IB Hasanah BNI Syariah: Menggapai Masyarakat Kecil Mandiri Melalui Kerjasama
Linkage Program
(Meski
dengan Warteg, “Mereka” Tetap Mandiri)
Oleh:
Rysky Marlinda
sumber gambar: id.wikipedia.org |
Usaha warung tegal (warteg) memang bukanlah bisnis
besar dengan omset yang selangit. Namun bagi sebagian besar masyarakat,
terutama masyarakat kalangan menengah ke bawah, warteg cukup menjanjikan guna
menopang perekonomian keluarga agar tetap mandiri.
Masyarakat dengan kategori ini sebenarnya begitu
potensial untuk diberdayakan dan diangkat tingkat kesejahteraannya. Namun,
dengan tema bisnis keluarga kecil-kecilan inilah, yang membuat mereka sering
kali patah arang melanjutkan langkah
ke depan dengan modal usaha yang dirasakan mulai defisit.
Kenapa kemudian membicarakan warteg ini begitu menarik
bagi saya? Hal ini dikarenakan kisah nyata saya pribadi yang akan saya ulas dalam
tulisan ini.
Sebagai seorang mahasiswi ekonomi yang belum memiliki
pendapatan tetap karena masih mengandalkan kiriman orang tua, harusnya
menjadikan saya bijak memilih jika dihadapkan antara dua pilihan; 1. Makan terus-terusan
di kedai-kedai fast food atau café dengan harga yang lumayan mahal
bagi kantong mahasiswa jika dilakukan setiap hari, serta kurang baik menurut
medis; dibandingkan dengan pilihan 2. Makan di warteg dengan porsi yang sedikit
lebih, menu rumah-an, pilihan banyak, dan pastinya murah. Tentu tanpa berfikir
3,4 kali, pilihan kedua akan menjadi jawaban saya.
Warteg di seputaran kosan hanya ada satu, dan
menariknya warteg ini sudah berkali-kali jatuh bangun. Usaha bisnis keluarga Bu
Ramdan ini membuat saya begitu penasaran mencari tau pahit-getir
pengelolaannya. Sembari makan, kadang pemilik warteg ini sering ngobrol pada
pelanggannya termasuk saya. Kesempatan inilah yang selalu saya gunakan untuk
belajar pengalaman berharga dari jatuh-bangun-nya bisnis warteg ini.
Bu Ramdan bercerita bahwa pada awalnya tak ada yang
keluarga mereka dapat lakukan, kecuali pasrah saja pada takdir hidup yang
tampaknya semakin pro pada kondisi
warteg mereka yang akan gulung tikar.
Mereka terus gencar pinjam ke tetangga atau keluarga terdekat untuk menambah
modal agar menyuntik kekuatan keuangan warteg yang menjadi satu-satunya harapan
sumber penghasilan keluarga ini. Bu Ramdan sangat menaruh harapan bahkan
keyakinan warteg-nya di suatu hari nanti akan tumbuh dan berkembang. Beliau
akan lakukan berbagai cara agar sumber pendapatan keluarganya ini tak sekejap gulung tikar. Berbagai pertimbangan ini beliau
lakukan karena beragam alasan, misalnya: pertama,
warteg ini adalah warisan almarhum suaminya sejak beliau meninggal empat tahun
yang lalu. Kedua, warteg ini adalah
harapan satu-satunya agar sumber perekonomian keluarganya terus tercukupi
dengan kondisi dua anak Bu Ramdan semuanya bersekolah. Ketiga, Bu Ramdan yakin betul dengan potensi tumbuh kembangnya
warteg tersebut.
Mendengar penuturan pemilik warteg ini, saya kemudian
tertegun dan mengiyakan teori yang sering diungkap oleh beberapa dosen saya, di
antaranya Bapak Dr. Muhammad Syafii Antonio, M.Ec. Beliau selalu beropini bahwa
sebenarnya kemiskinan terjadi bukan
karena masyarakat miskin itu malas ataupun bodoh; tentu tidak, pikir saya.
Buktinya Bu Ramdan, beliau gigih memperjuangkan wartegnya untuk terus bangkit,
dan beliau bukanlah wanita yang bodoh. Beliau memiliki perhitungan yang tepat
jikalau suatu saat nanti bisnis ini begitu menjanjikan, jika tidak, untuk apa
beliau perjuangkan mati-matian. Lalu Pak
Syafii meneruskan bahwa sebenarnya masyarakat miskin terus terjebak dalam
kemiskinan dikarenakan ada dua hal
pokok. Pertama mereka kekurangan
modal, kedua mereka memiliki akses
yang terbatas akan lembaga keuangan. Sehingga menurut teori Pak Syafii, harus ada segolongan orang yang peduli pada
pergerakan masyarakat jenis ini, agar tersentuh oleh lembaga keuangan. Alhamdulillah, Pak Syafii Antonio tidak
hanya berteori saja. Beliau kemudian membentuk Baitut Tamkin Tazkia Madani
(BTTM) yang bertujuan memberi pinjaman, pelatihan serta pemberdayaan masyarakat
miskin yang berdomisili di sekitar kampus. Nantinya program inilah yang mampu menghubungkan Bu Ramdan dan BNI
Syariah secara tidak langsung dengan kerjasama linkage program untuk solusi bangkitnya warteg beliau.
Kembali kepada cerita Bu Ramdan tentang upaya kerasnya
mencari pinjaman dana. Beliau pun menjelaskan dengan gamblang bahwa hampir saja
beliau mati langkah dan kemudian lari kepada para rentenir. Untung saja, Tuhan
tak memperkenankan hal buruk itu menjerat Bu Ramdan dan keluarga. Mungkin
dengan pertimbangan usaha mati-matian beliau dan kerja kerasnya, Tuhan memberi
jalan berupa lahirnya BTTM yang kemudian mengajak Bu Ramdan untuk masuk ke
dalam kelompok pemberdayaan.
BTTM sebagai lembaga keuangan mikro syariah atau tak
jarang dikenal dengan istilah Islamic
Microfinance tentunya tak mampu berdiri sendiri dan membutuhkan uluran
tangan lembaga keuangan yang lebih sigap dalam kekuatan financial. Hal ini yang kemudian melahirkan sebuah solusi cerdas
dan produk unggulan berupa linkage
program. Program yang melahirkan sinergisitas antar lembaga keuangan dengan
tujuan saling menopang dan menguatkan. Linkage
program dengan branding IB Hasanah BNI syariah misalnya. Produk
BNI Syariah inilah yang kemudian menjadi salah satu penopang bangkitnya ekonomi
kecil dan bisnis keluarga warteg Bu Ramdan. Mungkin tanpa disadari secara
langsung oleh BNI Syariah yang kala itu turut secara partisipatif mendanai BTTM
yang membina serta memberdayakan masyarakat kecil dengan bisnis kecil-kecilan
pula, salah satunya Bu Ramdan, mampu bebas dari masalah ekonomi yang tentu
memberatkan keluarganya kala itu. Melalui kerjasama ini, sudah berapa puluh
atau ratus ibu Ramdan-ibu Ramdan lainnya di luar sana yang juga menikmati
fasilitas pembiayaan estafet BNI Syariah ini. Mengapa estafet? Dikarenakan ada
kerjasama mutualisme di antara BTTM
dan BNI Syariah dengan produk IB Hasanah-nya.
BTTM memperoleh dana melalui BNI Syariah guna memberdayakan keluarga kecil
hingga menengah menuju kemandirian usaha atau bisnis keluarga dengan level mikro. Di sisi lain, BNI Syariah
menjadi begitu partisipatif dalam pembangunan dan pergerakan ekonomi kerakyatan
yang tentunya membangun sektor riil negara secara bertahap. Sehingga fungsi
perbankan syariah sebagai salah satu solusi bagi masyarakat kecil dalam mencapai
maslahah pun terjawab.
Dampak akan produk pembiayaan kerjasama Linkage Program IB Hasanah BNI Syariah pun
sebenarnya begitu domino, dan perhitungan Bu Ramdan akan bisnis warteg-nya di
masa depan dapat begitu dirasakan belakangan ini. Dengan terus mandirinya usaha
warteg beliau, karena posisinya telah lebih strategis dan berada di sekitar
kampus, yang menjadi salah satu tempat dolan
favorit mahasiswa (hal ini adalah hasil pembinaan dan saran dari BTTM kepada Bu
Ramdan untuk mempelajari sasaran market
atau strategi penempatan lokasi bisnis). Bisnis inipun menularkan
keberhasilannya untuk kemudian lahir pengusaha-pengusaha bisnis mikro lainnya.
Di sekitar warteg, kini hadir toko alat tulis kantor (ATK), tak berjauhan hadir
pula warung bahan pokok dan jajanan, serta sedikit menyebrang muncul pula
warung-warung isi ulang pulsa dan beberapa kedai bakso. Inilah yang disebut
pembangunan ekonomi rakyat. Sinergisitas dan produk yang begitu solutif dari
berbagai lembaga keuangan salah satunya BNI Syariah dengan branding Pembiayaan kerjasama Linkage Program IB Hasanah,
diharapkan untuk terus meningkatkan pelebaran jangkauannya dan terus
memperjuangkan eksistensi produk tersebut demi ke-maslaha-tan umat.
Melalui pemaparan cerita tersebut, saya benar-benar mendukung produk BNI
Syariah ini demi pembangunan ekonomi Indonesia yang lebih baik. Insya Allah.