Bogor,
6 November 2012
Yth. Bapak Dahlan Iskan
Di Tempat
Assalamualaikum Warahmatullohi Wabarokatuh
“Tapi, aku janji akan bertahan. Selain harus
bayar cicilan sepeda, aku juga ingin sekali punya sepatu. Ibu masih ingat mimpi
besarku itu, kan?” (Khrisna Pabichara, 2012, hal. 312)
Saya sengaja membuka surat ini dengan menghadirkan tulisan Dahlan kecil
di dalam diary-nya, Pak. Karena
kalimat ini begitu mewakili maksud surat yang akan saya jabarkan kepada anda
sekarang. Kalimat yang sederhana, tapi benar-benar menelusuk hingga ke dalam
hati saya. Bergetar-getar di dua gendang telinga saya, dan terus tertancap di
ingatan. Bukan karena apapun, tapi karena goresan impian yang ia tautkan di
sana. Ada kekuatan yang tak terlihat yang seakan juga menyemangati saya, tentang
bagaimana bermimpi, dan usaha keras untuk mencapainya.
Hari ini, saya akan terus mengingat hari ini, Pak. Pasalnya, sekarang
saya merasa sedang duduk bersama anda, mengobrol atau berbincang. Sama sekali
saya tidak merasa sedang menulis sebuah surat. Memang aneh. Kenapa? Karena saya
tidak sedang menyampaikan keluhan-keluhan kenegaraan, atau mengajukan
pertanyaan-pertanyaan mengenai geliat BUMN masa kini, bahkan tidak juga
membahas isu-isu politik terbaru. Tapi hari ini, melalui surat singkat ini, saya
hanya ingin berbagi tentang sebuah impian, tentang motivasi dan cita-cita. Kita
berbagi mengenai masa depan. Itulah mengapa saya merasa bahwa saya sedang duduk
bersama paman, guru, bahkan sahabat saya sendiri, bukan bersama seorang menteri
kenamaan di negeri ini, Pak Dahlan Iskan.
Tak ada impian yang tak akan terwujud. Inilah kalimat yang selalu
membangkitkan gairah saya mengejar mimpi. Sesulit apapun itu, impian saya
adalah tugas utama yang harus diselesaikan, Pak. Saya tidak ingin kalah dengan
seorang anak dari Kebon Dalem. Saya tak ingin kalah darinya, Pak, dalam meraih
mimpinya, yaitu sepatu ataupun sepeda.
Sama dengan Dahlan kecil, Impian
saya pun meliputi dua hal; Belajar ke luar negeri dan Jepang. Tak kalah dengan
impian Dahlan kecil, ya Pak? Sepatu dan sepeda. Mesti terdengar begitu
sederhana, namun tetap saja dua-duanya adalah mimpi bagi saya.
Sejak duduk di bangku kuliah di
Bogor, saya memiliki hobi baru, yaitu nonton film di laptop. Ini dikarenakan
saya kuliah di daerah rantau. Kosan saya begitu sederhana, dan tidak memiliki televisi.
Hiburan yang bisa saya nikmati selain internet adalah nonton film, Pak.
Sayangnya, karena bukan terhitung anak gaul, saya tidak begitu tahu film-film
bagus. Tapi satu yang saya tahu, saya kurang suka nonton western film. Entah-lah, Pak, sebagus apapun film barat yang
ditawarkan teman-teman saya, saya tetap kurang suka menontonnya. Akhirnya
karena tahu saya tidak suka nonton film barat, teman-teman saya memberi alternatif
lain, yaitu film-film asia. Saya begitu suka beberapa, salah satunya adalah
film-film dari negeri sakura, Jepang.
Tidak seperti film-film pada umumnya, film garapan negeri sakura memiliki
ciri khas tersendiri, yaitu pengetahuan, adat, dan teknologi serta penggambaran
kedesiplinan yang kuat. Sejak saat itulah saya begitu ingin melihat negeri
sakura secara langsung. Menapakkan kaki di sana, belajar banyak, bahkan
menggali ilmu-ilmu yang tak pernah saya tahu sebelumnya, mencari lebih dalam
mengenai kaizen, serta ketimuran yang
khas. Saya ingin itu semua.
Karena mimpi besar inilah, saya
terus mencari cara agar bisa menginjakkan kaki di sana. Beragam program festival
persahabatan dan kebudayaan Indonesia-Jepang selalu saya hadiri di Bogor.
Jarang sekali terlewat. Bahkan, jika ada festival kebudayaan dan persahabatan
di Jakarta pun, saya sepenuh hati untuk hadir di sana. Sebut saja seperti
Matsuri dan Jak-Japan festival. Saya tak pernah ketinggalan untuk datang, jika
sedang bertepatan dengan jadwal kuliah yang kosong. Dan beruntungnya, festival
ini sering kali diadakan pada saat weekend
saja, Pak.
Karena terlalu sering saya hadir di
acara kebudayaan dua negara ini; Indonesia dan Jepang, saya semakin
berkeinginan bisa langsung belajar, atau meneruskan kuliah di negeri sakura.
Bahkan saya sempat belajar bahasa Jepang dari beberapa kakak tingkat saya yang
pernah menginjakkan kakinya di sana, Pak. Tak hanya sampai di sana, saya pun
sering menghabiskan waktu di salah satu toko buku untuk membaca pengalaman para
back packer yang berpetualang ke
negeri sakura dengan modal nekat dan uang seadanya. Pasalnya tak sedikit mitos
yang menyebutkan bahwa Jepang, tepatnya Tokyo adalah salah satu kota dengan
biaya hidup termahal di dunia. Setidaknya itu info yang sempat saya simak.
Begitu menggilanya saya ketika membaca beberapa cerita para back packer mengenai keindahan Jepang,
modernisasi di segala bidang, namun tanpa meninggalkan kebudayaan tradisional
yang kental. Andai saja, Pak, saya bisa menjadi bagian dari para petualang itu,
betapa bahagianya saya.
Untuk tahu Jepang dan kebudayaannya,
saya juga selalu membaca beberapa artikel di internet dan mengikuti milis
pelajar Indonesia yang bisa kuliah di sana atau orang Indonesia yang bekerja di
Jepang. Saya tahu alamat milis ini pun, hasil dari search di internet, Pak. Melalui cerita-cerita pelajar Indonesia di
Jepang itulah, saya merasa semakin semangat untuk bisa melihat indahnya Hokkaido
secara langsung, bertualang hingga ke Shikoku dan tak lupa menyambangi kota
Tokyo yang begitu sibuk, katanya. Saya ingin sekali menemukan patung Hachiko
yang begitu melegenda, melihat anak-anak sekolah menyandang rodenseru, bahkan berburu Gyu Don dan Ramen khas Jepang yang halal. Saya ingin itu semua. Saya ingin
seperti Dahlan kecil yang terus bersemangat karena mimpinya. “Sepenuh daya aku berusaha meraih
mimpi-mimpi itu, dan tak berhenti sampai aku benar-benar memilikinya”
(Khrisna Pabichara, 2012, hal. 338)
Satu cerita gila yang pernah saya
lakukan berkaitan dengan mimpi saya agar bisa belajar ke Jepang adalah
pemburuan beasiswa monbukagakuso dari Kedutaan Besar Jepang di Jakarta.
Pasalnya, saya mendaftar tanpa seizing kedua orang tua saya di rumah. Jika
keduanya tahu, maka tentu akan lebih sulit lagi. Orang tua saya berharap saya
fokus pada pendidikan strata satu di kampus saya sekarang. Karena biaya kuliah
saya sebenarnya berasal dari beasiswa full
yang diberikan kampus. Jika saya tidak serius menjalani, maka kontrak
dibatalkan. Itulah yang ditakutkan kedua orang tua saya. Menurut kedunya, Pak,
di dalam atau luar negeri sama saja, asal serius menekuninya. Sehingga sulit
sekali meyakini mereka bahwa tes beasiswa Jepang ini hanyalah uji coba, hanya
untuk mengukur apa saya mampu menyelesaikannya dengan baik. Tapi kedua orang
tua saya tetaplah bersikukuh agar saya fokus pada kuliah saya di Bogor. Jadilah
saya diam-diam ke Kedutaan Jepang di Jakarta untuk mengisi formulir dan
menyerahkan syarat kelengkapan berkas dan administrasi. Formulir monbukagakuso
tersedia dalam dua bahasa, yaitu bahasa Inggris dan bahasa Jepang. Dengan bismillah saya tarik form berbahasa
Inggris. Ternyata, formulir beasiswa ini dimaksudkan untuk mengetahui seberapa
besar ketertarikan para pemburu beasiswa akan belajar di Jepang, dan jurusan
apa yang akan mereka geluti, serta pilihan universitas yang telah mereka
rencanakan.
Saya pun menjabarkan beberapa alasan
saya dan menceritakan ketertarikan saya akan Jepang. Saya memilih jurusan yang
ada kaitannya dengan studi saya di kampus yaitu ekonomi dan bisnis. Dan memilih
Tokyo University, Pak. Setelah itu, saya serahkan pelbagai kelengkapan seperti:
ijazah, surat keterangan kelulusan SMA dan beragam persyaratan lain termasuk
sertifikat kegiatan dan prestasi yang pernah diraih. Harapan besar bagi saya
untuk bisa tembus tes beasiswa ini. Jika tahap ini lulus, Pak, masih akan ada tiga
tes lagi menanti ke depan, yaitu kemampuan akademik, wawancara dan kesehatan. Saya
terus menunggu penuh harap.
Satu bulan saya menunggu, Pak, tapi
belum juga ada jawaban. Hingga tibalah masa liburan bertepatan UAS (ujian akhir
semester) berakhir. Kedua orang tua saya meminta saya pulang, karena mereka
kangen dengan anak gadisnya ini. Saya pun pulang. Kurang lebih satu minggu saya
di rumah, di sore hari ketika saya sedang memijat kaki ibu saya, sebuah nomor
asing masuk ke handphone saya. Kode teleponnya adalah kode Jakarta. Saya angkat
telepon itu, dan betapa bahagianya saya ketika mendengar bahwa yang menelpon
merupakan salah seorang staff kedutaan
Jepang yang mengurus penerimaan beasiswa monbukagakuso. Ia menyatakan saya
lulus tahap pertama dan diminta datang ke Depok di salah satu universitas di
sana untuk mengikuti seleksi tahap berikutnya. Dengan lembut saya meminta mbak
Puti, nama yang menelepon saya dari kedubes, untuk mengulangi apa yang beliau
infokan kepada saya. Sesaat sebelum mbak Puti mengulangi, saya tekan tombol loud speaker dari handphone saya, Pak.
Dengan harapan ibu saya yang sedang duduk di dekat saya turut mendengar kabar
baik itu. Setelah selasai mbak Puti mengulangi, saya ucapkan terima kasih
padanya, dan menyanggupi untuk hadir di seleksi ke depan, sebelum akhirnya
pembicaraan kami akhiri.
Di luar dugaan saya, Pak. Bukan
senyum atau raut gembira yang saya dapati dari wajah ayu ibu, tapi malah
sebaliknya. Beliau marah dengan apa yang barusan beliau dengar. Ibu kecewa
kenapa saya tidak memberitahukan beliau atau ayah sebelumnya. Kenapa saya tak
mau konsisten dan loyal terhadap beasiswa yang telah saya peroleh sebelumnya
dari kampus saya di Bogor. Ibu serta merta meminta saya untuk melupakan seleksi
berikutnya di Depok. Saya tiba-tiba terdiam, Pak. Tak ada yang bisa saya
jelaskan atau membantah pun saya tak berani. Padahal ingin sekali saya katakan
bahwa ini hanya ajang coba-coba, apa saya mampu ikut tes beasiswa Jepang. Tapi,
yah sudah-lah, Pak. Kemarahan ibu
membuat saya bisu kehilangan alasan atau sanggahan. Saya pun berdiri dan
berjalan menuju kamar. Tapi, satu yang saya ingat, Pak. Sebelum saya melangkah,
ibu katakan bahwa saya selesaikan dengan serius S-1 di Indonesia dulu, setelah
menikah dan kerja, jika ingin melanjutkan S-2 keluar negeri silahkan saja.
Kata-kata ibu inilah yang membuat saya senang dan kembali bersemangat, meski
sedikit kecewa. Padahal ya Pak, jika saya sedang di Bogor saat itu, mudah saja
bagi saya untuk naik kereta ke tempat seleksi dan menjalaninya, hmm.. sudahlah, mungkin bukan rejeki
saya.
Sejak saat itu, saya membuang
jauh-jauh niatan untuk mencari beasiswa ke Jepang saat ini. Saya mulai
memikirkan nasihat ibu. Kini saya sibuk terus belajar bahasa Jepang dari kamus
dan search hal-hal yang menarik
mengenai Jepang. Saya pun menuliskan daftar mimpi-mimpi indah saya saat
menginjakkan kaki di Jepang pada dinding kamar kost saya, dengan harapan suatu
ketika ada kesempatan yang membuat saya benar-benar bisa melangkah menuju
negeri sakura. Aamiin.
Itulah cerita saya, Pak. Tak ada
bedanya dengan impian orang lain, meski banyak orang-orang di luar sana yang
dengan mudah mencapainya dan berusaha sekeras mungkin mendapatkannya, begitupun
saya. Cerita anda yang dilukiskan oleh Dahlan kecil membuat saya semakin yakin,
Pak, bahwa tak ada mimpi yang tak bisa terwujud. Semua berbanding lurus dengan
usaha dan kerja keras, serta keyakinan akan indahnya mimpi-mimpi kita. Jika
Dahlan kecil sukses, mengapa saya tidak.
Terima kasih, Pak, sudah mau
meluangkan waktu membaca surat singkat ini, dan mungkin tersenyum atau tertawa ketika mambacanya. Terakhir, saya sangat berharap Anda pun turut serta mendoakan agar impian saya benar-benar terwujud dan menjadi sukses seperti Dahlan kecil yang kini jadi menteri.
Salam hormat,
Rysky Marlinda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar