Semangat dalam melakukan sesuatu pasti ada penyebabnya. Semangat karena ada tujuan yang ingin dicapai, ada tujuan ada impian. Tapi ketika tujuan itu hilang, maka hilang juga semangatnya. Tak ada yang ingin dan bisa dilakukan (lagi). Ini terkait hal-hal yang begitu sensi kalau dibahas umum. Hal yang sering terfikir tapi kadang kala hilang tapi akhirnya muncul kembali. Nelangsa yang jauh tentang harapan yang tak pernah bisa diharapkan.
Sebelum pergi dari zona yang selalu membuatmu terus merasa nyaman, penuh kebahagiaan dan merasa sudah banyak hal-hal yang menyayangimu adalah keputusan yang sulit. Ketika mencoba pergi dari zona itu, jangan fikir kau tak akan pernah merindukan zona itu lagi, suatu saat takdir akan mengembalikanmu. Tapi, ketika kau kembali, semua unsur dalam zona tersebut belum tentu menerima kau kembali sama. Kau telah asing bagi mereka bahkan mungkin bukan bagian mereka lagi, mereka lupa kau pernah ada, pernah menjadi mereka. Jadi wajar jika tak ada bagian yang kecil untukmu lagi selain ruang lingkup yang lebih sempit. Tak usah ditangisi, itulah keputusan. Kau akhirnya makan si malakama yang tadinya sedikitpun tak kau timbang bobot dan pahitnya. Kau ingin kembali tapi terusir dan ingin pergi tapi menginginkan melepas kekangenan. Iya, kau harusnya berfikir (lagi) di awal yang akan membuatmu piawai lebih dini, bijak tapi bukan tua.
Seperti racun yang asing, kau tak diinginkan. Semua serum tubuh tak memberi mu ruang untuk bertahan lama, kau hanya diberikan waktu senggang yang sebentar sebelum cairan-cairan kekebalan merobek-robek keberadaanmu. Kau hanya punya waktu sebentar untuk berfikir dimana tempat membuang diri yang paling jauh, hingga bayanganmu tak mampu mengejar lagi. Jika boleh memilih aku mengingini tak ada bercak hitam, tapi itu bukan hidup, bercak hitam yang selalu melekat membuat penanda diri yang paling pasti. Semua melihat pada tanda hitam itu, padahal ada sisi putih lain yang lebih banyak sebarannya, tapi mereka tak mau berfikir (lagi) tentang hidup, tentang mati, atau tentang apalah...
Kadang lelah menunggui hidup, kadang puncak tak tau lagi hendak tinggi didaki. Semua sudah kelelahan. Rasanya harapan itu usai, tapi menyerah hanya bagi mereka yang tak memiliki iman. Biarlah sulit setengah hidup, tapi inginnya posisi ini tetap dekat dengan cahaya, meski redup cahaya teplok, tapi tetap mungkin menunutun hingga tapal batas yang tak bisa diterka mulai kelihatan ronanya. Janganlah sedih.. biarlah mereka menikmati senyum ini yang memang tak indah, biar mereka berfikir kebahagian bagi siapapun itu yang mengingini, semua berhak atas kebahagiaan yang dapat kau beri, meski tinggal sedikit. Siksa dan luka untukmu sendiri, tak ada yang akan membantu meminggul dosa. Aku malu menghadapNya tanpa membawa bekal, tapi aku tak mau bercak hitam terus tumbuh dan membawaku semakin dekat pada jurang terjal yang curam. Aku harus berfikir (lagi) andai waktu bisa ditawar, aku memilih kembali dekat padaNya tanpa dramaga fana ini. Tanpa stasiun yang singkat ini, Tanpa bandara yang tak tahu kapan panggilan boarding pass. Aku ingin dekat denganNya tanpa fatamorgana...
Aku rindu saat itu, saat aku masih bisa ada dan merengek. Aku rindu saat kau menangis untukku, atau saat kau ingin aku mengikuti semua yang kau pinta, jika tidak, tarunglah. Jotos-jotosan.. aku rindu saat menggendong melihat bola kampung di lapangan. Aku rindu saat mendengar dongeng-dongeng jadul di kala malam selepas isya dan makan.. aku rindu saat dering telepon menanyakan dimana, kapan, dengan siapa. Aku rindu celotehanmu menunggu aku bergegas sarapan. Aku rindu rebutan alat-alat sekolah dan rumah. Aku rindu makan siang bersama dengan canda. Aku rindu jalanan penuh sesak pasar. Aku rindu kau buatkan roti isi, atau koran-koran sripo yang sengaja kau taruh sebagai pancingan aku membaca. Aku kangen main kembang api yang itu, yang kau celotehi kami karena berisiknya. Aku rindu compang-camping jiiidd.. aku rindu legenda pak belalang dan malin kundang. Aku rindu tangisanmu untuk dijemput, untuk diajari perkalian. Aku kehilangan momen itu ketika ku pilih ini dan itu. Aku ingin kalian ada. Itulah mengapa ada pungguk merindukan kandangnya yang jauh di hulu. Tapi biarlah aku jadi jelantik yang hinggap di dahan yang tak kokoh, agar tenggernya sebentar. Tukar saja, tukarlah sehat ini. Tukarlah separuh, agar itu ada lagi. Tukarkan dengan lebih banyak tawa, daripada 1000 derita. Tukarlah dengan mimpi yang tinggi, dari pada gelap yang menakutkan...Meski ada namun tak tampak, entah ada atau hanya tinggal cerita...
Sejenak aku berfikir (lagi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar