طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ #menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim# اطْلُبُوْا الْعِلْمَ وَلَوْ بِالصِّيْنِ #tuntutlah ilmu walau hingga ke negeri Cina#

Sabtu, 08 Desember 2012

Tentang Sebuah Surat yang Tertolak


Bogor, 6 November 2012
Yth. Bapak Dahlan Iskan
Di Tempat

Assalamualaikum Warahmatullohi Wabarokatuh
“Tapi, aku janji akan bertahan. Selain harus bayar cicilan sepeda, aku juga ingin sekali punya sepatu. Ibu masih ingat mimpi besarku itu, kan?” (Khrisna Pabichara, 2012, hal. 312)

Saya sengaja membuka surat ini dengan menghadirkan tulisan Dahlan kecil di dalam diary-nya, Pak. Karena kalimat ini begitu mewakili maksud surat yang akan saya jabarkan kepada anda sekarang. Kalimat yang sederhana, tapi benar-benar menelusuk hingga ke dalam hati saya. Bergetar-getar di dua gendang telinga saya, dan terus tertancap di ingatan. Bukan karena apapun, tapi karena goresan impian yang ia tautkan di sana. Ada kekuatan yang tak terlihat yang seakan juga menyemangati saya, tentang bagaimana bermimpi, dan usaha keras untuk mencapainya.

Hari ini, saya akan terus mengingat hari ini, Pak. Pasalnya, sekarang saya merasa sedang duduk bersama anda, mengobrol atau berbincang. Sama sekali saya tidak merasa sedang menulis sebuah surat. Memang aneh. Kenapa? Karena saya tidak sedang menyampaikan keluhan-keluhan kenegaraan, atau mengajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai geliat BUMN masa kini, bahkan tidak juga membahas isu-isu politik terbaru. Tapi hari ini, melalui surat singkat ini, saya hanya ingin berbagi tentang sebuah impian, tentang motivasi dan cita-cita. Kita berbagi mengenai masa depan. Itulah mengapa saya merasa bahwa saya sedang duduk bersama paman, guru, bahkan sahabat saya sendiri, bukan bersama seorang menteri kenamaan di negeri ini, Pak Dahlan Iskan.

Tak ada impian yang tak akan terwujud. Inilah kalimat yang selalu membangkitkan gairah saya mengejar mimpi. Sesulit apapun itu, impian saya adalah tugas utama yang harus diselesaikan, Pak. Saya tidak ingin kalah dengan seorang anak dari Kebon Dalem. Saya tak ingin kalah darinya, Pak, dalam meraih mimpinya, yaitu sepatu ataupun sepeda.

            Sama dengan Dahlan kecil, Impian saya pun meliputi dua hal; Belajar ke luar negeri dan Jepang. Tak kalah dengan impian Dahlan kecil, ya Pak? Sepatu dan sepeda. Mesti terdengar begitu sederhana, namun tetap saja dua-duanya adalah mimpi bagi saya.

            Sejak duduk di bangku kuliah di Bogor, saya memiliki hobi baru, yaitu nonton film di laptop. Ini dikarenakan saya kuliah di daerah rantau. Kosan saya begitu sederhana, dan tidak memiliki televisi. Hiburan yang bisa saya nikmati selain internet adalah nonton film, Pak. Sayangnya, karena bukan terhitung anak gaul, saya tidak begitu tahu film-film bagus. Tapi satu yang saya tahu, saya kurang suka nonton western film. Entah-lah, Pak, sebagus apapun film barat yang ditawarkan teman-teman saya, saya tetap kurang suka menontonnya. Akhirnya karena tahu saya tidak suka nonton film barat, teman-teman saya memberi alternatif lain, yaitu film-film asia. Saya begitu suka beberapa, salah satunya adalah film-film dari negeri sakura, Jepang.
 
Tidak seperti film-film pada umumnya, film garapan negeri sakura memiliki ciri khas tersendiri, yaitu pengetahuan, adat, dan teknologi serta penggambaran kedesiplinan yang kuat. Sejak saat itulah saya begitu ingin melihat negeri sakura secara langsung. Menapakkan kaki di sana, belajar banyak, bahkan menggali ilmu-ilmu yang tak pernah saya tahu sebelumnya, mencari lebih dalam mengenai kaizen, serta ketimuran yang khas. Saya ingin itu semua.

            Karena mimpi besar inilah, saya terus mencari cara agar bisa menginjakkan kaki di sana. Beragam program festival persahabatan dan kebudayaan Indonesia-Jepang selalu saya hadiri di Bogor. Jarang sekali terlewat. Bahkan, jika ada festival kebudayaan dan persahabatan di Jakarta pun, saya sepenuh hati untuk hadir di sana. Sebut saja seperti Matsuri dan Jak-Japan festival. Saya tak pernah ketinggalan untuk datang, jika sedang bertepatan dengan jadwal kuliah yang kosong. Dan beruntungnya, festival ini sering kali diadakan pada saat weekend saja, Pak.

            Karena terlalu sering saya hadir di acara kebudayaan dua negara ini; Indonesia dan Jepang, saya semakin berkeinginan bisa langsung belajar, atau meneruskan kuliah di negeri sakura. Bahkan saya sempat belajar bahasa Jepang dari beberapa kakak tingkat saya yang pernah menginjakkan kakinya di sana, Pak. Tak hanya sampai di sana, saya pun sering menghabiskan waktu di salah satu toko buku untuk membaca pengalaman para back packer yang berpetualang ke negeri sakura dengan modal nekat dan uang seadanya. Pasalnya tak sedikit mitos yang menyebutkan bahwa Jepang, tepatnya Tokyo adalah salah satu kota dengan biaya hidup termahal di dunia. Setidaknya itu info yang sempat saya simak. Begitu menggilanya saya ketika membaca beberapa cerita para back packer mengenai keindahan Jepang, modernisasi di segala bidang, namun tanpa meninggalkan kebudayaan tradisional yang kental. Andai saja, Pak, saya bisa menjadi bagian dari para petualang itu, betapa bahagianya saya.

            Untuk tahu Jepang dan kebudayaannya, saya juga selalu membaca beberapa artikel di internet dan mengikuti milis pelajar Indonesia yang bisa kuliah di sana atau orang Indonesia yang bekerja di Jepang. Saya tahu alamat milis ini pun, hasil dari search di internet, Pak. Melalui cerita-cerita pelajar Indonesia di Jepang itulah, saya merasa semakin semangat untuk bisa melihat indahnya Hokkaido secara langsung, bertualang hingga ke Shikoku dan tak lupa menyambangi kota Tokyo yang begitu sibuk, katanya. Saya ingin sekali menemukan patung Hachiko yang begitu melegenda, melihat anak-anak sekolah menyandang rodenseru, bahkan berburu Gyu Don dan Ramen khas Jepang yang halal. Saya ingin itu semua. Saya ingin seperti Dahlan kecil yang terus bersemangat karena mimpinya. “Sepenuh daya aku berusaha meraih mimpi-mimpi itu, dan tak berhenti sampai aku benar-benar memilikinya” (Khrisna Pabichara, 2012, hal. 338)
            Satu cerita gila yang pernah saya lakukan berkaitan dengan mimpi saya agar bisa belajar ke Jepang adalah pemburuan beasiswa monbukagakuso dari Kedutaan Besar Jepang di Jakarta. Pasalnya, saya mendaftar tanpa seizing kedua orang tua saya di rumah. Jika keduanya tahu, maka tentu akan lebih sulit lagi. Orang tua saya berharap saya fokus pada pendidikan strata satu di kampus saya sekarang. Karena biaya kuliah saya sebenarnya berasal dari beasiswa full yang diberikan kampus. Jika saya tidak serius menjalani, maka kontrak dibatalkan. Itulah yang ditakutkan kedua orang tua saya. Menurut kedunya, Pak, di dalam atau luar negeri sama saja, asal serius menekuninya. Sehingga sulit sekali meyakini mereka bahwa tes beasiswa Jepang ini hanyalah uji coba, hanya untuk mengukur apa saya mampu menyelesaikannya dengan baik. Tapi kedua orang tua saya tetaplah bersikukuh agar saya fokus pada kuliah saya di Bogor. Jadilah saya diam-diam ke Kedutaan Jepang di Jakarta untuk mengisi formulir dan menyerahkan syarat kelengkapan berkas dan administrasi. Formulir monbukagakuso tersedia dalam dua bahasa, yaitu bahasa Inggris dan bahasa Jepang. Dengan bismillah saya tarik form berbahasa Inggris. Ternyata, formulir beasiswa ini dimaksudkan untuk mengetahui seberapa besar ketertarikan para pemburu beasiswa akan belajar di Jepang, dan jurusan apa yang akan mereka geluti, serta pilihan universitas yang telah mereka rencanakan.

            Saya pun menjabarkan beberapa alasan saya dan menceritakan ketertarikan saya akan Jepang. Saya memilih jurusan yang ada kaitannya dengan studi saya di kampus yaitu ekonomi dan bisnis. Dan memilih Tokyo University, Pak. Setelah itu, saya serahkan pelbagai kelengkapan seperti: ijazah, surat keterangan kelulusan SMA dan beragam persyaratan lain termasuk sertifikat kegiatan dan prestasi yang pernah diraih. Harapan besar bagi saya untuk bisa tembus tes beasiswa ini. Jika tahap ini lulus, Pak, masih akan ada tiga tes lagi menanti ke depan, yaitu kemampuan akademik, wawancara dan kesehatan. Saya terus menunggu penuh harap.

            Satu bulan saya menunggu, Pak, tapi belum juga ada jawaban. Hingga tibalah masa liburan bertepatan UAS (ujian akhir semester) berakhir. Kedua orang tua saya meminta saya pulang, karena mereka kangen dengan anak gadisnya ini. Saya pun pulang. Kurang lebih satu minggu saya di rumah, di sore hari ketika saya sedang memijat kaki ibu saya, sebuah nomor asing masuk ke handphone saya. Kode teleponnya adalah kode Jakarta. Saya angkat telepon itu, dan betapa bahagianya saya ketika mendengar bahwa yang menelpon merupakan salah seorang staff kedutaan Jepang yang mengurus penerimaan beasiswa monbukagakuso. Ia menyatakan saya lulus tahap pertama dan diminta datang ke Depok di salah satu universitas di sana untuk mengikuti seleksi tahap berikutnya. Dengan lembut saya meminta mbak Puti, nama yang menelepon saya dari kedubes, untuk mengulangi apa yang beliau infokan kepada saya. Sesaat sebelum mbak Puti mengulangi, saya tekan tombol loud speaker dari handphone saya, Pak. Dengan harapan ibu saya yang sedang duduk di dekat saya turut mendengar kabar baik itu. Setelah selasai mbak Puti mengulangi, saya ucapkan terima kasih padanya, dan menyanggupi untuk hadir di seleksi ke depan, sebelum akhirnya pembicaraan kami akhiri.

            Di luar dugaan saya, Pak. Bukan senyum atau raut gembira yang saya dapati dari wajah ayu ibu, tapi malah sebaliknya. Beliau marah dengan apa yang barusan beliau dengar. Ibu kecewa kenapa saya tidak memberitahukan beliau atau ayah sebelumnya. Kenapa saya tak mau konsisten dan loyal terhadap beasiswa yang telah saya peroleh sebelumnya dari kampus saya di Bogor. Ibu serta merta meminta saya untuk melupakan seleksi berikutnya di Depok. Saya tiba-tiba terdiam, Pak. Tak ada yang bisa saya jelaskan atau membantah pun saya tak berani. Padahal ingin sekali saya katakan bahwa ini hanya ajang coba-coba, apa saya mampu ikut tes beasiswa Jepang. Tapi, yah sudah-lah, Pak. Kemarahan ibu membuat saya bisu kehilangan alasan atau sanggahan. Saya pun berdiri dan berjalan menuju kamar. Tapi, satu yang saya ingat, Pak. Sebelum saya melangkah, ibu katakan bahwa saya selesaikan dengan serius S-1 di Indonesia dulu, setelah menikah dan kerja, jika ingin melanjutkan S-2 keluar negeri silahkan saja. Kata-kata ibu inilah yang membuat saya senang dan kembali bersemangat, meski sedikit kecewa. Padahal ya Pak, jika saya sedang di Bogor saat itu, mudah saja bagi saya untuk naik kereta ke tempat seleksi dan menjalaninya, hmm.. sudahlah, mungkin bukan rejeki saya.

            Sejak saat itu, saya membuang jauh-jauh niatan untuk mencari beasiswa ke Jepang saat ini. Saya mulai memikirkan nasihat ibu. Kini saya sibuk terus belajar bahasa Jepang dari kamus dan search hal-hal yang menarik mengenai Jepang. Saya pun menuliskan daftar mimpi-mimpi indah saya saat menginjakkan kaki di Jepang pada dinding kamar kost saya, dengan harapan suatu ketika ada kesempatan yang membuat saya benar-benar bisa melangkah menuju negeri sakura. Aamiin.

            Itulah cerita saya, Pak. Tak ada bedanya dengan impian orang lain, meski banyak orang-orang di luar sana yang dengan mudah mencapainya dan berusaha sekeras mungkin mendapatkannya, begitupun saya. Cerita anda yang dilukiskan oleh Dahlan kecil membuat saya semakin yakin, Pak, bahwa tak ada mimpi yang tak bisa terwujud. Semua berbanding lurus dengan usaha dan kerja keras, serta keyakinan akan indahnya mimpi-mimpi kita. Jika Dahlan kecil sukses, mengapa saya tidak.

            Terima kasih, Pak, sudah mau meluangkan waktu membaca surat singkat ini, dan mungkin tersenyum atau tertawa ketika mambacanya. Terakhir, saya sangat berharap Anda pun turut serta mendoakan agar impian saya benar-benar terwujud dan menjadi sukses seperti Dahlan kecil yang kini jadi menteri.

Salam hormat,
Rysky Marlinda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar