طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ #menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim# اطْلُبُوْا الْعِلْمَ وَلَوْ بِالصِّيْنِ #tuntutlah ilmu walau hingga ke negeri Cina#

Selasa, 17 Juli 2012

Essay Competition HMJ AP UNM 2012


Universitas Negeri Malang

COLLABORATIVE LEARNING INNOVATION: METODE PENANAMAN PERSATUAN DAN MUSYAWARAH BAGI GENERASI INDONESIA DALAM PERKEMBANGAN EDUCATION TECHNOLOGY
 oleh: Rysky Marlinda (STEI TAZKIA)

Indonesia dikenal sebagai negara yang besar, baik ditinjau berdasarkan luas wilayah, sumber daya alam (SDA), dan juga sumber daya manusia (SDM) yang begitu fantastis. Bayangkan, di awal tahun 2012 ini, jumlah penduduk Indonesia telah mencapai angka 249 juta jiwa dan 65% dari total penduduk tersebut adalah penduduk usia produktif yang berusia 15 – 64 tahun. Penduduk usia produktif ini sepuluh tahun ke depan akan didominasi oleh generasi berusia 15 – 24 tahun (sumber: Badan Pusat Statistik 2012). Keadaan inilah yang menyebabkan Indonesia disebut-sebut sebagai negara dengan bonus demografi yang begitu potensial. Pasalnya, genersi muda Indonesia akan mencapai puncak pada sepuluh tahun ke depan dengan mendominasi jumlah penduduk secara keseluruhan. Jika potensi generasi muda ini mampu dimanfaatkan sedemikian rupa,  maka yang terjadi adalah produktivitas nasional dan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan semakin tinggi dan kesejahteraan akan semakin dekat.

Generasi muda adalah aset yang tak ternilai harganya. Mereka adalah penerus estafet kepemimpinan bangsa. Semangat pantang menyerah generasi muda pun berbeda  dengan kalangan tua. Hal ini tercermin pada jargon yang sering disebutkan oleh presiden pertama Indonesia, Ir Soekarno bahwa, “Seribu orang tua hanya bisa bermimpi, namun satu orang pemuda mampu mengubah dunia.”

Generasi muda ini diharapkan mampu mengerahkan ide dan tenaga mereka bagi pembangunan. Terlebih lagi di era moderen seperti sekarang. Di tengah kemajuan teknologi, maka menjadi sebuah harapan besar jika generasi Indonesia mampu turut serta dalam kemajuan dunia, di samping mereka juga menjadi duta-duta yang tetap membawa budaya Indonesia atau karakter bangsa dalam dirinya.

Generasi moderen yang cakap secara skill, unggul dalam ide, inovatif dan berkarakter,  calon-calon penerus dengan kriteria seperti inilah yang diramalkan akan membawa bonus demografi bagi Indonesia satu dekade ke depan menjadi begitu menguntungkan dan membuka beragam jendela kesempatan demi kemajuan. Namun pertanyaan yang muncul kemudian adalah siapkah generasi Indonesia menghadapi dan menjawab tantangan ini?

Di tengah proyeksi positif kemajuan Indonesia kelak, dengan generasi muda sebagai andalannya, ternyata tak mampu mengobarkan semangat kemajuan dalam diri generasi Indonesia itu sendiri. Masih ada saja kita temukan kenakalan dan anarkisme yang dilakukan oleh generasi muda Indonesia belakangan ini. Dan yang lebih memalukan lagi, kejadian tersebut melibatkan mereka yang berasal dari kalangan akademis, seperti pelajar dan mahasiswa. Sebut saja tawuran antar-pelajar, tawuran mahasiswa satu universitas, baku hantam supporter bola, kekerasan antar-geng motor, serta demo anarkis yang merusak bahkan menghancurkan fasilitas umum dan mengganggu ketenteraman publik. Dalam kejadian itu, mereka seakan membuktikan bahwa nilai persatuan dan karakter bangsa telah hancur dan terkubur seiring bergantinya zaman. Mereka seolah menepis kemungkinan untuk menyelesaikan masalah dengan kepala dingin, edukatif bahkan musyawarah. Mereka kini kehilangan semangat persatuan dan musyawarah yang menjadi karakter bangsa Indonesia. Semangat yang menjadikan Indonesia merdeka, yang mampu membebaskan kita dari belenggu penjajah, dan sebagai nilai yang menyatukan genggaman tangan kita dari Sabang sampai Merauke.

Melihat kenyataan yang ada, nilai persatuan dan musyawarah guna membangun karakter bangsa terlebih lagi generasi muda sebenarnya telah ditanamkan sedini mungkin bagi mereka sejak duduk di sekolah dasar (SD). Nilai-nilai berupa pesan yang dibawa oleh Pancasila ini, yaitu sila ketiga dan sila keempat sengaja dimuat dalam mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKN) di setiap kurikulum sekolah di seluruh Indonesia. Hal tersebut dilakukan agar menjadikan mereka generasi moderen yang berkarakter Pancasila yang merupakan pedoman hidup bangsa Indonesia. Namun, mengapa kemudian mereka seakan tak mengenal bahkan mengamalkan nilai tersebut dalam kehidupan nyata? Apa yang salah dengan sistem Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan kita dewasa ini?

Di berbagai sekolah dan universitas, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKN) merupakan salah satu mata pelajaran atau mata kuliah yang tampak tak begitu menarik bagi para siswa. Mereka lebih mengidolakan mata pelajaran yang dianggap selaras dengan kemajuan zaman, misalnya Sistem Informasi danTeknologi Komputer, Musik, Matematika, Fisika, Akuntansi dan Ekonomi. Mata pelajaran ini akan menempati prioritas pertama di kalangan generasi muda dengan mengenyampingkan pendidikan karakter. Bisa dibayangkan, akan menjadi generasi yang bagaimanakah mereka kelak?

Pembentukan generasi berkualitas tak dapat dilepaskan dari pendidikan karakter yang juga berkualitas. Tak cukup rasanya hanya mempelajari teori mengenai Pancasila pada mata pelajaran PPKN saja, yang hanya diajarkan tak lebih dari dua jam di setiap sekolah atau universitas. Perlu ada inovasi yang bisa membuat generasi muda mengenal Pancasila secara komprehensif. Oleh karena itu, timbul suatu  wacana bahwa nilai - nilai Pancasila tidak hanya dititik-beratkan pada mata kuliah atau mata pelajaran PPKN saja, namun juga dihadirkan dalam setiap mata kuliah atau mata pelajaran umum lainnya dengan metode yang disesuaikan pada kemajuan zaman dan dekat dengan teknologi informasi, sehingga lebih aplikatif. Metode ini dikenal dengan istilah collaborative learning innovation.

Menurut Anite Lie (2000) collaborative learning adalah pembelajaran gotong-royong yang mana sistem pembelajarannya memberi kesempatan pada peserta didik untuk bekerja sama dengan peserta lain dalam tugas-tugas yang terstruktur (tugas yang telah ditentukan). Inovasi yang kemudian dihadirkan adalah dengan melibatkan setiap anggota kelompok untuk lebih aktif secara penuh dalam kelompoknya, namun tetap partisipatif dalam menunjang kelompok lain, agar setiap kelompok saling menopang untuk menyelesaikan tugas secara bersamaan.

Metode collaborative learning innovation dilaksanakan dengan tujuan untuk menanamkan nilai-nilai persatuan dan musyawarah yang terkandung dalam sila “persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan” secara praktik.

Metode ini dapat dijelaskan dengan singkat melalui lima tahap utama. Pertama, guru ataupun dosen membagi kelompok belajar kelas berdasarkan jumlah pokok bahasan yang akan dipelajari. Misalnya ada 6 pokok bahasan, maka kelas harus dibagi menjadi 6 kelompok. Setiap kelompok beranggotakan peserta didik yang berbeda-beda, baik kemampuan dan karakternya. Hal ini dimaksudkan agar setiap kelompok mampu belajar untuk saling menghargai dan beradaptasi dengan baik satu sama lain. Jumlah anggota kelompok pun disesuaikan dengan jumlah pokok bahasan pelajaran di kelas tersebut, yang artinya jika ada 6 pokok bahasan, maka setiap kelompok beranggotakan 6 orang.

Kedua, tiap-tiap kelompok ditugaskan untuk menguasai dan menyelesaikan setiap masalah yang ada dalam pokok-pokok pelajaran yang dibahas di kelas, dengan pembagian yang telah ditentukan secara acak di awal. Yang artinya, masing-masing anggota kelompok adalah master untuk pokok bahasan yang ia dapatkan. Di sini, peserta didik dilatih untuk menjadi individu yang bertanggung jawab dan memiliki skill yang komprehensif dalam setiap tugasnya.

Ketiga, guru atau dosen akan memecah setiap anggota kelompok untuk dikumpulkan pada tiap-tiap anggota kelompok lain yang mendapatkan tugas pokok bahasan yang sama guna mendiskusikan dan bertukar informasi mengenai hal-hal yang telah mereka dapatkan. Mereka juga akan saling mengkritisi mengenai pendapat atau argumentasi anggota kelompok lain serta memberi opini yang membangun. Pada tahap ini, mereka akan belajar untuk menjadi bagian kelompok yang pandai menghargai pendapat orang lain, bermusyawarah dan kritis serta belajar mengenal dan memahami anggota yang berasal dari setiap kelompok yang berbeda.

Keempat, guru atau dosen menginstruksikan mereka untuk kembali pada kelompok masing-masing, dan bertugas menyampaikan pokok bahasan yang mereka telah pelajari kepada anggota kelompoknya secara bergiliran. Pada tahap ini, setiap pelajar atau mahasiswa dilatih untuk cakap secara interpersonal dengan memberi pengajaran, pengertian dan menyalurkan ide atau pendapat pada orang lain secara kritis.

Kelima, guru ataupun dosen meminta masing-masing kelompok untuk men-design laporan hasil kolaborasi setiap anggota kelompoknya agar menarik untuk dipresentasikan. Sehingga, pada tahap akhir ini, setiap anggota kelompok diharapkan mampu berdiskusi dalam menentukan strategi menarik bagi kelompoknya dan mendorong untuk saling memahami dalam bertukar pendapat. Disinilah generasi-generasi muda Indonesia tersebut mengenal makna persatuan sekaligus musyawarah yang sesungguhnya.

Kontinuitas pembelajaran dengan metode collaborative learning innovation ini diyakini dapat menjadi budaya bagi generasi muda dalam bermasyarakat di kehidupan nyata. Sehingga anarkisme, tawuran antar-pelajar atau mahasiswa, serta baku hantam antar-geng motor akan berkurang bahkan mungkin tak akan terjadi lagi. Sistem ini membutuhkan dukungan penuh pemerintah, sehingga mampu membekali setiap tenaga pendidik, baik guru maupun dosen untuk mendalami metode pembelajaran ini. Metode ini telah terbukti sukses dikembangkan di beberapa sekolah di Singapura dan Malaysia (Okezone.com/Tips Inovatif ala Google).

Melalui metode ini, diharapkan nilai-nilai persatuan dan musyawarah yang menjadi amanat Pancasila bisa direalisasikan dan menjadi karakter setiap generasi Indonesia. 





Tidak ada komentar:

Posting Komentar