Emansipasi, itulah yang sering disandingkan oleh banyak oknum mengenai sosok
Kartini. Benarkah hal ini? Lantas wujud emansipasi semacam apa yang sebenarnya disampaikan
Kartini? sehingga orang identik menyebutnya sebagai salah satu pencetus emansipasi bagi wanita?
Ada beberapa
surat Kartini yang ia tulis dalam
bahasa Belanda yang kemudian banyak penerjemahan, ada beberapa
pesan yang sebenaranya ingin disampaikan
Kartini yang hingga kini belum tersibak.
Berikut ada beberapa pesan Kartini kepada teman-temannya di Eropa:
”Kartini berada dalam proses dari kegelapan menuju cahaya (door duisternis Tot Licht). Namun
cahaya itu belum purna menyinarinya secara terang benderang, karena
terhalang oleh tabir tradisi dan usaha westernisasi. Kartini telah
kembali kepada Pemiliknya, sebelum ia menuntaskan usahanya untuk
mempelajari Islam dan mengamalkannya, seperti yang diidam-idamkannya:
Moga-moga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat umat agama lain
memandang agama Islam patut disukai” (Surat Kartini kepada Ny. Van Kol, 21 Juli 1902).
Hari ini (21 April 2012), Bangsa Indonesia memperingatinya sebagai tonggak sejarah lahirnya
seorang wanita Indonesia yang berjuang untuk kaumnya, wanita Indonesia.
Namun, satu hal yang jarang diungkapkan, bahkan terkesan disembunyikan
dalam catatan sejarah, adalah usaha Kartini untuk mempelajari Islam dan
mengamalkannya, serta bercita-cita agar Islam disukai. Simak suratnya di atas yang dikirimnya kepada Ny. Van.
Sosok
Kartini bahkan dimanfaatkan pihak-pihak tertentu untuk kampanye
emansipasi yang menyalahi fitrah wanita, yakni mendorong kaum wanita
agar diperlakukan sederajat dengan kaum pria, diperlakukan sama dengan
pria, padahal kodrat pria dan wanita berbeda, demikian pula peran dan
fungsinya sebagai khalifah di muka bumi ini.
Kian hari emansipasi kian mirip saja dengan liberalisasi dan
feminisasi. Sementara
Kartini sendiri sesungguhnya makin meninggalkan
semuanya, dan ingin kembali kepada fitrahnya.
Perjalanan
Kartini adalah perjalanan panjang. Dan dia belum sampai pada
tujuannya. Jangan salahkan
Kartini kalau dia tidak sepenuhnya dapat
lepas dari kungkungan adatnya. Jangan salahkan
Kartini kalau dia tidak
dapat lepas dari pengaruh pendidikan Baratnya.
Kartini sudah berusaha
untuk mendobraknya.
Yang kita salahkan adalah mereka yang menyalah-arti-kan
kemauan Kartini.
Kartini tidak dapat diartikan lain kecuali sesuai dengan apa yang
tersirat dalam kumpulan suratnya :
“Door Duisternis Tot Licht” yang
telanjur diartikan sebagai
“Habis Gelap Terbitlah Terang”.
Prof. Haryati Soebadio (cucu tiri Ibu Kartini) mengartikan kalimat
“Door Duisternis Tot Licht” sebagai “Dari Gelap Menuju Cahaya” yang
bahasa Arabnya adalah “
Minazh-Zhulumaati ilan-Nuur“. Kata dalam
bahasa Arab tersebut, tidak lain, merupakan inti dari dakwah Islam
yang artinya: membawa manusia dari kegelapan (jahiliyah) ke tempat yang
terang benderang (hidayah atau kebenaran Ilahi), sebagaimana
firman-Nya:
”Allah pemimpin orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka
dari kegelapan kepada cahaya. Dan orang-orang kafir pemimpinnya adalah
syaitan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya ke kegelapan. Mereka itu
adalah penghuni neraka; mereka kekal didalamnya” (QS. Al-Baqarah : 257).
Kartini yang dikungkung oleh adat dan dituntun oleh Barat, telah
mencoba merintis jalan menuju benderang kebenaran Ilahi. Tapi anehnya,
tak seorang pun melanjutkan perjuangannya. Wanita-wanita kini mengurai
kembali benang yang telah dipintal
Kartini. Sungguhpun mereka merayakan
hari lahirnya, namun mereka mengecilkan arti perjuangannya.
Gagasan-gagasan cemerlang
Kartini yang dirumuskan dalam kamar yang
sepi, mereka peringati di atas panggung yang bingar. Kecaman
Kartini
yang teramat pedas terhadap Barat, mereka artikan sebagai isyarat untuk
mengikuti wanita-wanita Barat habis-habisan.
KARTINI merupakan salah satu contoh figur sejarah yang
lelah menghadapi pertarungan ideologi. Ia berusaha mendobrak adat,
mengelak dari Barat, untuk mengubah keadaan. Dalam sebuah suratnya
Kartini mengatakan: ”Manusia itu berusaha, Allah-lah yang menentukan”
(Surat Kartini kepada Ny. Ovink Soer, Oktober 1900).
Simaklah
kritik Kartini pada tradisi yang mengekangnya sebagaimana ditulisnya kepada Stella, 18 Agustus 1899:
”Adat sopan-santun kami, orang Jawa, amatlah rumit. Adikku harus
merangkak bila hendak lalu di hadapanku. Kalau adikku duduk di kursi,
saat aku lalu, haruslah segera ia turun duduk di tanah, dengan
menundukkan kepala, sampai aku tidak kelihatan lagi… Tiap kalimat yang
diucapkan haruslah diakhiri dengan sembah…
Seorang gadis harus perlahan-lahan jalannya, langkahnya pendek-pendek,
gerakannya lambat seperti siput, bila berjalan agak cepat, dicaci
orang, disebut “kuda liar”
Peduli apa aku dengan segala tata cara itu … Segala peraturan, semua
itu bikinan manusia, dan menyiksa diriku saja. Kau tidak dapat
membayangkan bagaimana rumitnya etiket di dunia keningratan Jawa itu …”
Menurut
Kartini, setiap manusia sederajat dan mereka berhak untuk
mendapat perlakuan sama. Kartini paham benar bahwa saat itu, terutama di
Jawa, keningratan seseorang diukur dengan darah.
”Bagi saya hanya ada dua macam keningratan : keningratan pikiran dan
keningratan budi. Tidak ada yang lebih gila dan bodoh menurut persepsi
saya daripada melihat orang yang membanggakan asal keturunannya… (Surat
Kartini kepada Stella, 18 Agustus 1899).
KARTINI lahir dari keluarga ningrat jawa. Ayahnya,
R.M.A.A Sosroningrat, pada mulanya adalah seorang wedana di Mayong.
Ibunya bernama M.A. Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai
Haji Madirono, seorang guru agama di Teluwakur, Jepara.
Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Dari
kesemua saudara sekandung, Kartini adalah anak perempuan tertua. Beliau
adalah keturunan keluarga yang cerdas. Kakeknya, Pangeran Ario
Tjondronegoro IV, diangkat bupati dalam usia 25 tahun.
Kakak
Kartini, Sosrokartono, adalah seorang jenius dalam bidang bahasa.
Dalam waktu singkat pendidikannya di Belanda, ia menguasai 26 bahasa:
17 bahasa-bahasa Timur dan 9 bahasa-bahasa Barat.
Kartini sendiri secara formal pendidikannya hanya sampai pada tingkat
Sekolah Rendah. Tapi beliau dapat memberikan kritik dan saran yang
jelas kepada kebijaksanaan pemerintah Hindia Belanda pada waktu itu.
Dengan nota yang berjudul: “Berilah Pendidikan kepada bangsa Jawa”,
Kartini mengajukan kritik dan saran kepada hampir semua Departemen
Pemerintah Hindia Belanda, kecuali Departemen Angkatan Laut (Marine).
Salah satu saran yang beliau ajukan kepada Departemen Kesehatan adalah sebagai berikut:
”Para dokter hendaklah juga diberi kesempatan untuk melengkapi
pengetahuannya di Eropa. Keuntungannya sangat menyolok, terutama jika
diperlukan penyelidikan yang menghendaki hubungan langsung dengan
masyarakat. Mereka dapat menyelidiki secara mendalam khasiat obat-obatan
pribumi yang sudah sering terbukti mujarab….”
KARTINI ingin menjadi Muslimah sejati. Ketika belajar
mengaji (membaca Al-Quran), guru mengajinya marah ketika Kartini
menanyakan makna kata-kata Al-Quran yang dibacanya.
Suatu ketika Kartini ”menguping” pengajian bulanan khusus anggota
keluarga di rumah pamannya, seorang Bupati di Demak (Pangeran Ario
Hadiningrat). Penceramahnya, Kyai Haji Mohammad Sholeh bin Umar, seorang
ulama besar dari Darat, Semarang, mengajarkan tafsir Surat Al-Fatihah.
Selesai acara pengajian,
Kartini menemui Kyai Sholeh. “Kyai, selama
hidupku baru kali inilah aku sempat mengerti makna dan arti surat
pertama, dan induk Al-Quran yang isinya begitu indah menggetarkan
sanubariku. Maka bukan buatan rasa syukur hati aku kepada Allah, namun
aku heran tak habis-habisnya, mengapa selama ini para ulama kita
melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al-Quran dalam bahasa Jawa.
Bukankah Al-Quran itu justru kitab pimpinan hidup bahagia dan sejahtera
bagi manusia?” kata Kartini.
Setelah pertemuannya dengan
Kartini, Kyai Sholeh tergugah untuk
menterjemahkan Al-Quran ke dalam bahasa Jawa. Pada hari pernikahan
Kartini, Kyai Sholeh menghadiahkan kepadanya terjemahan Al-Quran (
Faizhur Rohman Fit Tafsiril Quran). Mulailah
Kartini mempelajari Islam dalam arti yang sesungguhnya.
Dalam banyak suratnya sebelum wafat, Kartini banyak sekali
mengulang-ulang kalimat
“Dari Gelap Kepada Cahaya” ini. Karena Kartini
selalu menulis suratnya dalam bahasa Belanda, maka kata-kata ini dia
terjemahkan dengan
“Door Duisternis Tot Licht”.
Setelah
Kartini mengenal Islam sikapnya terhadap Barat mulai berubah:
“Sudah lewat masanya, tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu
benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami,
tetapi apakah ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna?
Dapatkah ibu menyangkal bahwa di balik hal yang indah dalam masyarakat
ibu terdapat banyak hal-hal yang sama sekali tidak patut disebut sebagai
peradaban?” (Surat Kartini kepada Ny. Abendanon, 27 Oktober 1902).
Kartini juga menentang semua praktek kristenisasi di Hindia Belanda:
“Bagaimana pendapatmu tentang Zending (kristenisasi), jika bermaksud berbuat baik
kepada rakyat Jawa semata-mata atas dasar cinta kasih, bukan dalam
rangka Kristenisasi? …. Bagi orang Islam, melepaskan keyakinan sendiri
untuk memeluk agama lain, merupakan dosa yang sebesar-besarnya. Pendek
kata, boleh melakukan Zending, tetapi jangan mengkristenkan orang.
Mungkinkah itu dilakukan?” (Surat Kartini kepada E.E. Abendanon, 31
Januari 1903).
Bahkan
Kartini bertekad untuk memenuhi panggilan surat Al-Baqarah:193,
berupaya untuk memperbaiki citra Islam selalu dijadikan bulan-bulanan
dan sasaran fitnah. Dengan bahasa halus
Kartini menyatakan: “Moga-moga
kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat umat agama lain memandang
agama Islam patut disukai.” (Surat Kartini kepada Ny. Van Kol, 21 Juli
1902)
Kembali pada gelarnya sebagai salah satu pencetus emansipasi wanita, benarkah?
Surat Kartini-lah yang akan menjawabnya, di sini;
“Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak
perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak
perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi
karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita,
agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang
diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik
manusia yang pertama-tama. [Surat Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya,
4 Oktober 1902].
Inilah
gagasan Kartini yang sebenarnya, namun kenyataannya sering
diartikan secara sempit dengan satu kata:
emansipasi. Sehingga setiap
orang bebas mengartikan semaunya sendiri.
Pada dasarnya,
Kartini ingin berjuang di jalan Islam. Tapi karena
pemahamannya tentang Islam belum menyeluruh, maka
Kartini tidak
mengetahui panjangnya jalan yang akan ditempuh dan bagaimana cara
berjalan di atasnya.
Namun
Kartini berjuang seorang diri, dengan segala keterbatasan. Ali
bin Abi Thalib menegaskan: ”Kebenaran yang tidak terorganisir dapat
dikalahkan oleh kebatilan yang terorganisir”.
Wallahu’alam bish-shawab. (
ASM. Romli.
Sumber: media-isnet & suaramuslim).*
Semoga ini menyibak
pesan di balik kalimat
KARTINI "Door Duisternis Tot Licht" (Dari Kegelapan menuju Cahaya)