Ayah, yang telah mengabdikan dirinya di salah satu "Perusahaan Monopoli Listrik Nasional" selama 19 Tahun di Kota Palembang tak pernah menduga akan dipindahkan ke salah satu daerah yang cukup terpencil (menurut saya, anaknya) ke sebuah dusun yang baru saja menjadi kabupaten baru hasil pemekaran, ya,.. Pali. Tadinya sebelum pisah, mungkin daerah ini dikenal dengan nama Pendopo. Ayah, yang sudah begitu nyaman berkantor di kawasan A. Rivai Palembang, penuh dengan kemudahan akses kemanapun yang ia inginkan, kini harus berjuang bersama perusahaannya menerangi wilayah terpencil Pali.
Awalnya, saya, ibu, dan kakak tak ada yang mengijinkan, tapi beliau menasihati kami dengan nasihat yang selamanya tak akan saya lupakan. "Ketika kenyamanan menjadi pilihan, maka kita tak akan memberikan kontribusi sekecil apapun bagi orang lain." Dengan setengah keikhlasan, kami sekeluarga mendukung ayah. Mau bagaimana lagi, ayah tolak ataupun terima, beliau telah pegang surat tugas darikantornya. Ayah pun berangkat dengan dijemput sebuah kendaraan kantor untuk menuju ke sana.
Jarak Palembang-Pali memang cukup dekat. Kita membutuhkan waktu tempuh hanya 4 jam saja ke sana. Namun, siapapun pendatang baru tak akan berani berangkat di senja hari ke sana karena akan tiba malam hari. Malam hari tiba di Pali akan begitu menegangkan, karena ada beberapa cerita-cerita tetangga bahwa daerah itu masih rawan kejahatan. Oleh karena itu, ayah dijemput di subuh hari setelah solat menuju kantor barunya. Ayah ditemani Ibu, karena akan ada sertijab di Kantor Pali, yang nantinya disebut 'rayon'. Awalnya ibu selalu mengeluh ini dan itu, tapi entah hal apa yang dikhutbahkan ayah, ibu jadi begitu tenang dan mendukung sepenuhnya (memang ayah TOP).
Seharian ayah dan ibu di sana tapi belum juga memberi kabar, kami begitu cemas, hp selalu siap memanggil mereka, tapi tetap saja yang menjawab adalah operator dengan nada datar, 'the number that u are calling is not active..bla..bla..' Hahh.. fikiran sudah ngalur ngidul kemana-mana. Saya dan kakak berinisiatif mengirim pesan kepada mereka, dengan harapan mereka menyadari bahwa kami benar-benar mengkhawatirkan mereka.
Ketika sahur, ada sebuah panggilan ke hp saya, dengan harap-harap cemas, berharap itu adalah panggilan ayah dan ibu..
Ya, tepat... 'ayah sayang' is calling tertulis di layar hp. Dengan semangat saya klik 'ok' .. Halloo Assalamualaikum.. hah, ternyata suara ibu di seberang. Mendengar suara itu, saya langsung nyerocoss nanya ini-itu yang mengisyaratkan bahwa saya mencemaskan mereka setengah hidup.. Kakak dan saya bergantian, bersemangat meraih hp saya.. Dengan bijak kakak meminta saya me-Loud Speaker agar adik pun bisa mendengar.
Di akhir perbincangan, ibu menasihati kami, "Dukung ayah kalian, jangan biarkan dia merasa bersalah meninggalkan kita. Kasihan beliau, di sini di rayon Pali masalah sudah menunggu ayah. Dusun ini butuh penerangan ekstra. Pemadaman terus terjadi, tunggakan masyarakat atas tagihan listrik pun menumpuk, bahkan dengan nominal yang tak sedikit. Masyarakatnya bersahabat, namun sebagian besar akan berubah garang jika pemadaman terjadi. Doakan ayah kalian, karena ayah berjuang untuk ibadah menafkahi kita, demi anak-anaknya, keluarganya".
Seusai mendengar nasihat ibu, tak sepatah kata pun terucap dari bibir kakak, adik dan saya, kami hanya mengangguk khidmat. Entah ibu menyadari atau tidak.
"Tapi ibu salut dengan ayah kalian", sambung Ibu. "Ibu tahu makanan di sini bukan seleranya. Ibu tahu kalau akan sangat sulit jauh dari kalian, Ibu tahu kalau kepala ayah pusing memikirkan strategi paling efisien untuk tunggakan yang bertumpuk, Ibu tahu kalau terkadang wajah ayah kalian memerah karena kritik dan masukan pedas masyarakat yang sebenarnya baik, tapi itulah ayah, beliau selalu tersenyum, beliau berusaha menyukai yang tak ia sukai, menjalani apapun yang menjadi tugasnya dengan ikhlas." Panjang-lebar ibu meyakinkan kami. Saya dan kakak saling berpandangan, terasa oleh kami, betapa berat amanah yang ayah emban.
"Kalian harus siap berlebaran di sini. Kalian akan menyusul kan?" Tanya ibu pada kami. Kunjungilah ayah, Nak. Setidaknya, kita sama-sama merasakan yang beliau perjuangkan selama ini. Ajak Imam." Ibuku meminta kakak. "Atau akan ibu fikirkan jalan yang terbaik. Mungkin demi keamanan, kami akan pulang dulu. Mempersiapkan semua, setelah itu, kita akan ikut ayah satu minggu di sini. Kita akan berlebaran di Pali menemani ayah, ya. Kalian libur, toh?" tanya ibu. saya dan kakak mengangguk pelan, tapi serentak menjawab 'ya' pada ibu. "Baik, jangan lupa makan sahur sayang" kata ibu pada kami.
Singkat cerita kami sekeluarga menuju Pali. Di Kabupatan baru itu terlihat tanda-tanda daerah berkembang yang masih butuh bantuan dan dukungan penuh dari pemerintah. Sepanjang jalan, kami menjumpai tanah rawa, sungai kecil, dan terkadang rumah-rumah penduduk. Ternyata kantor ayah sederet dengan salah satu kantor Perusahaan Minyak dan Gas Nasional. Tepat di belakang kantornya ayah tinggal. Suasananya asri tapi masih sangat sepi. Awalnya kami cukup terkesan, karena sekeliling kami masih hijau dan ada beberapa warung tradisional serta mini market modern pun tak kalah eksis di wilayah perkantoran itu. Selepas buka puasa, suasana tegang mulai merongrong. Beberapa kali listrik padam, sms mulai full di hp ayah; minta listrik segera nyala. Ayah terdengar sibuk, telfon ini, telfon itu, dan akhirnya memutuskan untuk terjun ke areal yantek (pelayanan teknik) kantornya untuk mengecek segera kondisi di sana. Jam 11 malam sebaris sms mampu membuat ayah menerobos hujan lebat. Bersenjata payung dengan logo mang hemat disana, hah.. Kami semua diam, Pali yang sunyi ditambah sepi dengan gelap dan suara jangkrik serta suasana desa yang tak tahu bagaimana kami jelaskan.
Ayah terdengar menghidupkan mesin mobil kantornya menuju kantornya di areal perumahan itu. Ya, itulah ayah. Sejak saat itu, ketika listrik padam, saya tak cepat-cepat menyalahkan siapa2, saya hanya diam teringat ayah. Betapa besar perjuangan beliau di sana, menerangi daerah pemekaran, menyelesaikan tunggakan dan menghadapi LSM-LSM yang katanya berteman baik dengan media. Bagaimanapun juga nama baik kantor ada di pundak ayah. Ini adalah tantangan baginya serta mungkin latihan mental di daerah baru.
Baru bulan kemarin ayah kembali di panggil untuk rapat di kantor wilayah yang terletak di pusat Kota Palembang. Ayah begitu semangat kata ibu menyiapkan slide dan presentasi terbaik, meski ibu sadar bahwa nanti yang akan disajikan ayah adalah laporan yang tak cukup memuaskan namun setidaknya inilah kenyataan yang tetap harus dipaparkanya. Namun siapa sangka ternyata upaya ayah begitu dihargai atasannya. Banyak yang menduga bahwa daerah baru tak mungkin dapat diubah semudah membalik telapak tangan, perlu strateg hebat dan kesabaran. Ya, inilah yang selalu ayahku ajarkan. Beliaulah sesungguhnya pematik dian-dian harapan daerah itu, bukan listrik atau daya ribuan volt. Tapi kesabaran, keikhlasan dan strategi lah yang mampu mengatasinya. Sebagaimana ucapan seorang menteri BUMN:
"Tuhan menaruhmu di tempat yang sekarang, bukan karena kebetulan. Orang yang hebat tidak dihasilkan melalui kemudahan, kesenangan dan kenyamanan. Mereka dibentuk melalui kesukaran. tantangan dan air mata."
love u mom - dad. Proud to be your daughter :*
Awalnya, saya, ibu, dan kakak tak ada yang mengijinkan, tapi beliau menasihati kami dengan nasihat yang selamanya tak akan saya lupakan. "Ketika kenyamanan menjadi pilihan, maka kita tak akan memberikan kontribusi sekecil apapun bagi orang lain." Dengan setengah keikhlasan, kami sekeluarga mendukung ayah. Mau bagaimana lagi, ayah tolak ataupun terima, beliau telah pegang surat tugas darikantornya. Ayah pun berangkat dengan dijemput sebuah kendaraan kantor untuk menuju ke sana.
Jarak Palembang-Pali memang cukup dekat. Kita membutuhkan waktu tempuh hanya 4 jam saja ke sana. Namun, siapapun pendatang baru tak akan berani berangkat di senja hari ke sana karena akan tiba malam hari. Malam hari tiba di Pali akan begitu menegangkan, karena ada beberapa cerita-cerita tetangga bahwa daerah itu masih rawan kejahatan. Oleh karena itu, ayah dijemput di subuh hari setelah solat menuju kantor barunya. Ayah ditemani Ibu, karena akan ada sertijab di Kantor Pali, yang nantinya disebut 'rayon'. Awalnya ibu selalu mengeluh ini dan itu, tapi entah hal apa yang dikhutbahkan ayah, ibu jadi begitu tenang dan mendukung sepenuhnya (memang ayah TOP).
Seharian ayah dan ibu di sana tapi belum juga memberi kabar, kami begitu cemas, hp selalu siap memanggil mereka, tapi tetap saja yang menjawab adalah operator dengan nada datar, 'the number that u are calling is not active..bla..bla..' Hahh.. fikiran sudah ngalur ngidul kemana-mana. Saya dan kakak berinisiatif mengirim pesan kepada mereka, dengan harapan mereka menyadari bahwa kami benar-benar mengkhawatirkan mereka.
Ketika sahur, ada sebuah panggilan ke hp saya, dengan harap-harap cemas, berharap itu adalah panggilan ayah dan ibu..
Ya, tepat... 'ayah sayang' is calling tertulis di layar hp. Dengan semangat saya klik 'ok' .. Halloo Assalamualaikum.. hah, ternyata suara ibu di seberang. Mendengar suara itu, saya langsung nyerocoss nanya ini-itu yang mengisyaratkan bahwa saya mencemaskan mereka setengah hidup.. Kakak dan saya bergantian, bersemangat meraih hp saya.. Dengan bijak kakak meminta saya me-Loud Speaker agar adik pun bisa mendengar.
Di akhir perbincangan, ibu menasihati kami, "Dukung ayah kalian, jangan biarkan dia merasa bersalah meninggalkan kita. Kasihan beliau, di sini di rayon Pali masalah sudah menunggu ayah. Dusun ini butuh penerangan ekstra. Pemadaman terus terjadi, tunggakan masyarakat atas tagihan listrik pun menumpuk, bahkan dengan nominal yang tak sedikit. Masyarakatnya bersahabat, namun sebagian besar akan berubah garang jika pemadaman terjadi. Doakan ayah kalian, karena ayah berjuang untuk ibadah menafkahi kita, demi anak-anaknya, keluarganya".
Seusai mendengar nasihat ibu, tak sepatah kata pun terucap dari bibir kakak, adik dan saya, kami hanya mengangguk khidmat. Entah ibu menyadari atau tidak.
"Tapi ibu salut dengan ayah kalian", sambung Ibu. "Ibu tahu makanan di sini bukan seleranya. Ibu tahu kalau akan sangat sulit jauh dari kalian, Ibu tahu kalau kepala ayah pusing memikirkan strategi paling efisien untuk tunggakan yang bertumpuk, Ibu tahu kalau terkadang wajah ayah kalian memerah karena kritik dan masukan pedas masyarakat yang sebenarnya baik, tapi itulah ayah, beliau selalu tersenyum, beliau berusaha menyukai yang tak ia sukai, menjalani apapun yang menjadi tugasnya dengan ikhlas." Panjang-lebar ibu meyakinkan kami. Saya dan kakak saling berpandangan, terasa oleh kami, betapa berat amanah yang ayah emban.
"Kalian harus siap berlebaran di sini. Kalian akan menyusul kan?" Tanya ibu pada kami. Kunjungilah ayah, Nak. Setidaknya, kita sama-sama merasakan yang beliau perjuangkan selama ini. Ajak Imam." Ibuku meminta kakak. "Atau akan ibu fikirkan jalan yang terbaik. Mungkin demi keamanan, kami akan pulang dulu. Mempersiapkan semua, setelah itu, kita akan ikut ayah satu minggu di sini. Kita akan berlebaran di Pali menemani ayah, ya. Kalian libur, toh?" tanya ibu. saya dan kakak mengangguk pelan, tapi serentak menjawab 'ya' pada ibu. "Baik, jangan lupa makan sahur sayang" kata ibu pada kami.
Singkat cerita kami sekeluarga menuju Pali. Di Kabupatan baru itu terlihat tanda-tanda daerah berkembang yang masih butuh bantuan dan dukungan penuh dari pemerintah. Sepanjang jalan, kami menjumpai tanah rawa, sungai kecil, dan terkadang rumah-rumah penduduk. Ternyata kantor ayah sederet dengan salah satu kantor Perusahaan Minyak dan Gas Nasional. Tepat di belakang kantornya ayah tinggal. Suasananya asri tapi masih sangat sepi. Awalnya kami cukup terkesan, karena sekeliling kami masih hijau dan ada beberapa warung tradisional serta mini market modern pun tak kalah eksis di wilayah perkantoran itu. Selepas buka puasa, suasana tegang mulai merongrong. Beberapa kali listrik padam, sms mulai full di hp ayah; minta listrik segera nyala. Ayah terdengar sibuk, telfon ini, telfon itu, dan akhirnya memutuskan untuk terjun ke areal yantek (pelayanan teknik) kantornya untuk mengecek segera kondisi di sana. Jam 11 malam sebaris sms mampu membuat ayah menerobos hujan lebat. Bersenjata payung dengan logo mang hemat disana, hah.. Kami semua diam, Pali yang sunyi ditambah sepi dengan gelap dan suara jangkrik serta suasana desa yang tak tahu bagaimana kami jelaskan.
Ayah terdengar menghidupkan mesin mobil kantornya menuju kantornya di areal perumahan itu. Ya, itulah ayah. Sejak saat itu, ketika listrik padam, saya tak cepat-cepat menyalahkan siapa2, saya hanya diam teringat ayah. Betapa besar perjuangan beliau di sana, menerangi daerah pemekaran, menyelesaikan tunggakan dan menghadapi LSM-LSM yang katanya berteman baik dengan media. Bagaimanapun juga nama baik kantor ada di pundak ayah. Ini adalah tantangan baginya serta mungkin latihan mental di daerah baru.
Baru bulan kemarin ayah kembali di panggil untuk rapat di kantor wilayah yang terletak di pusat Kota Palembang. Ayah begitu semangat kata ibu menyiapkan slide dan presentasi terbaik, meski ibu sadar bahwa nanti yang akan disajikan ayah adalah laporan yang tak cukup memuaskan namun setidaknya inilah kenyataan yang tetap harus dipaparkanya. Namun siapa sangka ternyata upaya ayah begitu dihargai atasannya. Banyak yang menduga bahwa daerah baru tak mungkin dapat diubah semudah membalik telapak tangan, perlu strateg hebat dan kesabaran. Ya, inilah yang selalu ayahku ajarkan. Beliaulah sesungguhnya pematik dian-dian harapan daerah itu, bukan listrik atau daya ribuan volt. Tapi kesabaran, keikhlasan dan strategi lah yang mampu mengatasinya. Sebagaimana ucapan seorang menteri BUMN:
"Tuhan menaruhmu di tempat yang sekarang, bukan karena kebetulan. Orang yang hebat tidak dihasilkan melalui kemudahan, kesenangan dan kenyamanan. Mereka dibentuk melalui kesukaran. tantangan dan air mata."
love u mom - dad. Proud to be your daughter :*