Investasi
Emas: Ikhtiar Meraih Jamuan Menuju Tanah Suci
0leh: Rysky Marlinda STEI Tazkia
Investasi emas memang begitu menguntungkan. Hal ini
dialami sendiri oleh keluarga kami, khususnya ibu saya. Mungkin tulisan ini
hanya berupa sharing saja yang
menjadi salah satu bukti bahwa investasi emas memang sungguh menjanjikan.
Di pertengahan tahun 2008, mungkin tepatnya pada bulan
Juni 2008. Ayah membawa berita gembira kepada keluarga kami. Berita mengenai
pendaftarannya sebagai calon Jemaah haji untuk keberangkatan akhir tahun 2009.
Hal ini tentunya begitu menggembirakan, namun ternyata sebaliknya bagi ibuku.
Ayah mencoba memberi penjelasan kepada ibu bahwa ayah hanya mampu membayar bagi
satu orang Jemaah saja. Sedang ibuku belum beliau daftarkan. Ibu sebenarnya
ingin sekali berangkat ke tanah suci beserta ayah, namun mendengar penjelasan
ayah yang begitu beralasan dan ibu pun paham jika semua penjelasn itu benar,
maka tak ada pilihan selain ia harus merelakan.
Saya mengerti sekali ibu, beliau kecewa tapi tak
beliau tunjukkan. Di malam harinya, selepas makan malam dan solat Isya, ibu
duduk sendiri di kamar beliau, saya tahu itu, karena bertepatan ketika saya
masuk ke kamarnya. Beliau begitu fokus pada sebuah perhiasan kalung yang saya
yakin, beliau sukai, karena ada cerita perjuangan di sana. Perjuangan seorang
wanita menabungkan uangnya dalam wujud logam mulia nan indah. Ya, emas.
Sejak saya SMP, ibu memang mulai berinvestasi dalam
bentuk logam mulia dan wujudnya adalah emas. Jangan bayangkan investasi ini
adalah investasi besar-besaran serta melaui program kontemporer seperti
sekarang. Namun, ini hanyalah investasi model ibu-ibu rumah tangga dengan cara
yang begitu sederhana; membeli dan mengumpulkan, jika butuh ya dijual ke toko
emas lagi.
Ibu selalu menjelaskan bahwa emas adalah logam mulia
yang tak mudah turun nilai. Emas pun begitu liquid,
sangat mudah dicairkan, jika butuh uang, langsung saja jual emas. Di mana-mana toko
emas banyak, harganya pun cepat sekali naik. Di samping beragam argumen ibu yang
begitu logis, tentu saya mengerti bahwa fitrah wanita adalah menyukai keindahan
dan berhias, termasuk melalui investasi emas baik sebagai barang berjaga-jaga
demi kebutuhan masa datang, atau sekadar hiasan yang bernilai jual. Sejak saat
itulah, ibu selalu menyisihkan uangnya untuk membeli emas dari sisa uang bulanan
keluarga yang dengan apik mampu beliau
kelola, sehingga surplus, meski tak
banyak. Jika lebih, ya diinvestasikan, jika tidak, ya tidak ada.
Awalnya emas yang ibu kumpulkan hanya berkisar 5-6
gram, namun dengan keahlian beliau dalam penganggaran belanja bulanan yang surplus berkala, beliau selalu mencicil
untuk membeli lagi atau menukarkan emasnya dengan yang lebih tinggi takarannya
1-1.5 gram. Jika butuh uang, beliau akan segera menjualnya kembali, begitulah
seterunya hingga di pertengahan tahun 2008 lalu. Alhamdulillah beliau telah berinvestasi emas seberat 60-62 gram.
Ketika itu nilai jual emas per gram-nya
mencapai kisaran Rp417.000.
Menanggapi cerita ayah tadi sore, ibu kemudian menyampaikan
pada saya, bahwa sudah menjadi impian beliau untuk pergi bersama ayah ke tanah
suci, tapi biaya yang kemudian menjadi sandungan yang cukup berat baginya. Ibu
terus melayangkan pandangannya pada logam mulia yang telah beliau kumpulkan
bertahun-tahun yang kini ada di tangan beliau. Ada rasa sayang, itu yang
kemudian saya tangkap dari kedua mata ibu. Ya wajar, ibu adalah seorang wanita,
perhiasan yang begitu indah dan hasil dari tabungannya bertahun-tahun dari
mulai 1,2,3 dan akhirnya 60 gram, tentu berat baginya melepas emas itu begitu
saja. Ke undangan hajatan pun jarang beliau kenakan. Hanya pada acara-acara
yang megah, barulah dikenakan. Kalau hajatan di kampung, ibu jarang bahkan tak
pernah mengenakannya, dengan alasan keamanan. Ayah juga tak pernah membelikan
ibu perhiasan emas yang langsung 60
gram, beliau belikan dengan menyicil 3-5 gram saja. Di samping itu, ibu selalu
kepikiran kakak yang di tahun depan butuh biaya yang cukup besar karena untuk melanjutkan
pendidikannya ke perguruan tinggi. Mata ibu mengisyaratkan kalau beliau tak
sampai hati menjual perhiasan itu hanya untuk kepentingannya sendiri, “ke tanah
suci”. Ya, itulah ibu.
Ayah, beliau adalah seorang karyawan di salah satu
BUMN, penghasilannya cukup tapi tidak berlebih. Hanya karena ibuku seorang manager keluarga yang hebat, maka
penghasilan bulanan ayah selalu terasa lebih bagi kami, dan Insya Allah berkah. Naik haji adalah
impian terbesar ayah dan ibu, disamping melihat kami menyandang pendidikan
tinggi. Itulah dua impian yang selalu menjadi prioritas mereka. Ayah membuka
tabungan haji yang telah hampir berjalan dua tahun, dan sekarang beliau telah
mendaftarkan dirinya sebagi calon jemaah haji untuk keberangkatan 2009. Namun,
tanpa ibu.
Kembali pada cerita ibu dengan perhiasan kalung emas
di kamarnya. Kala itu akhirnya saya memutuskan turut angkat bicara, karena merasa
sudah cukup besar untuk berkomentar. Tak lama lagi saya akan naik ke kelas tiga
sekolah menengah atas, dan menurut saya, ini modal untuk menegakkan hak
beropini, terlebih lagi demi kebaikan. Setidaknya ibu akan mendengarkan opini
putrinya ini. Saya kemudian meraih kalung yang ada di tangan ibu, “Cantik
sekali, Bu” saya memulai. Ibu kemudian tersenyum dan berkata bahwa itu akan jadi
milik saya, untuk kuliah saya dan kuliah kakak. Saya kemudian bertanya tentang
keberangkatan ayah ke tanah suci tahun depan dan menanyakan perasaan ibu. Ibu
hanya tersenyum dan kemudian matanya berkaca, saya faham. Sambil merangkul ibu,
saya katakan lembut padanya, bahwa cinta ibu sedang diuji. Allah sedang menguji
kecitaan ibu. “Bu, saya dan kakak adalah anak yang sudah dijanjikan rezekinya
oleh Allah. Jika ibu takut akan sulitnya rezeki kami, maka itu sama artinya dengan
ibu meragukan Allah, karena Ia-lah yang Maha Memberi Rezeki”Itulah yang saya
coba sampaikan, sehingga ibu mungkin merasakan sesuatu yang bergerak dalam hatinya,
dan membuatnya memandang kepada saya dalam. Saya kemudian melanjutkan. “Jika
ibu sayang pada perhiasan ini karena menurut ibu ini adalah uang yang telah ibu
kumpulkan bertahun-tahun berwujud emas kemudian sayang untuk di-uang-kan, maka
ibu telah sangat dekat padanya melebihi kedekatan ibu pada Sang Pencipta, oleh
karena itu Dia menguji ibu. Jikalau ke tanah suci adalah impian ibu, dan biaya
bisa dicover oleh kalung emas ibu,
serta kami pun ikhlas akan tujuan yang mulia ini, lantas apa lagi yang membuat
ibu ragu? Bukankah setan amat senang sekali menghembuskan nafas keraguan serta
rasa cinta yang mendalam terhadap harta, Bu? Bukankah setan yang terus membujuk
kita untuk berat hati dan tak condong pada niat baik, Bu. Jika ibu yakin, maka
jual lah kalung ini, Bu. Allah bisa mengganti kalung ini dengan yang 1000 kali lebih
indah, Allah juga yang akan memenuhi kebutuhan akan biaya kuliah saya dan
kakak, Allah juga yang Maha mendengar doa lagi menyaksikan kerja keras
hamba-hambanya. Maka jual lah ini, Bu. Karena ibu akan berdagang dengan Allah,
dan tak ada perdagangan yang lebih baik kecuali perdangan dengan Allah.”
Mendengar kata-kata yang tak sadar saya ucapkan, ibu langsung memeluk saya.
Saya meminta maaf jika yang saya katakan menyinggung hati ibu, karena tak ada
maksud hati menyakiti beliau. Saya hanya merasa perlu memberikan dukungan
padanya, demi impian baiknya.
Keesokan hari, ibu langsung menyatakan niat baiknya
untuk menjual perhiasan emas seberat 62 gram itu. Ayah dengan secepat kilat
langsung meng-iya-kan. Karena kata ayah, kesempatan untuk menerima undangan tak
datang dua kali, terlebih ini adalah jamuan besar menuju tanah suci. Ayah
kemudian menaksir dengan harga perkiraan emas di kala itu. Maka menurut
prediksi ayah, uang yang akan ibu peroleh mampu menjadi dana untuk mendaftarkan
dirinya sebagai calon jamaah haji, yaitu berkisar 25 hingga 30 juta rupiah.
Karena takut akan berbeda waktu keberangkatan yang jauh antara keduanya, ibu
dan ayah langsung saja mengurus perhiasan itu untuk segera dijual dan kemudian mendaftar
haji.
Alhamdulillah wa
syukurillah, sekarang ayah dan ibu telah benar-benar mewujudkan impian.
Meraka telah menyaksikan sendiri megahnya Masjidil Haram dan tawaf di sana, merasakan khusuknya wukuf
di Arafah, menikmati perjuangan historis Siti Hajar berlari kecil dari Safa
menuju Marwah, serta dengan semangat melempar jumrah , yang tentunya bermalam di Musdalifa pun tak mereka
lewatkan. Emas ibu yang kala itu seberat 62 gram mampu menjadi investasi yang
begitu membuka peluang dan menghantarkan beliau ke tanah suci.
Setelah dua tahun dari peristiwa besar itu, ayah
diangkat menjadi supervisor di kantor
cabang perusahaan tempat beliau bekerja. Rezeki keluarga kami menjadi semakin
mudah. Serta Alhamdulillah, kakak pun
kini kuliah dengan dana beasiswa dari salah satu Bank milik pemerintah setiap
semesternya. Ayah dan ibu tak perlu mengeluarkan biaya besar, karena semua
biaya semester kakak dicover oleh
Bank tersebut. Dan saya pun kini telah kuliah dengan beasiswa full
di salah satu PTS di Jawa Barat, Alhamdulillah.
Memang benar, perdagangan yang tidak merugikan adalah berdagang dengan sang
pemilik dan pemegang rezeki (ar-razzaq).
Semua tergantikan kini, ibu dan ayah mewujudkan mimpinya ke tanah suci, karir
ayah semakin lancar, kakak dan saya pun tak memberatkan orang tua.
Melalui sharing
cerita ini dan kenyataan yang saya saksikan sendiri, ternyata benar bahwa
investasi emas adalah investasi yang begitu menjanjikan. Di kala ibu tak
memiliki rencana akan meraih impian sekaligus dengan bonus-bonus lebihnya, ternyata
emas yang beliau simpan dengan motif berjaga-jaga, mampu mewujudkan impian tersebut.
Apalagi jika investasi emas yang dilakukan terencana secara sistematis dan
dengan model yang apik. Maksudnya
investasi emas dengan cara, waktu dan tempat yang tepat. Yang mana kini banyak
sekali program yang ditawarkan untuk mengelola dan menginvestasikan dana anda
memalui program-progam perbankan, terutama perbankan syariah. Misalnya BRI
Syariah yang memiliki program KLM (Kepemilikan Logam Mulia) dengan program ini,
keinginan anda untuk memiliki emas akan terwujud serta manfaat yang akan
didapatpun berlimpah. Jika ditanya mengenai waktu yang tepat berinvestasi? Ya
jawabannya adalah disaat anda memiliki uang. Berapapun dana anda, cobalah
investasikan, seperti halnya ibu saya di dalam cerita di atas. Beliau kumpulkan
dana, investasi, dan akhirnya dengan metode konvensional step by step “sedikit demi sedikit, beliau mampu melihat bukit”.
Jika di pertengahan 2008 harga jual emas sudah menempati level Rp417.000, apalagi sekarang? Akan ada banyak manfaat dan
kejutan menguntungkan dari investasi logam mulia yang zero inflation effect ini. Tak yakin? Buktikan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar