MODIFIKASI SUKUK: SOLUSI FUNDING
DAN PROTECTING DEFAULT RISK
PEMBIAYAAN MUDHARABAH DI PERBANKAN
SYARIAH
Muhammad Idris
Sekolah Tinggi
Ekonomi Islam (STEI) Tazkia
Rysky Marlinda
Sekolah Tinggi Ekonomi
Islam (STEI) Tazkia
Ayu Rini Afifah
Sekolah Tinggi
Ekonomi Islam (STEI) Tazkia
Abstract
Mudharabah financing is a major characteristic of Islamic banking which
is very potential to be distributed to productive sector. But until now, these
finance schemes is still low due to several key factors, such as first, the high risk financing. Second, source of funds raised by Islamic
banks are dominated by short term funds which are not appropriate to the
character of mudharabah financing. Through qualitative methods in this paper,
the author aims to offer a modification of sukuk concept as the instrument of
funding and protection on the default risk in mudharabah financing. As a funding
instrument, sukuk will be issued on the basis of deposits product in Islamic
banks. In this case, the bank would issue sukuk deposits retail, so that,
character of long-term financing in mudharabah can be solved through this
concept. While, in the case of default risk protection in debtors business, the
Islamic banks as issuers would issue sukuk protection which is offered to the
insurance company. The benefits for the investors of this sukuk, are: coupon
rate of return, the result of spinning sukuk funds in the productive sector and
repurchase by the issuer of this sukuk (Islamic banks) when due.
Keywords: sukuk, funding,
mudharabah financing, default risk.
Abstrak
Pembiayaan mudharabah merupakan karakteristik utama perbankan syariah yang
sangat potensial untuk disalurkan pada pembiayaan sektor produktif. Namun
hingga saat ini, skim pembiayaan ini masih minim di bank syariah yang
disebabkan beberapa faktor utama, antara lain, pertama, tingginya risiko pembiayaan. Kedua, sumber dana yang
dihimpun perbankan syariah dominan berasal dari dana-dana jangka pendek yang
kurang sesuai dengan karakter pembiayaan mudharabah.
Melalui metode kualitatif dalam karya tulis ini, penulis bertujuan untuk menawarkan
konsep modifikasi sukuk sebagai instrumen penghimpun dana (funding) dan proteksi default
risk pada pembiayaan mudharabah.
Sebagai instrumen funding, sukuk akan diterbitkan atas dasar produk deposito
berjangka yang ada pada bank syariah, sehingga dalam hal ini bank syariah akan
menerbitkan sukuk ritel deposito berjangka sehingga karakter pembiayaan mudharabah yang berjangka panjang dapat
dipecahkan melalui konsep ini. Sedangkan dalam hal sebagai proteksi default risk pada usaha yang dijalankan
debitur, maka bank syariah sebagai issuer
akan menerbitkan sukuk proteksi yang kemudian ditawarkan kepada perusahaan
asuransi. Manfaat pembelian sukuk tersebut bagi investor, ialah: tingkat imbal
hasil kupon, bagi hasil dari perputaran dana sukuk pada sektor produktif dan
pembelian kembali sukuk oleh penerbit (bank syariah) ketika jatuh tempo.
Kata kunci: sukuk, funding,
pembiayaan mudharabah, default risk.
1. Pendahuluan
Gagasan
hadirnya dual banking system pada
industri perbankan melalui undang-undang no 10 tahun 1998 menjadi awal tumbuh
dan berkembangnya perbankan syariah di Indonesia. Hampir satu dekade jumlah BUS
dan UUS terus mengalami peningkatan, sebagaimana ditunjukan melalui tabel
berikut:
Tabel 1.1: Jumlah Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah di Indonesia
Sumber: Laporan Direktorat Perbankan
Syariah Bank Indonesia Oktober 2011[1]
Bahkan jumlah
BUS dan UUS pada akhir periode 2012 telah mencapai 2.188 kantor yang tersebar
di 33 provinsi di Indonesia.
[2]
Pertumbuhan perbankan syariah di
Indonesia ini menjadi jawaban atas kebutuhan masyarakat muslim yang merupakan
populasi terbesar di Indonesia. Jika digali lebih dalam, maka latar belakang
nasabah memilih perbankan syariah adalah karena dorongan emosional keagamaan
yang menginginkan implementasi prinsip-prinsip syariah. Perbedaan mendasar
perbankan syariah dan perbankan konvensional adalah melalui prinsip bagi hasil
yang diusung perbankan syariah sejak awal berdiri. Prinsip bagi hasil yang
melekat pada beberapa akad di perbankan syariah, misalnya melalui akad
mudharabah diimplementasikan melalui
pembiayaan yang menjadi
core utama
perbankan syariah. Sebagaimana laporan Bank Indonesia pada tahun 2012,
pembiayaan melalui perbankan syariah meningkat lebih kurang 40% menjadi sebesar
Rp135,58 T
[3].
Tak dipungkiri
bahwa bank syariah adalah salah satu perbankan yang dinilai mampu sustain di masa krisis yang sempat
mengguncang Indonesia pada periode 1997-1998, yang mana konsep bagi hasil
menjadi salah satu sistem imun yang menjaga ketahanan lembaga keuangan
tersebut. Kekuatan perbankan syariah yang menjadi salah satu stabilitator
sistem keuangan Indonesia inilah yang sebenarnya diharapkan terus dikembangkan
hingga sekarang, baik melalui penghimpunan maupun pembiayaan (penyalurannya).
Hanya saja, pembiayaan pada perbankan syariah dewasa ini masih didominasi oleh
akad murabahah, yang ditunjukkan pada
diagram 1 berikut:
Diagram 1.1: Komposisi Pembiayaan Bank Umum Syariah dan Unit Usaha
Syariah Maret 2013
Sumber: Diolah penulis melalui Statistik
Perbankan Syariah, Maret 2013 Bank Indonesia
Piutang
Murabahah paling mendominasi dengan portofolio sebesar 60,48%. Hal ini
mengindikasikan bahwa perbankan syariah masih didominasi oleh dana mahal dalam
penghimpunan dan penyalurannya dalam
pricing
(marjin dari piutang
Murabahah) yang
cukup tinggi dibandingkan dengan rata-rata suku bunga (rata-rata tahun 2012 s.d
September 2012
equivalent rate
sebesar 14,31%).
[4]
Pembiayaan dengan akad
murabahah masih begitu dominan kepada
sektor konsumtif dengan dampak yang tak cukup besar bagi masyarakat, sedangkan
di sektor produktif penyalurannya masih begitu rendah. Padahal tak sedikit
masyarakat pada kondisi
starting
business, maupun
high risk business
yang membutuhkan modal dengan akad yang tak mahal, semisal bagi hasil yang ada
pada konsep
mudharabah dengan harapan
memacu sektor produktif lebih baik. Sebagaimana yang diungkapkan H.Adiwarman
A.Karim
[5] bahwa,
minimnya pembiayaan
mudharabah pada
sektor perbankan disebabkan oleh tingginya risiko pembiayaan dengan akad
tersebut, beberapa diantaranya: (i) sumber modal jangka pendek yang dihimpun
bank syariah tak sebanding dengan jangka waktu pengembalian yang panjang (ii)
pengusaha yang menggunakan pembiayaan dengan akad mudharabah akan memberikan
proyeksi bisnis terlalu optimis yang nantinya akan menyulitkan bank syariah
(iii) risiko pengembalian yang tak pasti dengan kemungkinan gagal bayar (
default risk) yang juga besar, sehingga
pengusaha dengan tingkat keuntungan tinggi cenderung enggan menggunakan akad
mudharabah begitupun pada pengusaha yang
memiliki risiko rendah. Oleh karena itu diperlukan kajian mengenai
faktor-faktor penyebab berbagai risiko pada pembiayaan
mudharabah serta model penghimpunan dana yang potensial guna
meningkatkan pembiayaan
mudharabah
pada bank syariah.
Dengan demikian tujuan dalam
karya tulis ini, antara lain:
1.
Menjelaskan penyebab minimnya aplikasi pembiayaan mudharabah di perbankan syariah.
2.
Menjelaskan sumber pendanaan mudharabah di perbankan syariah.
3.
Menawarkan dan menjelaskan konsep modifikasi sukuk
sebagai solusi funding dan protecting default risk pada aplikasi mudharabah.
2. Metodologi
2.1 Jenis Penulisan
Tulisan ini menggunakan metode penulisan kualitatif, yaitu prosedur
penulisan yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis melalui
kajian kepustakaan, mencari sumber-sumber dan referensi dari media cetak dan
internet. Penulisan kualitatif juga menggunakan data yang dinyatakan secara
verbal dan kualifikasinya bersifat teoritis.
2.2 Jenis data
Data dalam penulisan ini merupakan jenis data sekunder. Data sekunder
ini didapatkan dari artikel, literatur kepustakaan, media massa (internet)
mengenai konsep mudharabah, sukuk, solusi default
risk, konsep keuangan inklusif di Indonesia terkait permasalahan yang
diangkat di dalam karya tulis.
2.3 Metode Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data yang diperlukan pada penulisan ini, penulis
menggunakan metode studi pustaka. Metode ini dilakukan dengan cara mempelajari
beberapa literatur yang berhubungan dengan masalah yang dikaji.
2.4 Metode Analisis Data
Penulisan
karya tulis ini menggunakan teknik analisis data deskriptif kualitatif.
Penelitian deskriptif mempunyai sifat-sifat tertentu, yaitu bahwa penelitian
itu: 1) memusatkan diri pada pemecahan masalah-masalah yang ada pada masa
sekarang, pada masalah-masalah yang aktual, 2) data yang dikumpulkan mula-mula
disusun, dijelaskan dan kemudian dianalisis, (Surakhmad, 1994) dalam (Wijaya,
2003)
[6]. Melalui
metode ini, penulis mencoba memberikan gagasan akan solusi pembiayaan
mudharabah yang begitu minim pada
perbankan syariah melalui konsep modifikasi sukuk sebagai salah satu instrument
pembiayaan dan proteksi risiko yang begitu potensial.
3. Hasil dan Pembahasan
3.1 Penyebab
Minimnya Pembiayaan Mudharabah pada
Perbankan Syariah
3.1.1 Biaya
Operasional yang Besar dan Tak Pasti
Mudharabah dari sisi
pembiayaan disalurkan kepada pihak lain untuk usaha yang produktif. Namun pada
perkembangannya komposisi pembiayaan berbasis bagi hasil masih relatif kecil,
jika dibandingkan dengan pembiayaan untuk tujuan konsumsi. Rendahnya persentase
pembiayaan pada usaha produktif (khususnya sektor riil) disebabkan adanya
beberapa faktor, salah satunya ialah adanya ketidakpastian mengenai perhitungan
operational cost yang akan menjadi
pengurang laba usaha debitur melalui sistem bagi hasil ini. Apa saja yang masuk
ke dalam perhitungan
operational cost,
berapa besar nominalnya, siapa yang akan menanggung biaya operasional tersebut?
Jika merujuk pada konsep bagi hasil yang selama ini diterapkan, ada dua metode
perhitungan laba yang akan dibagi baik ke pada
sohibul maal (pemilik dana) maupun
mudharib (pengelola dana), yaitu:
revenue sharing atau
profit
and lost sharing (PLS). Jika
revenue
sharing maka laba kotor usaha yang akan menjadi dasar pembagian keuntungan
kepada pemilik dana dan pebisnis yang mengelola dana tersebut. Dengan
konsekuensi bahwa, biaya operasional yang terjadi ditanggung oleh pebisnis
sebagai pengelola dana. Namun, Jika menggunakan konsep PLS, maka laba yang
menjadi dasar pembagian pada pemilik dana dan pengelola dana adalah laba bersih
setelah dikurangi
operational cost,
dengan konsekuensi, laba yang diterima pemilik dana lebih kecil. Oleh karena
itu, jika menggunakan
revenue sharing,
maka bagi pengelola dana hal ini akan memberatkan. Tapi, jika mengadopsi konsep
PLS, pemilik dana harus siap menerima bagian laba yang tak besar. Inilah salah
satu alasan, mengapa investor dengan modal yang besar enggan menyalurkan
dananya dengan akad
mudharabah.
Begitupun pebisnis dengan risiko yang kecil juga cenderung menghindari sumber
dana dengan prinsip
mudharabah[7].
Standar dalam menentukan biaya operasional memang harus ada serta
batasan yang ditentukan oleh kedua belah pihak (bank maupun nasabah) di awal
kesepakatan mutlak diperlukan. Untuk itulah, selain sohibul maal fokus pada bagian keuntungan yang akan ia peroleh, ia
pun harus memperhatikan biaya serta komponen usaha yang akan dibiayai. Hal ini
dapat diterapkan melalui penetapan persentase atau rasio biaya operasional
maupun aktiva tetap usaha, yang mana aktiva tetap merupakan salah satu komponen
pendukung bisnis yang akan dijalankan. Di awal kesepakatan, melalui proposal
pengajuan pembiayaan, dapat ditetapkan nominal aktiva yang dibutuhkan serta
persentase yang akan digunakan sebagai biaya operasional. Keuntungannya adalah
aktiva tetap dapat digunakan jangka panjang selama bisnis berjalan, dan di
akhir periode dapat dijual kembali sebagai penambah bagian laba sohibul maal (pemilik dana) maupun
bagian untuk mudharib (pengelola
modal). Sehingga dana yang berasal dari pembiayaan mudharabah tidak hanya habis untuk operational cost.
3.1.2 Lemahnya
Proteksi terhadap Risiko
Penempatan 100% modal
sohibul
maal kepada bisnis yang akan dijalankan
mudharib
tentu menimbulkan risiko. Jika dana yang disalurkan tersebut diutamakan pada
sektor riil yang produktif, maka risiko yang pasti dialami oleh setiap
mudharib adalah kegagalan dalam
menjalankan usaha, yang pada akhirnya
sering kali berdampak pada gagal bayar atau kegagalan pengembalian, baik pengembalian
modal maupun pengembalian laba kepada bank syariah. Risiko gagal bayar (
default risk) oleh debitur perbankan
syariah dapat dicermati salah satunya melalui nilai
Non Performing Financing (NPF)
yang dilaporkan. Hingga akhir Maret 2013, nilai NPF perbankan syariah
mencapai Rp4.434 miliar yang meningkat jika dibandingkan nilai NPF perbankan
syariah pada 2012 yang hanya berjumlah Rp3.269 miliar, dimana pembiayaan pada
modal kerja menjadi penyumbang terbesar pada NPF perbankan syariah
[8].
Sebagaimana ditunjukan pada tabel berikut:
Tabel 3.2: Pembiayaan Non Lancar BUS & UUS Maret 2013
Sumber: diolah penulis[9]
Melalui tabel tersebut diketahui bahwa pembiayaan non lancar pada
perbankan syariah terus meningkat. Nilai NPF yang terus naik dapat disebabkan
oleh dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, NPF perbankan syariah meningkat disebabkan
dana yang disalurkannya pada masyarakat terus mengalami pertumbuhan sehingga
fungsi bank syariah sebagai intermediary
institution dijalankan dengan baik. Atau kemungkinan lainnya adalah sistem
proteksi terhadap risiko yang selama ini dijalankan perbankan syariah masih
lemah, sehingga belum mampu meminimalisir risiko pembiayaan yang berakibat pada
pengembalian dana dan modal pokok yang kurang lancar.
Untuk mengurangi kemungkinan terjadinya risiko-risiko di atas, maka
bank syariah menurut Adiwarman Karim dapat menerapkaan sejumlah batasan-batasan
tertentu ketika menyalurkan pembiayaan kepada
mudharib[10].
Batasan-batasan itu antara lain penetapan agunan berupa
fix asset dan adanya lembaga penjamin pada pembiayaan
mudharabah di perbankan syariah. Praktik
pada perbankan syariah yang memberlakukan adanya agunan atau asset jaminan
sebenarnya bisa saja dibenarkan, mengingat risiko-risiko yang besar ketika dana
yang sepenuhnya diasalurkan
sohibul maal
tersebut digunakan untuk membiayai usaha
mudharib.
Namun, agunan bukanlah solusi utama untuk memproteksi risiko yang akan terjadi
pada pembiayaan
mudharabah. Hal ini
dikarenakan, tidak semua calon
mudharib
memiliki asset berharga untuk dijadikan penjamin usaha yang akan ia jalankan.
Hal ini seakan menjadi problematika tersendiri bagi bank syariah, terlebih lagi
perbankan syariah tidak dapat secara langsung terlibat dalam bisnis yang
dijalankan
mudharib[11], namun
bank syariah hanya dapat melakukan pengawasan terhadap usaha tersebut. Agunan
hanya sebagai alternatif terakhir ketika sudah tak ditemukan jalan keluar
permasalahan dalam pembiayaan yang terjadi antara kedua pihak yang bersepakat.
Oleh karena itu, konsep yang sebenarnya begitu cocok dikembangkan adalah adanya
lembaga yang menjamin proses pembiayaan dengan akad
mudharabah yang dinilai riskan. Hanya saja, perlu ada kepastian
mengenai kekuatan lembaga penjamin serta seberapa solutif konsep proteksi
risiko yang akan ditawarkan.
3.1.3
Problematika Pendanaan Mudharabah pada Perbankan Syariah
3.1.3.1 Deposito
Jangka Pendek sebagai Produk Funding
yang Dominan
Sebagai lembaga intermediasi, perbankan secara umum memiliki fungsi
vital yaitu menghimpun dana dari masyarakat (
funding) dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat (
financing). Pada bank konvensional,
penghimpunan dana dari masyarakat dapat berupa giro, deposito, atau tabungan.
Namun, di Perbankan syariah,
funding
dilakukan dengan prinsip
mudharabah
dan
wadi’ah. Dimana pada kedua
prinsip ini, bank syariah bertindak sebagai
mudharib
(pemilik dana) dan masyarakat (nasabah) sebagai
sohibul maal (pemilik dana). Dari sisi
funding, sistem bagi hasil hanya terdapat dalam prinsip
mudharabah, sedangkan dalam prinsip
wadi’ah, bank tidak diharuskan melakukan
bagi hasil terhadap nasabah
[12]. Bank
hanya akan memberikan bonus sesuai dengan kerelaan dan tidak boleh
diperjanjikan sebelumnya. Sedangkan apabila mengalami kerugian akibat dari
digunakannya dana oleh bank, maka bank akan bertanggungjawab atas kerugian
tersebut, sebaliknya apabila bank tidak menggunakan dana nasabah tersebut, maka
risiko tetap ditanggung nasabah sendiri
[13].
Ketika menghimpun dana dari masyarakat, prinsip bagi hasil melalui akad
mudharabah yang digunakan bank syariah
dapat berbentuk giro, deposito atau tabungan. Ternyata, dana yang dihimpun dari
nasabah dengan akad
mudharabah
mendominasi total dana pihak ketiga (DPK) pada perbankan syariah. Sebagaimana
ditampilkan pada tabel berikut:
Tabel 3.3: Dana Pihak Ketiga yang dihimpun melalui Bank Umum Syariah
(BUS) dan Unit Usaha Syariah (UUS)
Sumber: diolah penulis berdasarkan
Statistik Perbankan Syariah, Maret 2013 melalui Bank Indonesia
Melalui
jumlah yang ditampilkan pada tabel di atas, dapat dikatakan bahwa dana yang
dihimpun bank syariah dengan akad mudharabah
begitu potensial, mengingat dana-dana tersebut dapat disalurkan melalui
pembiayaan kepada sektor riil di Indonesia, sehingga mampu menggenjot kekuatan
ekonomi melalui sektor usaha yang lebih produktif. Namun yang menjadi kendala
kemudian adalah, DPK perbankan syariah dominan berbentuk deposito jangka
pendek, sedangkan deposito jangka panjang sangat sedikit, bahkan tak mencapai
nominal tiga digit. Dimana hal ini akan membatasi potensi dana-dana tersebut
untuk diputar atau disalurkan kepada sektor produktif yang memerlukan tempo
jangka panjang (turn over yang lama).
Fakta di atas
menjadi salah satu penyebab sedikit sekali bank syariah yang berani menyalurkan
dana potensial yang dihimpunnya tersebut melalui pembiayaan dengan prinsip bagi
hasil (
mudharabah) terlebih lagi
kepada sektor produktif. Penyebabnya adalah nasabah sebagai
sohibul maal sewaktu-waktu dapat menarik
dana tersebut, atau dengan kata lain, setelah jatuh tempo penarikan dana
tersebut oleh nasabah, bank syariah harus memastikan bahwa dana tersebut
memiliki likuiditas yang baik sehingga dapat dicairkan guna memenuhi
kewajibannya kepada nasabah. Oleh karena itu, bank syariah pasti lebih memilih
menyalurkan dana-dana yang telah dihimpunnya kepada sektor pembiayaan yang
lebih pasti dan menjanjikan dengan risiko yang tak terlalu besar. Dampaknya,
prinsip bagi hasil melalui akad
mudharabah
tidak mendominasi
culture pembiayaan
pada perbankan syariah, apalagi berharap prinsip bagi hasil ini akan disalurkan
pada sektor produktif yang memang lebih riskan, keuntungan bersifat
uncertainty dan butuh jangka waktu yang
lama
[14]. Lebih
menarik lagi,
trend ini tidak hanya
terjadi pada perbankan syariah di Indonesia namun juga terjadi pada perbankan
syariah di seluruh dunia. Di perbankan syariah nasional, pembiayaan dengan
prinsip non bagi hasil lebih mendominasi. Fakta ini ditampilkan melalui diagram
berikut:
Diagram 3.1: Penyaluran Dana dalam Produk Bank Syariah di Beberapa
Negara
Sumber: diolah penulis [15]
3.2 Modifikasi
Sukuk sebagai Solusi Funding dan Protecting Default Risk pada Aplikasi Mudharabah
3.2.1 Potensi
Sukuk sebagai Instrumen Penghimpun Dana
Sukuk adalah salah satu instrumen yang tak dapat dipisahkan dalam
sistem keuangan global. Ia merupakan peluang investasi yang menjanjikan baik
bagi investor muslim maupun non muslim. Salah satu fungsi sukuk yang menjadi
primadona industri keuangan adalah sebagai instrumen pembiayaan. Banyak negara
yang kini menjadi penerbit sukuk, terutama negara-negara Timur Tengah, Afrika
Utara, serta negara-negara teluk Asia.
[16]
Penerbitan sukuk dunia pada 2012 telah mencapai 138 miliar dollar AS. Bahkan di
tahun 2013 ini, penjualan sukuk diprediksikan menembus rekor penjualan sukuk
pada tahun 2012.
[17]
Indonesia pertama kali menerbitkan
sukuk pada tahun 2002 yaitu melalui PT Indosat yang pada saat itu menerbitkan
sukuk senilai Rp175 miliar. Langkah Indosat ini kemudian diikuti beberapa
korporasi besar lainnya. Hingga pada tahun 2008 nilai penerbitan sukuk melalui
sektor swasta telah mencapai 4,76 triliun di Indonesia
[18].
Meski sedikit terlambat, di tahun itu juga pemerintah dan DPR akhirnya
mengesahkan undang undang sukuk negara yaitu undang-undang no 19 tahun 2008.
[19] Hal ini
kemudian menjadi awal penerbitan sukuk oleh pemerintah yang ditujukan untuk
pembiayaan defisit anggaran dalam APBN tahun 2008. Penerbitan sukuk perdana
oleh pemerintah ini dilakukan baik di dalam maupun di luar negeri, yaitu
sebesar 15 triliun rupiah yang sesuai dengan
underlying asset milik pemerintah berupa tanah dan bangunan negara
senilai Rp15 triliun. Setengah penerbitan sukuk ini dilakukan di Indonesia dan
kemudian ke pasar internasional.
[20]
Sejak diterbitkan sukuk perdana pada
2008 tersebut, investor-investor Timur Tengah menjadi salah satu pembeli
potensial yang mengalirkan dananya di Indonesia. Hal ini sebenarnya menjadi
salah satu kekuatan ekonomi potensial bagi Indonesia yang mana diharapkan mampu
mencegah terjadinya
bubble economy
karena memperbanyak portofolio mata uang asing yang masuk ke Indonesia, selain
dollar. Bahkan diperkirakan oleh banyak ekonom Indonesia bahwa tahun 2013 ini
likuiditas global cukup besar sehingga mampu menyerap dana sukuk yang akan
dikeluarkan. Sukuk yang akan diterbitkan Indonesia pada 2013 adalah sebesar
Rp53 triliun dan dipastikan dengan likuiditas global yang besar dana tersebut
akan terserap dengan mudah. Apalagi Indonesia telah memperoleh
rating investment grade yang akan
memancing investor potensial baik lokal maupun internasional. Dana sukuk yang
terserap tersebut akan menjadi salah satu solusi akan tekanan inflasi yang
diperkirakan dialami Indonesia di akhir tahun akibat harga komoditas tinggi dan
konsumsi masyarakat meningkat.
[21]
Posisi Indonesia sebagai negara yang
masih menjadi target investasi investor-investor dunia akan membuka peluang
aliran pendanaan tersebut mengalir ke Indonesia sehingga dapat mendorong
kekuatan ekonomi. Terlebih lagi melalui sukuk, baik sukuk negara maupun sukuk
korporasi dan pengembangan sukuk lainnya. Hal ini dikarenakan dana sukuk
menjadi sumber pendanaan yang atraktif untuk proyek-proyek pembangunan baik
lembaga, sektor pemerintah maupun korporasi. Serta mengingat potensi industri
keuangan syariah yang masih memiliki ruang tumbuh yang semakin pesat,
sebagaimana pernyataan Dahlan Siamat sebagai Direktur Pembiayaan Syariah Dirjen
Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan, 2011
[22].
Proyek-proyek yang direncanakan pemerintah bersumber dari dana sukuk adalah 10
proyek konektivitas nasional yang menjadi bagian dari Masterplan Percepatan dan
Perluasan Pembanguanan Ekonomi Indonesia (MP3EI) senilai lebih dari Rp95
triliun. Sebagai dasar penerbitan sukuk pembiayaan proyek tersebut, telah
terbit Peraturan Pemerintah No.56/2011 tentang Pembiayaan Proyek melalui
Penerbitan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) pada 22 Desember 2011
[23].
3.2.2 Potensi
Sukuk sebagai Instrumen Proteksi Default
Risk pada Pembiayaan Mudharabah
Pembiayaan mudharabah yang
pada dasarnya berlandaskan bagi hasil akan begitu potensial jika disalurkan
kepada sektor usaha produktif yang memerlukan dorongan besar dalam
pengembangannya, misalkan melalui pembiayaan atau pemberian modal usaha. Hanya
saja, prosedur ini selalu menghadapi beragam kendala, baik dari sisi internal
perbankan syariah maupun sisi eksternal yang berasal dari nasabah. Dari sisi
internal perbankan syariah, misalnya: (a) kebijakan pembiayaan, terutama
ketika mempertanggungjawabkan
pengembalian dana kepada nasabah pemilik dana (sohibul maal), (2) lemahnya sistem administrasi dan pengawasan
pembiayaan pada perbankan syariah. Sedangkan dari sisi eksternal (nasabah),
misalkan (1) penurunan kegiatan ekonomi nasabah (mudharib) (2) katidakpastian usaha nasabah (mudharib). Di samping itu, kendala lain yang membuat bank syariah
kurang memahami nasabah ketika nasabah tersebut menjalankan usahanya sebagai mudharib adalah kekhawatiran gagal bayar
(default) dan kurangnya fariasi,
promosi dan fleksibilitas produk yang ditawarkan perbankan syariah. Bauran
antara produk perbankan dan instrumen pembiayaan atau permodalan akan menjadi
salah satu solusi dalam menjawab permasalahan ini. Melalui konsep penerbitan
sukuk misalnya.
Fungsi sukuk
sebagai salah satu instrumen pembiayaan yang diminati investor, serta
potensinya dalam menghimpun dana, yang juga didukung oleh karakter sukuk yang
dapat mengubah dana masa depan menjadi dana masa kini adalah salah satu solusi
pembiayaan
mudharabah yang masih
dianggap bank syariah (
sohibul maal)
sebagai pembiayaan yang
high risk of
default karena ketidakpastian. Demikian pula pada pembiayaan berskala besar
dengan risiko tinggi, hal ini memerlukan keterlibatan pemerintah yang bertindak
sebagai pemain utama selain bank syariah, serta berperan sebagai intermediator
dalam menerbitkan sukuk (obligasi syariah). Ketika landasan hukum sukuk
diterbitkan diharapkan
high risk
financing bukan lagi menjadi kendala berarti. Bahkan potensi dana-dana
simpanan syariah yang ditanamkan dalam bentuk sukuk dapat disalurkan untuk
membiayai proyek proyek pembangunan pemerintah yang berjangka panjang
[24]
Gambar 3.1: Konsep
Modifikasi Sukuk sebagai Solusi Funding
dan Protecting Risk pada Aplikasi Mudharabah
Keterangan :
Dalam konsep ini, kami menawarkan konsep
modifikasi sukuk untuk dijadikan sebagai 3 instrumen, yakni instrumen funding, instrumen financing, dan instrumen protecting:
3.3 Sukuk sebagai Instrumen Funding
3.3.1 Tujuan
Tujuan sukuk digunakan
sebagai instrumen funding adalah
untuk menghimpun dana dari pihak ketiga atau investor untuk nantinya digunakan
sebagai modal pembiayaan ke sektor bisnis. Dalam konsep ini penulis menjadikan
sukuk sebagai instrumen funding karena
sukuk merupakan instrumen investasi yang dianggap sebagai instrumen investasi
yang memiliki feasibilitas yang baik. Selama ini sukuk masih belum dioptimalkan
sebagai instrumen funding untuk
pembiayaan ke sektor start up bisnis
karena biasanya sukuk diprioritaskan untuk pembiayaan sektor-sektor yang sudah
dijamin oleh pemerintah dalam APBN.
Dalam praktek pembiayaan
dengan skim mudharabah di perbankan
syariah, salah satu kendala utama yang dihadapi adalah masalah sumber
pendanaan. Sumber pendanaan yang ada pada bank syariah masih didominasi oleh
pendanaan jangka pendek sehingga tidak sinkron dengan karakter pembiayaan mudharabah yang biasanya memiliki durasi
jangka panjang. Oleh karena itulah melalui modifikasi sukuk sebagai instrumen
funding diharapkan terdapat titik temu antara karakteristik sumber pembiayaan
dengan karakteristik pembiayaan mudharabah.
3.3.2 Mekanisme
Modifikasi sukuk sebagai instrumen funding
atau penghimpunan dana dilakukan melalui mekanisme berikut:
1.
Bank syariah sebagai intermediary sector memiliki produk penghimpunan dana
berupa produk deposito berjangka (1a)
, sebagaimana ilustrasi diatas yakni dengan nominal Rp500 juta dengan tempo
selama 5 tahun. Akan tetapi permasalahan yang berkembang saat ini adalah
kebanyakan deposito mudharabah
memiliki durasi jangka pendek sebagaimana sertifikat deposito pada bank
konvensional biasanya 12 bulan. Sehingga sumber pendanaan jangka pendek ini
tidak sesuai dengan karakter pembiayaan mudharabah yang biasanya jangka
panjang.
Oleh karena itulah atas dasar
produk deposito berjangka bank syariah ini, bank syariah menerbitan sukuk (1b) dengan nominal dan tempo yang sama,
yakni Rp500 juta selama 5 tahun. Target utama investor dari penerbitan sukuk
ini adalah nasabah atau pihak ketiga, namun tidak menutup kemungkinan juga jika
yang ingin berinvestasi adalah pemerintah atau pihak swasta lainnya. Karena
target investor utama dari sukuk ini adalah nasabah, maka sukuk ini dipecah
menjadi menjadi nominal yang lebih kecil yakni menjadi sukuk ritel deposito
berjangka (1c) . Adapun tujuannya
adalah agar investor yakni nasabah dapat menjangkau pembelian sukuk ini.
sebagaimana karakter sukuk pada umumnya, maka di tangan nasabah sukuk ini dapat
dipegang sampai jatuh tempo dan nasabah mendapat bagi hasil per periodik. Adapun
jika nasabah ingin melepasnya, maka sukuk ini dapat diperjual belikan pada
pasar sekunder.
3.3.3 Sistem Bagi Hasil
Sebagaimana umumnya pada pembiayaan dengan skema mudharabah, maka sistem bagi hasilnya ditentukan berdasarkan porsi
atau nisbah bagi hasil yang ditawarkan oleh issuer
(dalam hal ini bank syariah). dalam konsep ini sistem bagi hasil dapat
ditentukan dengan dua cara:
1)
Pemberian
bagi hasil per periodik, misalnya per triwulan, quarteran, enam bulanan, atau
tahunan
2)
Pemberian
bagi hasil pada akhir masa tempo sukuk, misalnya 5 tahun, 10 tahun dan
sebagainya.
3.4 Investasi Sukuk Sebagai Sumber
Pendanaan (Financing) Sektor Start up Bisnis
3.4.1 Mekanisme
Modifikasi sukuk sebagai instrumen
financing atau pembiayaan dalam konsep ini dilakukan melalui mekanisme berikut:
4
Dana
yang sudah terhimpun dari penerbitan sukuk (sukuk deposito berjangka Rp 500
juta tempo 5 tahun) digunakan sebagai modal pembiayaan ke sektor bisnis (2a). Dalam menyalurkan pembiayaan ini
yang harus diperhatikan adalah peran bank syariah hanya sebagai intermediary sector (wakil shahibul
maal) bukan sebagai shahibul maal. Hal ini menjadi sangat penting agar nantinya
bank syariah tidak terbebani dengan risiko jika sektor bisnis yang dibiayai
mengalami kegagalan (default). Sehingga dalam konsep pembiayaan bagi hasil ini,
shahibul maal sepenuhnya adalah nasabah/investor dan mudharib adalah pengelola
bisnis, sedangkan bank syariah hanya sebagai intermediary sector saja.
Ketika dana tersebut
diinvestasikan ke sektor bisnis, maka bank syariah harus menetapkan tujuan (liability management) dimana 80% dari
dana tersebut (2c) harus
dialokasikan untuk pembelian aset yang mudah likuid dan memiliki tingkat
penggerusan nilai yang rendah oleh sektor bisnis seperti pembelian
barang-barang produksi, seperti mesin, tanah atau bangunan dan sejenisnya. Hal
ini bertujuan untuk mengamankan nilai investasi akibat inflasi atau penggerusan
nilai. Selanjutnya 20% dari modal pembiayaan tersebut digunakan untuk biaya
operasional bisnis dan keperluan maintanance atau overhead cost (2b).
Porsi untuk operasional seharusnya memang tidak dibebankan melalui modal
pembiayaan, hal ini karena dana tersebut merupakan dana investasi yang akan
dikembalikan dan dipertanggungjawabkan kepada investor. Dengan kata lain
penentuan alokasi tersebut menggunakan akad mudharabah
muqayyadah.
Sedangkan untuk pendanaan
lain, seperti pembelian bahan-bahan produksi atau dana non operasional lainnya
yang tidak bisa dicover oleh dana sukuk bisa menggunakan sumber pendanaan lain,
seperti qard hasan atau dana sosial yang berasal dari zakat, infaq, shadaqah,
wakaf atau pun dana CSR.
3.5 Sukuk sebagai Instrumen Protecting
3.5.1 Tujuan
Tujuan dari modifikasi sukuk
sebagai instrumen protecting karena
pada umumnya karakter sektor bisnis yang tertarik dengan pembiayaan dengan
menggunakan akad mudharabah adalah sektor bisnis yang 1) memiliki tingkat
keuntungan yang tidak terlalu besar 2) sektor bisnis yang mempunyai resiko
tinggi. Adapun tujuan utama dari modifikasi sukuk ini adalah untuk mengcover default risk atau risiko gagal bayar
oleh sektor bisnis (mudharib) kepada
investor (shahibul maal). Default risk dalam hal ini dibagi
kedalam dua garis besar, yakni kegagalan dalam pemberian bagi hasil dan
kegagalan dalam pengembalian modal.
Gambar 3.2: Sukuk sebagai Instrumen Proteksi Risiko Default
Sumber: diolah penulis
5
Modifikasi
sukuk sebagai instrumen protecting berarti bahwa sukuk digunakan sebagai
instrumen perlindungan terhadap pembiayaan mudharabah pada perbankan syariah.
salah satu permasalahan utama pengembangan skim pembiayaan berbasis mudharabah
pada perbankan syariah saat ini adalah tingginya risiko pada sistem pembiayaan
ini. pada skim pembiayaan mudharabah, modal 100% berasal dari investor sehingga
investor sulit untuk mempercayakan dana mereka untuk dikelola dengan skim ini.
Selain itu masih belum pastinya keuntungan dari bisnis yang dijalankan, dan moral hazard dari mudharib merupakan hal-hal
yang menjadi penghambat pengembangan pembiayaan berbasis mudharabah di
perbankan syariah.
Penulis mengakui bahwa
banyak jenis-jenis risiko yang kemungkinan akan terjadi pada pembiayaan mudharabah. Oleh karena itulah dalam
konsep ini, penulis memfokuskan modifikasi sukuk sebagai instrumen protecting pada pembiayaan mudharabah dikhususkan pada default risk, yakni risiko gagal bayar
pada pengembalian dana nasabah yang diinvestasikan pada pembiayaan mudharabah. Adapun mekanisme yakni, pada
saat mudharib menggunakan dana
tersebut untuk membeli aset (80%) dan biaya operasional dan maintanance (overhead cost) (20%) kemudian bank syariah menerbitkan sukuk
protecting risk (3a) dengan nominal maksimal 100% dari total pembiayaan (maks 100%
dari 80% nilai aset, dan maks 100% dari 20% nilai biaya operasional dan biaya
maintanace) (3b). Sukuk ini kemudian
ditawarkan kepada asuransi sebagai institusi penanggung risiko (3c). Dana dari hasil penerbitan sukuk
ini yang mana investornya adalah perusahaan asuransi, maka dana tersebut akan
dikelola oleh bank syariah sesuai dengan kebijakan bank syariah dengan prinsip
bagi hasil (3d). Dana bagi hasil
yang dibagikan oleh bank syariah diposisikan sebagai dana premi atas risiko
yang ditanggung oleh perusahaan asuransi (pembiayaan mudharabah), dana bagi
hasil tersebut akan diberikan selama tempo waktu sukuk, yakni selama 5 tahun (3e). Jika selama tempo waktu
penanggungan (5 tahun) tidak terjadi risiko, maka pihak asuransi akan mendapat
keuntungan melalui pembayaran bagi hasil (premi) yang dibayar selama 5 tahun
tersebut, akan tetapi jika pada tempo waktu tersebut terjadi default pada
sektor bisnis, maka pihak asuransi akan mengcover risiko kerugian tersebut.
3.5.2 Skema Protecting Default Risk
3.5.2.1 Proteksi terhadap Pembayaran Bagi Hasil
Porsi atau nisbah bagi hasil
dalam sukuk basanya ditentukan dari
tingkat imbal hasil (kupon) yang ditawarkan oleh issuer. Risiko kegagalan dalam pembayaran bagi hasil bisa terjadi
jika sektor bisnis mengalami kerugian. Dalam hal sharing risk sektor bisnis akan berhubungan dengan sektor asuransi
melalui peran intermediasi bank syariah. dalam hal ini perusahaan asuransi
hanya memproteksi pembayaran bagi hasil jika sektor bisnis mengalami kerugian.
Sebagaimana mekanisme diatas ketika perusahaan asuransi sebagai investor yang
membeli sukuk protecting risk, maka dana investasi dari perusahaan ssuransi
tersebut akan dikelola oleh bank syariah dengan prinsip bagi hasil, dimana bank
syariah akan mengelola dana investasi tersebut ke sektor yang prospek dan
memiliki tingkat keuntungan yang tinggi untuk memastikan dana investasi
perusahaan asuransi tetap menguntungkan. Bagi hasil akan dilakukan sesuai
dengan ketentuan bagi hasil antara investor (shahibul maal) dengan sektor
bisnis (mudharib) sehingga pada saat tiba waktu bagi hasil investor dengan
sektor bisnis maka pada saat yang
bersamaan juga waktu bagi hasil antara perusahaan asuransi dengan bank syariah.
adapun kemungkinan yang terjadi yakni, jika sektor bisnis menguntungkan, maka
sektor bisnis dapat menutupi kewajiban bagi hasil dan disaat yang bersamaan
asuransi mendapat keuntungan dari bagi hasil. Sedangkan ketika sektor bisnis mengalami
gagal bayar kewajiban bagi hasil, maka sektor asuransi akan mengcovernya dari
dana bagi hasil yang diperoleh dari bank.
Gambar 3.3: Skema Proteksi terhadap Pembayaran Bagi Hasil
Sumber: diolah penulis
3.5.2.2 Proteksi terhadap Pembayaran Modal Investor
Dalam rangka proteksi
terhadap pembayaran modal investor (modal pokok), maka perusahaan asuransi akan
mengandalkan dana investasi yang dikelola di bank syariah. sebagaimana alokasi
dana investasi sukuk yakni 80% digunakan untuk pembelian aset likuid dan 20%
untuk overhead cost, maka inilah yang
harus dicover oleh perusahaan asuransi. Menurut hemat penulis, resiko yang akan
ditanggung oleh perusahaan asuransi rendah karena 80% dana investasi digunakan
untuk pembelian aset likuid oleh sektor bisnis sehingga dana relatif aman,
adapun kemungkinan kerugian seperti bencana alam, kebakaran, ataupun
penyusutan. Sedangkan untuk alokasi overhead
cost. Jika sektor bisnis mengalami kerugian, maka pada saat jatuh tempo
akan dicover oleh dana investasi dari pembelian sukuk protecting risk yang dibeli oleh perusahaan asuransi. Karena pada
saat jatuh tempo sukuk yang dipegang oleh perusahaan asuransi akan dibeli
kembali oleh bank syariah sebagai issuer,
dana pembelian kembali inilah yang digunakan sebagai modal jika nantinya sektor
bisnis mengalami kegagalan. Sedangkan jika sektor bisnis tidak mengalami
kegagalan, maka perusahaan asuransi akan mendapatkan keuntungan dari bagi hasil
pengelolaan dana (tingkat imbal hasil/kupon) dari sukuk yang dibelinya.
Gambar 3.4: Skema Proteksi terhadap Pembayaran Mudal Investor
Sumber: diolah penulis
3.6 Pola Hubungan antara Investor, Bank Syariah, dan Sektor Bisnis
Dalam konsep ini pola
hubungan antara investor, bank syariah, dan sektor bisnis dapat dijelaskan
melalui mekanisme berikut:
Dalam konsep ini investor bertindak
sebagai shahibul maal, bank syariah memiliki posisi murni sebagai intermediary
sector, yakni sebagai wakil investor (shahibul
maal) ketika berhubungan dengan sektor bisnis (mudharib) (4a) sekaligus
sebagai wakli mudharib atau pengelola
dana ketika berhubungan dengan investor (4b).
Sehingga apabila sektor bisnis (mudharib)
menghasilkan profit, maka profit tersebut akan dihandle oleh bank syariah agar nantinya dibagikan sesuai dengan
porsi atau nisbah yang sudah ditentukan (4c).
Sedangkan ketika tempo pembiayaan telah habis (5 tahun) maka aset yang dimiliki
akan digunakan sebagai modal pengembalian dana kepada investor. Ada 3 skim yang
bisa dilakukan untuk hal ini:
1)
Aset
dijual dengan catatan jika sektor bisnis tidak berjalan sesuai dengan harapan
2)
Aset
dikonversi menjadi saham jika sektor bisnis memiliki prospek cerah dan investor
menginginkan kepemilikan dari sektor bisnis tersebut
3)
Aset
tersebut dijadikan dasar untuk penerbitan sukuk kembali untuk memperoleh dana
segar untuk pengembalian modal kepada investor awal jika investor menginginkan
modal dalam bentuk cash.
Gambar 3.5: Pola Hubungan antara Investor, Bank Syariah dan Sektor
Bisnis
Sumber: diolah penulis
6
Simpulan
6.1 Minimnya
pembiayaan mudharabah pada perbankan
syariah disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya: (1) sumber dana yang
dihimpun perbankan syariah relatif dana-dana jangka pendek, sedangkan
pembiayaan mudharabah adalah jenis
pembiayaan jangka panjang, oleh karena itu, bagi bank syariah akan sangat
riskan jika dana-dana yang terhimpun disalurkan melalui skim mudharabah, sebab berpengaruh pada likuiditas
perbankan dalam melunasi kewajibannya kepada sohibul maal (investor) pertama. (2) Tingkat keuntungan yang
dijanjikan melalui sistem mudharabah
dengan konsep bagi hasil adalah jenis keuntungan yang tak pasti (uncertainty) jika dibandingkan dengan
akad lain semisal jual-beli (murabahah).
Hal ini disebabkan sifat bisnis yang dijalankan mudharib yang fluktuatif dan iklim usaha yang dinamis. (3) Biaya
operasional pada pembiayaan mudharabah yang terlalu besar karena tidak
ditentukan di awal kontrak, baik jenis biayanya, besaran maupu siapa
yangmenanggungnya. (4) Lemahnya sistem proteksi terhadap risiko yang terjadi
pada pembiayaan mudharabah. Risiko yana paling dominan pada pembiayaan
mudharabah di bank syariah adalah default (gagal bayar) nasabah, sehingga
selain menerapkan agunan (jaminan), perbankan juga memerlukan infrastruktur dan
produk perlindungan tertentu atau melalui jaminan yang diberikan oleh lembaga
penjamin.
6.2
Permasalahan sumber pendanaan mudharabah pada bank syariah adalah dana-dana mudharabah didominasi oleh produk deposito jangka pendek. Hal ini
akan sangat membatasi fungsi dan karakter perbankan syariah melalui konsep bagi
hasil yang menjadi core utama, dimana
konsep bagi hasil dinilai begitu cocok untuk disalurkan padasektor produktif,
namun penyaluran pembiayaan pada sektor produktif membutuhkan jangka panjang.
Permasalahan ini membutuhkan solusi penyelesaian berupa sumber dana-dana
mudharabah jangka panjang yang besar dan potensial melalui modifikasi sukuk
dengan dasar deposita berjangan.
6.3 Konsep
modifikasi sukuk sebagai solusi funding dan protecring pada aplikasi mudharabah
merupakan konsep yang digagas dan ditawarkan oleh penulis untuk mengatasi
permasalahan pendanaan dan perlindungan terhadap resiko pada pembiayaan
mudharabah. Sukuk sebagai solusi funding dalam konsep ini dimana bank syariah
menerbitkan sukuk ritel deposito berjangka untuk menarik dana dari investor
yang digunakan untuk pembiayaan dengan skim mudharabah. Sedangkan sebagai
instrumen protecring dimana bank syariah menerbitkan sukuk default risk atas
dasar pembiayaan di sektor bisnis, dimana sukuk ini melindungi resiko gagal
bayar bagi hasil dan gagal bayar modal pokok kepada investor. Sukuk protecting
risk ini ditawarkan oleh bank syariah kepada perusahaan asuransi sebagai
institusi penanggung risiko.
7
Ucapan
Terima Kasih
Ucapan terima kasih atas dukungan
yang telah diberikan oleh banyak pihak menghantarkan penulis untuk
menyampaikannya kepada:
7.1
Manajemen Sekolah Tinggi Ekonomi Islam (STEI) Tazkia, Dr. Mohammad Syafi’I Antonio selaku
Ketua, beserta Wakil Ketua, Ketua Jurusan, Ketua Bidang Kemahasiswaan beserta
staff.
7.2
Bapak Dr.
Yulizar Sanrego, M.Ec selaku dosen pembimbing.
7.3
Teman-teman di kampus STEI Tazkia serta seluruh kader
Ekonom Robbani, Ekonomi Islam.
7.4
Serta yang terkhusus penulis sampaikan kepada kedua
orangtua tercinta yang telah dengan ikhlas mendoakan.
8
Daftar
Pustaka
A.Karim, Adiwarman. 2001, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer. Gema
Insani. Jakarta. cetakan pertama
Abdul Manan, melalui Analisis
Sukuk. Jurnal Ilmiah Universitas Sumatera Utara
Anonim. Analisis Sukuk. Jurnal Ilmiah Universitas Sumatera Utara
Ardiansyah, Dimas. 2013. Implementasi Pembiayaan dengan Akad
Mudharabah. Jurnal Ilmiah Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas
Brawijaya.
Bank Indonesia, 2012 malalui
outlook Perbankan Syariah 2013
Fatah, Dede Abdul. 2011. Perkembangan Obligasi Syari’ah (Sukuk) di
Indonesia: Analisis Peluang dan Tantangan. Innovatio, Vol. X, No. 2,
Juli-Desember 2011 UIN Syarif Hidayatullah.
Firdaus, Muhammad, dkk. 2005. Pada Abdul Manan, melalui Analisis Sukuk. Jurnal Ilmiah
Universitas Sumatera Utara
Ibrahim, M. Anwar. Konsep Profit
and Loss Sharing System Menurut Empat Madzhab. Makalah ini tidak
diterbitkan
Ihsan, Muntoha. 2011. Pengaruh
Gross Domestic Product, Inflasi, dan Kebijakan Jenis Pembiayaan Terhadap Rasio
Non Performing Financing Bank Umum Syariah di Indonesia Periode 2005 Sampai
2010. Skripsi Universitas Diponegoro Semarang
Islamic Bank (iB) 2009. Perbankan
Syariah: Lebih Tahan Krisis Global. Diakses melalui www.google.com pada 24
Mei 2013 pukul 11.00 wib.
Latifa M. Alqaoud dan Mervyn K. Lewis. 2005. Perbankan Syariah, Prinsip, Praktik, dan Prospek. terjemahan Burhan
Wirasubrata. Serambi. Cetakan II. Jakarta
Maliha, Hasna. 2011. Mengapa Bank
Syariah Relatif Lebih Tahan Krisis?: Aplikasi Logistic Regression untuk Sistem
Deteksi Dini Krisis Finansial di Indonesia. Paper. dalam aamslametrusydianan.blogspot.com diakses pada
24 Mei 2013 pukul 11.00 wib
Mi’raj, denizar, dkk. 2012. Kolaborasi
antara Perbankan Syariah dan BIC (Business Innovation Center) untuk Pembiayaan
Karya Cipta Anak Bangsa sebagai Modifikasi Sasaran Produk Mudharabah dalam
Rangka Meningkatkan Perekonomian Nasional. Makalah Universitas Airlangga.
Nugraheni, Sri Retno. 2011. Analisis
Daya Tahan Perbankan Syariah Terhadap Fluktuasi Ekonomi di Indonesia.
Skripsi Institut Pertanian Bogor
Rania El Gamal. Sukuk: New
buzzword for Islamic finance. www.kuwaittimes.net, diakses 16 November
2010. Melalui jurnal ilmiah Universitas Sumatera Utara
Rifki Ismail. Ganjalan Bank
Syariah. Opini Republika. Senin 10
Desember 2007 pada Fatahullah. Implementasi
Prinsip Bagi Hasil dan Risiko di Perbankan Syariah (Studi di Perbankan Syariah
Cabang Mataram). Tulisan Ilmiah Universitas Mataram
Sunarsip, 2008. Prospek Sukuk di
Indonesia. dimuat pada Harian
Ekonomi dan Bisnis Kontan pada Kamis, 26 Juni 2008
Syam, Taufik R. Mudharabah dalam
Perspektif Fiqh dan Praktek Perbankan Syari’ah. Cakim PA Ciamis
Sumber lain:
www.dmo.or.id melalui jurnal Universita Sumatera Utara diakses pada 23
Mei 2013 pukul 10.00 wib
http://id.berita.yahoo.com/blogs/beritabca/berinvestasi-sekaligus-donasi-melalui-sr-005-083654150.html
diakses pada 21/5/2013 pukul 09.02 wib
http://mujahidinimeis.wordpress.com/2011/01/18/manajemen-resiko-pembiayaan-mudharabah/ 20 Mei 2013 pukul 06.34 wib
http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/keuangan/13/04/24/mlrqqz-belum-ada-penerbitan-sukuk-terkait-proyek-kereta-api-cirebonkroya
diakses 25 Mei 2013 pukul 09.00 wib
www.indonesiafinancetoday.com/Penerbitan-Sukuk-Global-2013-Bisa-Tembus-Rekor/
ditulis oleh Fithriani dan Rakhmatullah dalam www.ibpa.co.id diakses pada 22
Mei 2013 pukul 14.00wib
Infobanknews.com/ diakses pada 21 Mei 2013 pukul 09.39 wib
www.syariahmandiri.co.id/Sukuk-Pembiayaan-Proyek-Terbit-Semester-II/
diakses pada 21 Mei 2013 pukul 10.13 wib