sehingga mampu menjadi solusi bagi permasalahan permodalan BMT di Indonesia.
2. Metodologi
2.1
Jenis Penulisan
Tulisan ini menggunakan metode penulisan kualitatif, yaitu prosedur penulisan yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis melalui kajian
kepustakaan, mencari sumber-sumber dan referensi dari media cetak dan internet.
Penulisan kualitatif juga
menggunakan data yang dinyatakan secara verbal dan kualifikasinya bersifat
teoritis.
2.2
Jenis Data
Data dalam penulisan ini merupakan
jenis data sekunder. Data sekunder ini didapatkan dari artikel, literatur
kepustakaan, media massa (internet) mengenai konsep CSR, sukuk dan perkembangan
BMT di Indonesia terkait permasalahan yang diangkat di dalam karya tulis.
2.3
Metode Pengumpulan Data
Untuk memperoleh
data yang diperlukan pada penulisan ini, penulis menggunakan metode Studi
Pustaka. Metode ini dilakukan dengan cara mempelajari beberapa literatur yang
berhubungan dengan masalah yang dikaji.
2.4
Metode Analisis Data
Penulisan karya tulis ini menggunakan teknik analisis
data deskriptif kualitatif. Penelitian deskriptif mempunyai sifat-sifat tertentu, yaitu bahwa
penelitian itu: 1) memusatkan diri pada pemecahan masalah-masalah yang ada pada
masa sekarang, pada masalah-masalah yang aktual, 2) data yang dikumpulkan mula-mula
disusun, dijelaskan dan kemudian dianalisis, (Surakhmad, 1994) dalam (Wijaya,
2003)[5].
Melalui metode ini, penulis mencoba memberikan sebuah ide atau gagasan terkait
solusi alternatif masalah permodalan BMT melalui penerbitan sukuk CSR
perusahaan.
3. Hasil dan Pembahasan
3.1 Problematika Permodalan BMT di
Indonesia
BMT sebagai lembaga keuangan mikro yang tak hanya berorientasi bisnis
namun juga sosial[6] menjadi
pembeda utama terhadap lembaga keuangan lain, semisal bank. Sehingga sasaran
pembiayaan atau anggota BMT meliputi masyarakat dengan akses yang minim akan
lembaga keuangan serta risiko usaha yang lebih dominan. Di Indonesia, Anggota
atau nasabah BMT yang semakin meningkat hingga menembus angka 1.000 anggota di
tiap-tiap BMT pada 2012 (Bank Indonesia, 2012) menjadi pemicu utama
meningkatnya pembiayaan yang disalurkan oleh BMT di seluruh Indonesia. Terlebih
lagi, minimnya asset jaminan dari anggota dalam memperoleh pembiayaan menjadi
salah satu risiko terbuka yang harus diwaspadai pihak pengelola BMT itu sendiri
terkait keterbatasan modal BMT dalam penyaluran kepada nasabahnya. Hal ini
dikarenakan sumber utama atau dana tetap pemodalan BMT pada awal terbentuknya
hanya berasal dari sumbangan pokok yang diberikan oleh pendiri BMT dengan
nominal minimal sebesar Rp1 juta masing-masing anggota[7],
dimana pemodalan tersebut dinilai terbatas untuk mendanai program pembiayaan
usaha mikro masyarakat. Di sisi lain, besaran dana atau modal BMT yang
diberikan kepada anggota untuk diputar kembali dalam bentuk usaha yang
produktif, memiliki kemungkinan besar mengalami kesulitan pengembalian.
Ketimpangan akan modal dan jumlah pembiayaan diyakini akan menjadi sandungan
akan fungsi BMT sebagai institusi intermediasi keuangan mikro yang praktis dan
diminati masyarakat lapisan bawah. Terlebih lagi BMT tidak memiliki lembaga
penjamin likuiditas semisal Bank Indonesia untuk lembaga perbankan. Sehingga
salah satu solusi utama dalam menjaga eksistensi fungsi intermediasi BMT tersebut
adalah dengan memperkuat sumber permodalan dan pengelolaannya.
3.1.1 Sumber Modal BMT
Pendirian
BMT harus memenuhi syarat-syarat tertentu, diantaranya terkait modal. Modal
awal BMT berasal dari modal para pendiri. Namun sejak awal, anggota pendiri BMT
harus terdiri dari minimal 20 orang yang secara riil memberikan peran
partisipasinya. Masyarakat yang bersedia menjadi anggota BMT harus menyetorkan
simpanan pokok sebesar Rp1 juta /Anggota. Dana ini digunakan sebagai rangsangan
operasional. Setelah berjalan, pengelola BMT akan mencari pemodal-pemodal lain
yang potensial untuk memberikan suntikan modal terhadap BMT[8]
Salah satu solusi permasalahan sumber permodalan pada BMT ialah melalui
program kemitraan[9]. BMT yang
secara akad (perjanjian) pembiayaan kental akan unsur syariah dapat menjalin
kerjasama kemitraan dengan institusi lain yang sejenis namun lebih kuat secara
hukum dan financial power, semisal
Bank Umum Syariah (BUS) dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS)[10]. Sebagaimana
UU No. 21 Tahun 2008 mengenai perbankan syariah bahwa Bank syariah dan Unit
Usaha Syariah dapat menjalankan fungsi sosial melalui kerjasama linkage program dengan berbagai lembaga
sosial dan BMT. Adapun perkembangan dan potensi dana yang disalurkan perbankan
syariah pada program linkage
ditunjukan pada diagram di bawah ini:
Diagram 3.1: Penyaluran Dana Linkage
Perbankan Syariah
Sumber: Bank Indonesia, Oktober 2012 dalam
outlook perbankan syariah 2013
Pada tahun 2012 laporan akan penyaluran dana linkage program BMT yang berasal dari 8 Bank Umum Syariah dan 4
Unit Usaha Syariah menunjukan angka yang
begitu fantastis sebesar Rp439,2 milyar.[11]
Dana linkage ini terus tumbuh dalam empat tahun terakhir. Namun, jika
dibandingkan dengan pertumbuhan dana pure
social seperti CSR dan ZISWAF maka kedua dana ini masih begitu kecil
dibanding dana linkage itu sendiri. Hal ini kemudian berimplikasi pada
penggunaan dana berbasis linkage yang
cukup tinggi untuk memberikan permodalan kepada BMT. Sedangkan tak banyak BMT
yang secara langsung tertarik kepada dana linkage
sebab mengkhawatirkan tingkat pengembalian yang memberatkan. Sekali lagi, bahwa
hal inilah yang menjadi salah satu masalah dalam BMT yakni sumber permodalan
yang berasal dari dana linkage dinilai
sebagai dana ‘mahal’ karena berimplikasi pada cost financing BMT yang mahal pula. Oleh karena itulah diperlukan
suatu inovasi baru untuk mengoptimalisasikan dana murni sosial sehingga BMT
dapat menjalankan fungsi sosialnya secara optimal.
Tabel 3.1: Analisis Permodalan BMT di Indonesia
Sumber: diolah penulis[12]
3.2
Potensi Dana
CSR di Indonesia
Pasal 74 Undang-Undang Perseroan Terbatas No. 40 Tahun 2007 mengenai
pedoman perusahaan dalam menunaikan kewajiban sosial kepada masyarakat menandai
lahirnya babak baru pengaturan penyaluran dana kepedulian social perusahaan
atau yang dikenal dengan istilah
corporate social responsibility (CSR) di Indonesia. Standar atau batas
penyaluran dana CSR di Indonesia sebenarnya begitu potensial, sebesar 2% dari
laba bersih perusahaan setiap tahun, baik publik maupun privat untuk disisihkan
menjadi hak lingkungan atau masyarakat sekitar yang secara ekonomi dan sosial
membutuhkan.
Sebagaimana tujuan penyaluran dana CSR perusahaan, bahwa optimalisasi
peningkatan kualitas hidup masyarakat menjadi salah satu tujuan utama di
samping menjadi media pengikat hubungan baik dan citra perusahaan di mata
masyarakat. Hanya saja hingga saat ini, dana CSR yang disalurkan perusahaan
kepada masyarakat belum berdampak nyata. Meski di tahun 2011, dana CSR nasional
yang disalurkan perusahaan mencapai Rp14 Triliun, belum mampu memberikan solusi
peningkatan kualitas hidup masyarakat sekitar[13].
Hal ini disebabkan sistem penyaluran dana CSR yang diberikan perusahaan kepada
masyarakat masih menggunakan sistem tradisional, yaitu cenderung menyalurkan
dana tersebut dalam bentuk filantropi dan charity
semata. Hal ini disajikan pada tabel (sampel) di bawah ini:
Tabel 3.2: Penyaluran Dana CSR Perusahaan
Sumber: Ministry of State Secretariat of
the Republic of Indonesia, 2012[14]
Perusahaan
dengan langkah penyaluran tradisonal (filantropi & charity) saja biasanya menyelenggarakan secara independen
(non-mitra) pengelolaan dana CSR-nya. Sehingga penyaluran CSR dengan metode ini
dinilai tak akan optimal. Metode pengelolaan dana CSR modern kini dapat
ditempuh melalui jalur kemitraan dengan konsep pemberdayaan yang secara
berkelanjutan membawa dampak signifikan terhadap masyarakat. Berikut pola
penyaluran dana CSR modern:
Gambar 3.1: Metode Penyaluran Dana CSR
Perusahaan
Sumber: diolah penulis[15]
Kelemahan pola filantropi dan charity
dalam penyaluran dana CSR, meliputi: a) bersifat sementara dan langsung habis
(bahan makanan, uang tunai), b) tidak fokus pada peningkatan kualitas hidup dan
kemakmuran (masyarakat hanya sebagi objek kepedulian, bukan subjek), c)
pencitraan perusahaan lebih kental dibanding dengan dampak nyata yang
ditimbulkan.
Disamping itu, metode pembayaran CSR per-tahun yang selama ini
dijalankan perusahaan pun sebenarnya menjadi sumber kelemahan jika tidak
dikelola dengan efektif dan efisien. Dikhawatirkan dana CSR akan habis untuk
biaya operasional dan inefisiensi, sehingga dampak pada peningkatan
kesejahteraan masyarakat menjadi kurang optimal. Dengan demikian sistem
pengumpulan hingga distribusi dana CSR harus dilakukan melalui mekanisme yang
lebih efektif dan memberi manfaat besar bagi kemaslahatan masyarakat.
3.2.1
Dana CSR
yang Dihimpun Perbankan Syariah
Potensi
penyaluran dana CSR yang cukup besar pada bank syariah, menjadikan dana
tersebut sebagai sumber permodalan yang fantastis jika disalurkan pada sasaran
yang tepat. Potensi tersebut dapat dibuktikan melalui program kemitraan antara
bank syariah dengan perusahaan donatur CSR. Perbankan syariah mampu menghimpun
dana CSR yang cukup besar pada tahun 2012, yaitu sebesar Rp42 Milyar[16].
Diagram 3.2: Pertumbuhan Dana
CSR yang Disalurkan Melalui Perbankan Syariah
Sumber: Bank Indonesia, Oktober 2012 dalam outlook perbankan syariah
2013
Grafik di atas memperlihatkan bahwa rata-rata pertumbuhan dana sosial
di bank syariah cukup tinggi, yakni hampir 100%. Hal ini pula yang kemudian
meningkatkan penyaluran dana sosial oleh bank syariah kepada BMT, baik melalui
program linkage ataupun dana murni
sosial. Akan tetapi, harus diakui bahwa penyaluran dana ini kepada sebagian
besar masyarakat masih menggunakan metode tradisional, yaitu melalui filantropi
dan charity yang praktis dan sifatnya
penyaluran sukarela, sehingga optimalisasi dan efektifitas penyaluran dana CSR
kepada masyarakat oleh bank syariah masih perlu ditingkatkan, agar memberi
dampak nyata dalam meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat jangka panjang.
3.3
Karakteristik
dan Pengembangan Sukuk
Sebagaimana instrumen keuangan lainnya, sukuk memiliki keunggulan jika
dibandingkan dengan surat utang biasa. Hal tersebut menyebabkan sukuk menjadi
begitu menarik bagi investor-investor dunia maupun lokal. Keunggulan sukuk
terletak pada strukturnya yang berdasarkan aset berwujud, yang berarti bahwa
nilai dari sukuk akan selalu terkait dengan nilai dari aset yang mendasarinya.[17] Dengan
konsep seperti ini, diharapkan pendanaan melalui sukuk dilakukan berdasarkan
nilai aset yang menjadi dasar (underlying)
penerbitan, sehingga akan memperkecil kemungkinan terjadinya fasilitas
pendanaan yang melebihi nilai dari aset. Ciri khas lain sukuk adalah pemegang
sukuk berhak atas bagian pendapatan yang dihasilkan dari aset sukuk di samping
hak dari penjualan aset sukuk, dan dalam hal sertifikat tersebut mencerminkan
suatu kewajiban kepada pemegangnya, maka sukuk tersebut tidak dapat
diperjualbelikan pada pasar sekunder, sehingga akan menjadi instrumen jangka
panjang yang dimiliki hingga jatuh tempo atau dijual pada nilai nominal. Sukuk
secara prinsip mirip dengan obligasi konvensional, hanya saja yang membedakan
adalah tingkat bagi hasil (imbalan), transaksi pendukung (underlying asset), serta akad yang mendasarinya. Berikut tabel yang
menyajikan perbandingan sukuk dan obligasi:
Tabel 3.3: Perbandingan sukuk dan obligasi[18]
Umat muslim abad pertengahan telah menggunakan sukuk sebagai dokumen
yang menunjukan kewajiban finansial yang timbul dari usaha perdagangan dan
aktivitas komersil lainnya. Namun ilmuan barat banyak yang berpendapat bahwa
sukuk (sakk) adalah salah satu akar
kata chaque yang juga kini lazim
digunakan dalam aktivitas perbankan modern. Dalam perkembangannya, The Islamic Jurisprudence council (IJC)
mengeluarkan fatwa yang mendukung perkembangan sukuk. Hal ini kemudian
mendorong lahirnya sukuk global dalam pasar internasional. Di awali dengan
peluncuran salam sukuk berjangka waktu 91 hari yang diterbitkan Bahrain Monetary Agency (BMA) sebagai
otoritas moneter Bahrain pada 2001 senilai 25 juta dollar AS. Kemudian hadir
pula Global Corporate Sukuk yang
diterbitkan pemerintah Malaysia di pasar internasional. [19]
Beragam jenis sukuk kontemporer yang
kini dikenal di Indonesia bahkan tak sedikit yang telah diterbitkan misalnya,
sukuk korporasi yang diterbitkan oleh pelbagai perusahaan di Indonesia baik
perusahaan plat merah amaupun perusahaan swasta, semisal: PT Indosat, PT PLN,
PT Bank Muamalat Indonesia, PT Berlian Laju Tanker dan masih banyak lagi.
Perusahaan-perusahaan tersebut telah memprakarsai penerbitan sukuk di Indonesia
sebelum pemerintah memberlakukan undang-undang sukuk negara[20].
Selain itu, pemerintah juga memperkenalkan sukuk ritel, yang dapat dibeli oleh
orang per orangan yang memiliki keinginan
untuk berinvestasi sukuk. Sukuk ritel digunakan pemerintah untuk beragam
tujuan baik pembiayaan proyek pemerintah maupun tujuan donasi, yang pada tahun
2013 ini dikenal dengan nama SR-005 melalui penjaminan fatwa bahwa sukuk ini
selaras dengan prinsip syariah. Tak hanya sukuk ritel, metode pengembangan
sukuk terus mengalami pembaharuan, hingga dikenal pula istilah Sukuk Dana Haji
Indonesia (SDHI) dimana dana yang ditempatkan dalam sukuk tersebut merupakan
dana abadi umat yang berasal dari dana haji serta dikelola oleh Kementerian
Agama melalui metode penempatan langsung[21].
Mengingat sukuk yang begitu fleksibel selaras dengan perkembangan zaman,
menjadikannya sebagai salah satu instrumen yang menjanjikan, baik dari sisi
pembiayaan ataupun sebagai sumber penghimpun dana.
Sukuk CSR merupakan penerbitan sukuk yang didasarkan pada dana CSR. Sukuk
ini diterbitkan oleh bank syariah sebagai agen penerbit sukuk yang telah
diberikan wewenang oleh perusahaan pemberi CSR. Dengan kata lain, sukuk CSR
merupakan sukuk yang diterbitkan atas dasar (based) pengakuan atas dana CSR yang telah ditentukan nominal dan
jangka waktunya. Hal ini sesuai dengan konsep dasar sukuk bahwa Sukuk dapat
dikeluarkan untuk aset yang sudah ada maupun yang akan ada di waktu yang akan
datang[22].
Sukuk CSR merupakan sebuah gagasan untuk mengatasi masalah permodalan
BMT di Indonesia. Adapun tujuan utama dari penerbitan sukuk CSR ini adalah
untuk mengoptimalkan potensi dana CSR yang dapat diserap oleh bank syariah yang
kemudian akan menyalurkan dana ini kepada BMT.
Konsep sukuk CSR ini adalah sukuk yang diterbitkan atas dasar sosial.
Bisnis model dari sukuk ini adalah sukuk sosial, namun tidak menutup
kemungkinan untuk membuka atau menawarkan peluang bisnis di dalamnya. Akad yang
digunakan dalam sukuk ini pada dasarnya adalah qard, dimana investor bertindak sebagai pihak pemberi pinjaman sedangkan
perusahaan (issuer) sebagai pihak
yang menerima pinjaman. Di sisi lain bank syariah bertindak sebagai pihak penerbit
sukuk (trustee, SPV) sekaligus pihak
yang mengelola dana sukuk (wakil).
Sukuk ini termasuk jenis sukuk Collateralize mortgage atau obligasi
syariah yang dijamin pool of motgage atau portofolio mortgage-backed
securities. Dengan kata lain sukuk
ini diterbitkan atas dasar pengakuan (acrual) dana CSR yang akan
diterima bank syariah (trustee) dengan nominal dan jangka waktu yang
sudah ditentukan.
Jenis imbal hasil atau kupon sukuk CSR ini adalah Fixed rate, obligasi
yang memberikan tingkat kupon tetap sejak diterbitkan hingga jatuh tempo. Akan
tetapi tingkat imbal hasil yang ditawarkan oleh sukuk CSR ini tidak kompetitif
karena sukuk ini sukuk berbasis sosial. Adapun tingkat imbal hasil (kupon)
berkisar pada tingkat fix rate yang
didapat dari penempatan 30% dana investasi yang berasal dari dana sukuk ini.
Sukuk ini termasuk jenis Noncollable bond, setelah obligasi
diterbitkan dan terjual, tidak dapat dibeli/ditarik kembali oleh penerbitnya
sebelum obligasi tersebut jatuh tempo. Sehingga sukuk ini termasuk tipe sukuk
jangka panjang yang harus dipegang oleh investor hingga jangka waktu yang sudah
ditentukan.
Pihak yang menerbitkan sukuk (issuer)
ini adalah perusahaan-perusahaan donatur CSR
Adapun agen sukuk (trustee) dalam
penerbitan sukuk CSR ini adalah bank syariah yang ditunjuk atau dipercaya oleh
perusahaan-perusahaan donatur untuk mengelola dana CSR mereka.
Ada beberapa pihak yang dapat bertindak sebagai investor dalam skema sukuk
CSR ini, antara lain:
Perusahaan yang bertindak sebagai donatur (pemberi dana CSR) dapat berperan sekaligus sebagai
investor dalam sukuk ini, berikut skenario perusahaan donatur yang berperan
ganda sebagai insvestor dalam sukuk CSR:
|
Sumber: diolah penulis
Keterangan:
Perusahaan
menyepakati akan menyalurkan dana CSR melalui bank syariah
1. Bank
syariah membuat pengakuan (acrual)
dalam bentuk fortopolio, bahwa ia
akan menerima dana CSR melalui
perusahaan. Dari sini kemudian bank syariah akan mengkalkulasi berapa dana CSR
yang akan diterima dalam jangka waktu tertentu. Misalnya Rp100 juta per tahun selama 10 tahun, maka bank syariah
akan menerbitkan sukuk sebesar Rp1 M dalam tenor 10 tahun.
2a. Jika
perusahaan memiliki peran rangkap, baik sebagai issuer sekaligus sebagai investor, maka perusahaan harus
mengeluarkan dana di muka yang cukup besar, yakni Rp1 M (sesuai
ilustrasi) sehingga hal ini dikhawatirkan akan memberatkan likuiditas perusahaan. Oleh karena itulah, bank syariah dapat memberikan pembiayaan atau pinjaman berupa dana talangan CSR kepada
perusahaan agar perusahaan bisa membeli sukuk proyek yang diterbitkan. Akad
yang digunakan dalam dana talangan ini adalah akad qard sehingga dana yang dipinjamkan dengan yang dikembalikan
jumlahnya sama. Pengembalian dana qard
ini akan dilakukan setiap tahunnya pada saat perusahaan mencairkan dana CSR tersebut.
Setelah
perusahaan mendapatkan dana qard dari
bank syariah, maka perusahaan sudah memiliki likuiditas yang cukup sehingga
perusahaan sudah sanggup bertindak sebagai investor yang akan membeli sukuk
CSR.
2. Sukuk CSR
akan dibeli oleh perusahaan (investor) sesuai dengan harga dan jangka waktu
yang berlaku.
3. Dana cash sebesar Rp1 M yang digunakan
untuk membeli sukuk tersebut masuk ke bank syariah (proceed) sebagai agen penerbit sukuk yang sekaligus sebagai wakil
yang ditunjuk oleh perusahaan untuk menerbitkan sukuk sekaligus mengelola dana
CSR perusahaan.
4. Perusahaan
sebagai investor akan menerima pembayaran sukuk sebesar Rp1 M setelah masa
jatuh tempo (maturity) selama 10
tahun. Adapun dana ini berasal dari dana pengembalian qard tiap tahun yang diterima oleh bank syariah. Dimana dana tersebut
diakumulasi selama 10 tahun oleh bank syariah sehingga mencukupi untuk membeli
kembali sukuk yang dipegang oleh investor (perusahaan).
Catatan tambahan:
1) Dana cash
sebesar Rp1 M sudah
masuk di muka (pada awal pembelian sukuk) kepada bank syariah sehingga dana
tersebut sudah dikelola oleh bank syariah.
2) Keuntungan : Perusahaan sebagai
investor dapat menikmati keuntungan dari imbal hasil kupon yang diterima tiap
tahun. Disamping itu, keuntungan juga diperoleh dari hasil pengelolaan dana (return) CSR yang dikelola dengan prinsip
bisnis (lihat gambar 3.5
dan gambar 3.6)
3) Risiko : dalam hal ini pihak yang paling besar menanggung resiko
adalah bank syariah karena bank
syariah memberikan pinjaman qard kepada
perusahaan. Ada 2 risiko yang
akan ditanggung oleh bank syariah 1) risiko gagal bayar 2) risiko pengembalian non
mark up. Oleh karena itu bank syariah hanya bisa memberikan alternatif
untuk mengantisipasi risiko gagal
bayar saja karena akad pembiayaan ini menggunakan qard maka dalam pengembalian tidak ada kelebihan. Untuk
menanggulangi risiko gagal
bayar ini bank syariah mencairkan dana qard
ini atas perusahaan ‘renteng’ artinya beberapa perusahaan tergabung dan
bersepakat saling ‘renteng’ sebagai donatur dana CSR. Sistem seperti ini dapat
mengurangi risiko gagal
bayar karena satu perusahaan bertanggung jawab atas perusahaan lainnya jika
terjadi gagal bayar.
Bank syariah selain sebagai agen penerbit sukuk, di sisi lain bank
syariah dapat juga bertindak sebagai investor sukuk, adapun skema dan mekanisme
jika bank syariah ingin menjadi investor dalam sukuk CSR tersebut seperti
berikut ini:
Gambar
3.3: Skema Bank Syariah Sebagai investor
Sumber:
diolah penulis
Keterangan:
Untuk No. 1,2,3,4,5 skema sama dengan skema di atas (perusahaan
sebagai issuer sekaligus sebagai investor).
2a : Pada
tahap ini selain sebagai agen sukuk, bank syariah juga bertindak sebagai investor yang membeli sukuk. Ketika bank syariah membeli sukuk
tersebut, dana sukuk cash akan masuk
ke bank syariah yang kemudian akan dikelola sesuai ketentuan yang sudah ada.
Catatan:
1) Bank
syariah dalam hal ini selain sebagai agen atau wakil perusahaan dalam
penerbitan sukuk, dia juga bertindak sebagai investor. Di saat bank syariah sebagai investor, maka ketika jatuh tempo (maturity), maka bank syariah akan
mendapatkan pelunasan (pembelian kembali) sukuk senilai Rp1 M tersebut yang
dibayarkan oleh penerbit (bank syariah itu sendiri). Adapun sumber dana yang
digunakan untuk pembelian kembali ini adalah dana yang berasal dari dana CSR
perusahaan yang dicairkan tiap tahunnya.
2) Keuntungan: Keuntungan bank
syariah (sebagai investor) didapat dari tingkat imbal hasil kupon tiap tahunnya
(lihat diagram 4.4). Selain
itu, keuntungan juga diperoleh dari pengelolaan dana CSR (revenue).
3) Risiko: penanggung
risiko terbesar adalah bank syariah karena adanya kemungkinan gagal bayar,
namun solusinya adalah sistem ‘renteng’. Bank syariah sebagai investor tentunya
mengharapkan adanya keuntungan lain selain dari tingkat imbal hasil kupon dan
surplus investasi dari instrumen fix income (30% dari nilai sukuk) yang berasal
dari issuer. Dalam hal ini opsi yang
dapat diberikan oleh issuer adalah
investor (bank syariah) mendapat 50% dari 30% (atau sebesar 15%) yang berasal
dari penempatan dana CSR pada instrumen fix
income. Sehingga diakhir periode (maturity)
opsi yang dapat dipilih oleh investor adalah apakah akan melikuidasi 50% kepemilikan
tersebut atau menjadikannya sebagai aset produktif untuk permodalan pembiayaan microfinance.
Pihak ketiga yang dimaksud dalam hal
ini adalah pihak lain di luar bank dan perusahaan, pihak-pihak ini dapat berupa
pemerintah (kementerian), pihak asing, bank lain selain agen sukuk, atau
perusahaan swasta lainnya. Adapun skema dan mekanisme jika pihak ketiga sebagai
investor sebagai berikut:
Gambar 3.4: Pihak Ketiga
Sebagi Investor
Sumber: diolah penulis
Keterangan:
No. 1,2,3,
4 dan 5 sama seperti skema-skema sebelumnya di atas
Permasalahan yang perlu diperhatikan dalam penerbitan sukuk CSR ini adalah
aspek risiko. Risiko utama yang harus diantisipasi adalah 1) jika
perusahaan collpas 2) jika perusahaan
mengalami penurunan kinerja yang signifikan sehingga berdampak pada penurunan profit dan akhirnya berdampak pada
penurunan kemampuan perusahaan dalam melanjutkan kewajiban mengeluarkan dana
CSR mereka.
Oleh karena itulah diperlukan pihak-pihak lain yang dapat berperan sebagai
guarantor (penjamin) sukuk ini, ada beberapa skenario yang dapat digunakan
untuk penjaminan sukuk CSR ini, antara lain:
1. Mekanisme
umum pada penerbitan sukuk adalah adanya aset yang dijadikan sebagai dasar (back up) penerbitan sukuk. Penerbitan sukuk dengan non aset sebagai back up dapat kita
lihat dari praktik sukuk based on project yang dikembangkan di
Indonesia. Namun penggunaan proyek sebagai jaminan atas penerbitan sukuk
tersebut karena proyek-proyek tersebut
sudah masuk ke dalam
proyek APBN dengan kata lain sudah ada jaminan dari negara. Sehingga hal yang
perlu diperhatikan dalam permasalahan back
up aset dalam penerbitan sukuk CSR ini bahwa sukuk CSR menjadikan pengakuan
(acrual) portofolio dana CSR sebagai
aset penerbitan sukuk.
2. Permasalahan
fundamental yang dihadapi dalam sukuk CSR ini adalah mengenai jaminan atas risiko yang akan terjadi di depan. Risiko ini, baik berupa ketidakpastian bisnis
maupun inkonsistensi perusahaan dalam mengeluarkan kewajiban dana CSR mereka.
Oleh karena itulah ada beberapa hal penting yang dapat
dijadikan sebagai catatan, antara lain:
1.
Perlu adanya niat (i’tikad) baik antara perusahaan donatur dana CSR dengan bank
syariah bahwa perusahaan donatur harus memiliki komitmen yang kuat untuk
bertanggung jawab secara penuh dan berkelanjutan dalam penyaluran dana CSR
mereka melalui bank
syariah yang telah ditunjuk sebagai wakil pengelola dana CSRnya. Khususnya jika
yang menjadi investor adalah Bank Syariah. Dalam hal ini juga bank syariah jika
berperan sebagai investor, maka bank syariah dapat menerapkan prinsip
kehati-hatian (prudence) dalam
penyaluran investasi.
2.
Bank syariah dapat bertindak sebagai guarantor ketika yang bertindak
sebagai investor adalah pihak ketiga.
3.
Jika yang bertindak sebagai investor adalah
perusahaan donatur CSR maka secara tidak langsung perusahaan sudah terikat untuk komitmen dan
menyelesaikan kewajiban CSR mereka.
4.
Jika terjadi collaps
atau penurunan drastis kinerja perusahaan, maka ada beberapa strategi agar
dana CSR tetap aman dan sustain,
antara lain:
a.
Melalui saving
dana surplus dari imbal hasil (fix return)
penempatan 30% dana CSR ke instrumen aman.
b.
Melikuidasi dana 30% yang ditempatkan di
instrumen-instrumen keuangan.
c.
Sistem CSR perusahaan ini adalah menggunakan
sistem ‘renteng’ sehingga perusahaan-perusahaan dapat saling menutupi dana CSR
mereka jika salah satu perusahaan mengalami kesulitan dalam pembayaran
kewajiban CSR mereka.
d.
Dalam hal ini, pemerintah juga harus mengambil andil dengan memberikan jaminan
atas sukuk CSR tersebut. Hal ini sebagai salah satu upaya agar
perusahaan-perusahaan terdorong untuk mengeluarkan dana CSR mereka (penguatan UU PT No. 40 Tahun 2007).
|
sumber: diolah
penulis
- Step 1 (Tahap
Pertama) : Permodalan CSR
Tahap ini merupakan penjabaran sumber permodalan dana CSR yang
berasal dari perusahaan. Ada tiga strategi yang memungkinkan agar perusahaan menyalurkan dana CSR-nya
kepada bank syariah. Pertama,
melalui MoU (memorandum of understanding).
Dimana bank syariah menawarkan kesepakatan MoU kepada perusahaan-perusahaan
yang mengajukan pembiayaan kepada perbankan syariah bahwa perusahaan yang
bersangkutan akan menyalurkan dana CSR mereka melalui bank syariah. Kedua, bank syariah harus melakukan
strategi ‘jemput
bola’
melalui pengajuan proposal pengelolaan
dana CSR kepada perusahaan-perusahaan, bahwa bank syariah bersedia menjadi
institusi pengelola dana CSR perusahaan tersebut. Ketiga, melalui program kemitraan. Pada langkah ini, bank syariah
dapat menjadi mitra bagi perusahaan-perusahaan dalam mengelola dana CSR
perusahaan tersebut.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penghimpunan dana
CSR ini, misalnya pada potensi pengelolaan; sebab, umumnya dana CSR dicairkan
setiap tahun (2% dari laba bersih perusahaan), pola ini tentu memiliki banyak
kelemahan, antara lain: dana yang terkumpul tidak terlalu besar, kemungkinan
dana CSR tersebut akan berkurang akibat inefisiensi dalam operasional. Oleh
kerena itu, langkah yang harus ditempuh ialah melalui kesepakatan tentang
jumlah fix (akhir) dana CSR tiap
tahun, serta jangka waktu keterlibatan bank syariah dalam mengelola dan
menyalurkan dana CSR perusahaan tersebut.
Dalam pengelolaan
dengan skema ini, bank
syariah
dapat berperan sebagai mitra perusahaan dalam mengelola dana CSR. Sehingga
pengelolaan dana CSR bukan lagi dilakukan oleh perusahaan melainkan secara
penuh dilakukan oleh bank
syariah.
- Step
2 (Tahap Kedua) : Penerbitan Sukuk
Pada tahap ini, bagi perbankan syariah, nilai Rp1 Milyar (nilai ilustrasi di atas) masih bersifat pengakuan akan
dana CSR, sedangkan secara likuiditas belum ada (belum diterima secara cash). Oleh karena itu, langkah yang
bisa ditempuh bank syariah adalah melakukan penerbitan sukuk CSR senilai 100% dari nilai CSR atau sebesar Rp 1 milyar dalam tempo waktu 10
tahun. Dari penerbitan sukuk ini diharapkan investor dapat membeli sukuk
tersebut sesuai dengan harga yang ditawarkan.
- Step
3 (Tahap Ketiga) : Asset Management Sukuk CSR
Setelah dana sebesar Rp1 milyar (ilustrasi sebelumnya) diterima bank syariah, maka bank
syariah dapat melakukan manajeman likuiditas/asset. Porsi pernyaluran dana CSR
yang terkumpul di bank syariah 70:30. Dimana 70% disalurkan kepada BMT dan 30%
sisanya disalurkan kepada instrumen-instrumen yang dapat menghasilkan fix income.
- Step
4 (Tahap Keempat) : Penggunaan dana Investasi Sukuk
CSR untuk Permodalan BMT
Pada tahap ini, 70% porsi dana yang masuk kepada BMT sepenuhnya
digunakan untuk pemberdayaan dan pembiayaan nasabah BMT (masyarakat). Adapun
langkah-langkah yang dilakukan adalah: (1) Pemenuhan basic need, (2) Membentuk character
building, (3) Pembiayaan usaha.
Tahapan implementasi pemberdayaan melalui permodalan sukuk CSR
dapat dilakukan melalui sistem sinergi baitul
maal, baitut tamwil dan baitut tamkin, antara lain dengan
langkah:
1.
Character Building (Dana Baitul Maal)
Dilakukan dengan jalur pemberian santunan (charity) dan pinjaman lunak
a.
Santunan (Charity)
Langkah pertama adalah memberikan sedekah atau sumbangan bagi
masyarakat miskin tanpa mengharapkan adanya timbal balik. Dana ini dialokasikan
untuk keperluan masyarakat miskin yang bersifat kebutuhan dasar (basic
needs). Adapun akad yang digunakan dalam hal ini adalah
akad hibah. Pada tahap ini sudah dimulai internalisasi nilai-nilai edukatif
yang bisa mengubah karakter masyarakat miskin.
b.
Pinjaman
Lunak (Soft Loan)
Langkah kedua
ialah pemberian pinjaman. Pinjaman itu lebih baik daripada pemberian sedekah
dikarenakan ketika seseorang melakukan pinjaman berarti mereka sedang
membutuhkan dana. Selain itu jika pemberian pinjaman dikelola dengan baik akan
terjadi suatu pembangunan komitmen untuk mengembalikan pinjaman pada waktu yang
telah disepakati.
2.
Financial Endorsement (Pembiayaan Baitul Tamwil)
Dilakukan melalui jalur pemberian pembiayaan dan penyimpan uang sebagai
tabungan.
a.
Pemberian
Pembiayaan (Financing)
Langkah ketiga ialah memberikan pembiayaan yang akan mendidik
masyarakat miskin untuk memanfaatkan dana tersebut dalam kegiatan usaha
produktif.
b.
Menyimpan
Dana (Saving)
Langkah keempat
ini dimaksudkan untuk memberikan pelajaran lebih kepada masyarakat miskin agar
mereka memiliki perencanaan ke depan yang lebih matang dengan menyisihkan
sebagian pendapatan untuk mengantisipasi kebutuhan yang akan datang.
3.
Risk Sharing (Peran Baitut Tamkin)
Konsep berbagi
risiko ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan pada
proses pemberdayaan yang dilakukan. Antisipasi risiko harus senantiasa
dilakukan sebagai antisipasi terhadap terjadinya hal-hal
yang tidak diinginkan. Pada proses ini juga masyarakat miskin diajarkan
untuk memahami pengelolaan hidup.
Adapun
model pengelolaan permodalan yang masuk ke BMT lebih kurang divisualisasikan
melalui gambar di bawah ini: (dengan harapan dampak yang diberikan kepada
masyarakat lebih besar dan bersifat jangka panjang/more than charity)
Gambar 3.6: Model Penggunaan Dana Sukuk CSR pada BMT
Sumber: diolah penulis
- Step 5 (Tahap
Kelima) : Pembelian Kembali Ketika Jatuh Tempo
Di tahap ini akan dilakukan
pembelian kembali sukuk setelah jatuh tempo (maturity). Dimana ketika sukuk telah dipegang selama 10 tahun, maka
sukuk tersebut harus dibeli kembali oleh penerbit sukuk kepada investor.
4. Simpulan
Dari pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai
berikut:
1.
Modal utama BMT adalah simpanan anggota di
awal keanggotaanya masing-masing sekurang-kurangnya senilai Rp1 juta dengan
minimal keanggotaan 10-20 orang. Sehingga diperoleh modal awal sebagai
perangsang kegiatan operasional minimal sebesar Rp 10-30 juta. Dalam waktu
berjalan, pengelola BMT akan mencari dana-dana sumbangan lainnya, maupun
investor potensial guna meng-cover
kebutuhan modal yang lebih besar dalam menopang pembiayaan-pembiayaan kepada
anggota atau nasabah yang kian tumbuh.
2.
Modal yang terbatas dari sumbangan atau
simpanan anggota tak akan mampu mengakomodir seluruh pembiayaan yang diajukan
nasabah (anggota) untuk membiayai usahanya. Selain itu, modal yang terbatas tak
akan mampu tahan terhadap risiko pembiayaan usaha-usaha
mikro non collateral yang dinilai high risk yang diajukan nasabah.
Sehingga seringkali, sulitnya permodalan membuat BMT tenggelam dan bubar,
padahal peranan BMT begitu dibutuhkan bagi pengusaha mikro yang terus bergeliat
tumbuh dan memerlukan pembiayaan. Sedangkan dana linkage dari bank syariah/BPRS
dinilai sebagai dana mahal.
3.
Dana CSR memliki Potensi yang besar sebagai sumber permodalan BMT di
Indonesia. Setiap perusahaan diwajibkan berdasarkan undang-undang untuk
menyisihkan 2% dari laba. Hingga tahun 2011, dana CSR yang disalurkan oleh
perusahaan di Indonesia mencapai Rp14 triliun. Sedangkan dana CSR yang masuk ke
bank syariah masih rendah hanya sebesar Rp42 miliar. Begitu pula dengan sistem
alokasi dan distribusi yang masih tradisional sehingga kurang memberikan multiplier effect yang besar bagi
kesejahteraan masyarakat.
4.
Konsep Sukuk CSR ini merupakan
sebuah gagasan berupa penerbitan sukuk yang bersifat sosial, tidak seperti
sukuk pada umumnya yang lebih dominan pada aspek bisnis. Sukuk ini diterbitkan
dengan tujuan untuk mengoptimalkan penyerapan dana CSR perusahaan. Adapun
langkah-langkah yang ditempuh meliputi; adanya komitmen (MoU) antara perusahaan
donatur CSR dengan bank syariah, kemudian sukuk diterbitkan dengan back up pengakuan dana CSR yang akan
diterima dengan jumlah dan jangka waktu yang sudah ditentukan. Adapun investor
sukuk ini antara lain; perusahaan donatur CSR, bank syariah, dan pihak ketiga.
Adapun keuntungan yang diperoleh investor berasal dari pembayaran imbal hasil
kupon tiap tahunnya dan likuidasi 50% dari 30% penempatan dana investasi sukuk
CSR di intrumen fix income. Selain
itu, investor juga dapat menikmati bagi hasil dari penggunanaan dana investasi
sukuk di BMT bila menguntungkan. Adapun masalah risiko yang dihadapi investor
atau pihak-pihak yang terlibat dalam sukuk CSR ini secara garis besar ada 2.
Pertama, risiko penurunan kinerja perusahaan yang akan berdampak pada penurunan
kemampuan perusahaan untuk membayar dana CSR. Kedua, risiko perusahaan collaps yang kemudian akan berdampak
pada terhentinya suplai donasi dana CSR yang kemudian akan menimbulkan dampak
yang lebih luas. Adapun penanggulangan risiko yang bisa dilakukan, antara lain;
Pertama, perusahaan donatur membentuk sistem ‘renteng’ untuk saling menanggung
satu sama lain, dapat melikuidasi dana yang ditempatkan pada instrumen
keuangan, diperlukan juga dukungan dan jaminan pemerintah untuk menanggulangi
kemungkinan risiko yang akan terjadi di masa depan.
5.
Ucapan Terima
Kasih
Ucapan terima
kasih atas dukungan yang telah diberikan oleh banyak pihak menghantarkan
penulis untuk menyampaikannya kepada:
5.1 Manajemen
Sekolah Tinggi Ekonomi Islam (STEI) Tazkia, Dr. Mohammad Syafi’I Antonio selaku Ketua, beserta Wakil Ketua,
Ketua Jurusan, Ketua Bidang Kemahasiswaan beserta staff.
5.2 Bapak
Dr. Yulizar Sanrego, M.Ec selaku
dosen pembimbing.
5.3 Teman-teman
di kampus STEI Tazkia serta seluruh kader Ekonom Robbani, Ekonomi Islam.
5.4 Serta
yang terkhusus penulis sampaikan kepada kedua orangtua tercinta yang telah
dengan ikhlas mendoakan.
6.
Daftar
Pustaka
Adam, Helmi. Strategi Manajemen Risiko pada Pembiayaan UKM di BMT Al Munawwarah dan BMT Berkah Madani. Skripsi
UIN Syarif Hidayutullah Jakarta.
Antonio, Muhammad Syafii. 2001. Bank Syariah: Dari Teori ke Prsktik.
Jakarta: Gema Insani.
Azis, Amin. 2008. Tata Cara Pendirian BMT. Jakarta: Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah.
Bank Indonesia, 2012, Outlook Perbankan Syariah 2013. Melalui www.google.com/ diakses pada 22/04/2013 pukul 10.00 wib.
Engkos
Sadrah. BMT dan Bank Islam, Pustaka
Bani Qurisy, Bandung, 2004.
Firdaus,Muhammad dkk. 2005. Pada Abdul Manan, hal 138 melalui Analisis Sukuk. Jurnal Ilmiah
Universitas Sumatera Utara.
Hamid,
Arifin. 2002. Membumikan Ekonomi Syariah
di Indonesia. Depok: Elsas.
Ibrahim, Maulana. 2002.Risk Management: Islamic Financial Policies.
Penelitian oleh Bank Indonesia. Jakarta.
Irawan Dedik dkk. Analisis
Strategi Pengembangan Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) Pedesaaan (Studi
Kasus BMT Al Hasanah Sekampung). Universitas Lampung. JIIA, VOLUME 1 No. 1,
JANUARI 2013.
Khatimah, Husnul. 2009. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Penyaluran dana Perbankan Syariah di Indonesia Sebelum dan Sesudah Kebijakan
Akselerasi Perbankan Syariah Tahun 2007/2008. Jurnal Optimal Vol.3 No.1
Maret 2009.
Ramadhan Danu, Ritonga Haroni. 2012. Peranan Perbankan Syariah terhadap
Pengembangan Baitul Mal Wat Tamwil (BMT) di Kota Medan. Jurnal Ekonomi dan
Keuangan, Vol. 1, No. 1, Desember 2012.
Rita Erna, “Tanggung Jawab Sosial dan
Lingkungan dalam UU Perseroan Terbatas”, Suara Pembaruan 11 September 2007.
Rivai.H Viethzal dan Andria Permata
Viethzal, 2007, “Bank And Financial Institution Managemen Convencional &
Sharia System”, PT.Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Siregar, Nurhayati. 2005. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Penyaluran Dana Perbankan Syariah di Indonesia, Tesis. USU Medan.
Zaenal. 2001. Menilai
Tingkat Kesehatan BMT dari Aspek Manajemen. http:\\www.tazkiaonline.com.
Zahra, 2013, “Masa Depan Program CSR:
Kemitraan Swasta, Pemerintah dan Masyarakat” pada www.kompasiana.com/ekonomi
diakses pada 20/04/2013 pukul 16.00 wib.
Rahmi, Elita. 2009. Standarisasi Lingkungan (ISO 26000) Sebagai
Harmonisasi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Dan Instrumen Hukum di Indonesia.
Universitas Jambi.
Sumber lain:
http://www.luqmannomic.wordpress.com/2007/09/25/bmt-sejarah-dan-visi/ diakses pada 20/04/2013 pukul 13.30 wib.
http://www.muamalatbank.com
diakses pada 22/04/2013 pukul 09.00 wib.
www.steneg.com/ Sofyan A. Djalil, 2006, Strategi Dan Kebijakan Pemberdayaan Badan
Usaha Milik Negara/diakses pada 25/04/2013 pukul 09.00 wib.
www.dmo.or.id melalui jurnal Universita Sumatera Utara diakses pada 23
Mei 2013 pukul 10.00 wib.
http://id.berita.yahoo.com/blogs/beritabca/berinvestasi-sekaligus-donasi-melalui-sr-005-083654150.html diakses pada 21/5/2913 pukul
09.02 wib.
[1] Baihaqi abd. Majid dan Saifuddin A.
Rasyid, “Paradigma Baru Ekonomi Kerakyatan Sistem Syariah (Perjalanan Gagasan
dan Gerakan BMT di Indonesia)” dalam Helmi Adam,2010, Strategi Menejeman Risiko pada Pembiayaan UKM di BMT Al Munawarah &
BMT Berkah Madani, UIN Syarif Hidayatullah, hal 4
[3]Santoso, 2003 dalam Dedek
Irawan, et al, ANALISIS STRATEGI
PENGEMBANGAN LKMS PEDESAAN (STUDI KASUS BMT AL HASANA SEKAMPUNG),
Universitas Lampung, JIIA,Vol1 No.1, Januari 2013,hal 2
[4] Outlook Perbankan Syariah 2013, Bank
Indonesia, hal 22, www.google.com/ diakses pada 20/4/2013 pukul 14.00 wib.
[5] Musabbihin, 2012, Pendirian Asuransi Alam Syariah
(ALAMSYAH) sebagai Perwujudan Peran Pemerintah terhadap Pelaksanaan Pembangunan Berkelanjutan
dengan Menekankan Aspek Ekonomi Hijau pada PerusahaanPertambangan di Indonesia,Karya Tulis Universitas Airlangga, hal 10
[7] Ambardi, Loc.cit., hal 1
[8] Ambardi, 2010, AF Consulting, Panduan Praktis Pendirian Koperasi Syariah
atau BMT.htm/ hal 1 diakses pada 25/04/2013 pukul 09.00 wib
[11] Bank Indonesia, loc. cit., hal 22
[12] Berdasarkan tulisan Ely
Siswanto, Strategi Pengembangan BMT (Baitul Maal Wa Tamwil) dalam Memberdayakan Usaha
Kecil Menengah, Skripsi
Sarjana, Universitas Negeri Malang, hal 3, www.malang.ac.id/
diakses 20/4/2013 pukul 13.30 wib.
[13] Radar Bandung, 2011 dalam http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2011/12/radarbandung-20111216-penyalurancsrbelumoptimal.pdf/ diakses pada 25/04/2013 pukul 13.00 wib
[15] Diolah atas tulisan Zahra, 2013, “Masa
Depan Program CSR: Kemitraan Swasta, Pemerintah dan Masyarakat” pada www.kompasiana.com/ekonomi diakses pada 20/04/2013
pukul 16.00 wib
[19] Anonim. Analisis Sukuk. Jurnal Ilmiah Universitas Sumatera Utara. Hal. 1
[20] Dr Muhammad Firdaus, dkk. 2005. Pada Abdul
Manan, hal 138 melalui Analisis Sukuk. Jurnal Ilmiah Universitas Sumatera
Utara.
[21] http://id.berita.yahoo.com/blogs/beritabca/berinvestasi-sekaligus-donasi-melalui-sr-005-083654150.html diakses pada 21/5/2913 pukul 09.02 wib
Tidak ada komentar:
Posting Komentar